Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekasih?
Xav mengernyit. Entah kenapa tiba-tiba gadis yang tidak terlihat tertarik padanya itu justru memintanya, menjadi kekasihnya?
"Oh, jangan salah paham!" Eireen mencoba menjelaskan, setelah melihat sekilas ekspresi Xav.
"Bukan kekasih sungguhan. Hanya sekali saja, di tempat yang kumau, akui aku sebagai kekasihmu."
Xav masih tetap diam. Matanya seolah sedang menyisir gura-gurat kebohongan di wajah gadis di depannya.
Sayang, tidak terlihat sama sekali tanda kebohongan yang ia cari. Gadis itu jujur, mengutarakan keinginannya.
Namun, karena pernah sekali dibohongi, dan tidak mendeteksi kebohongan itu dari mantan kekasihnya dulu, ia tetap tidak bisa 100 persen percaya kepada Eireen.
Merasa masih diragukan, Eireen pun mencoba meyakinkan. "Come on. Aku sungguhan tidak tertarik padamu, Tuan Muda."
"Kau pasti sudah tahu, jika aku gagal menikah karena diselingkuhi bukan? Nah, dua orang peselingkuh itu menantangku, untuk membawa laki-laki yang lebih baik dari mantanku itu ke resepsi mereka. Tapi... gara-gara kau dan keluargamu, aku kehilangan waktu satu mingguku untuk mencari kekasih baru. So, aku tidak punya pilihan, selain menjadikanmu kekasih baruku untuk kubawa ke resepsi mereka."
Sudah bicara panjang lebar, Xav tetap diam, masih menatapnya curiga juga.
Eireen menyugar rambut kepalanya sendiri.
Wajahnya tampak frustasi, tapi ia masih berusaha menahan diri, agar tidak mengamuk laki-laki menyebalkan itu.
Ia menghembuskan napas kesal sekilas, kemudian memaksakan diri tersenyum tipis.
"Terserah kau mau percaya atau tidak."
"Yang jelas, kau..." Eireen menunjuk dada Xav dengan jari telunjuknya. "sudah berjanji, akan mengabulkan satu permintaanku tadi!"
Xav tetap diam saja. Eireen jadi semakin gemas saja, sampai tangannya bergerak, seolah sudah mau mencakar. "Hih!"
"Kau itu tidak perlu melakukan apapun, hanya perlu mengakuiku sebagai kekasih, di acara itu saja. Dengar? DI ACARA ITU SAJA! Itu pun hanya beberapa menit, aku janji. Setelahnya, kau sudah tidak perlu lagi melakukannya. Paham, kan?" Eireen memiringkan kepala, memaksakan diri tersenyum, menatap Xav, yang masih diam saja.
Saking kesalnya, Eireen pun membalikkan badan. "Baiklah, kalau kau memang tidak menepati janji. Maka waktunya bagiku untuk memberi tahu mereka, jika yang dicari ada di sini!"
Setelah mengancam begitu, ia melangkahkan kaki, mau menuju pintu.
Tapi, baru satu langkah, Xav menariknya. Eireen reflek melawan. Nahas, karena perlawanan itu ia hampir jatuh.
Xav menangkapnya, dengan posisi, seperti sedang melakukan dansa.
Untuk sekilas, mereka bertatapan mata, sangat lekat. Eireen entah kenapa gugup sendiri, agak termenung juga.
Sampai, suara Xav terdengar. "Diam, jangan banyak bicara. Kau mengerti?!"
"Heh. Aku tidak akan diam, kalau kau belum berkata 'ya'! Di sini, aku juga punya kuasa, kalau kau lupa."
Xav menyeringai. Ia menarik Eireen berdiri dengan kasar. Nahasnya, mereka justru berpelukan, karena Eireen butuh pegangan.
Gadis itu gugup, mau melepaskan diri. Xav justru memeluknya, berbisik, "889 678 980 13, kirim alamat dan waktunya di situ, jangan banyak bicara!"
Selepas mengatakan itu, Xav mendorong Eireen menjauh darinya, kemudian beranjak ke lemari.
Eireen masih terdiam. Ia merasa aneh, karena dadanya seperti merasakan detak yang berbeda.
Tidak mau seperti kambing congek, ia segera menyadarkan diri dengan menggelengkan kepala.
'Tidak-tidak, Eir. Kau jangan gila!'
Setelah bisa menetralkan diri, matanya menuju ke arah Xav. Laki-laki itu ternyata sedang sibuk sendiri, mencari senjata tersembunyi, di sela-sela perabot dalam kabin itu.
"Ok! Aku percaya padamu, tapi, kalau kau tidak menepati janji bagaimana? Kau berhasil kabur, sedang aku?"
Xav melirik, seolah berkata, 'Kau pikir aku laki-laki macam apa, sampai tidak bisa dipegang omongannya, hah?'
"Ya kan siapa tahu? Kau saja tidak menuruti orang tuamu, kabur begini. Apalagi aku, yang bukan siapa-siapamu? Aku butuh garansi!"
Xav sama sekali tidak tertarik menanggapi. Ia justru sudah mengambil senjata tajam, memeriksanya.
Melihat laki-laki itu benar-benar tidak peduli padanya, seolah menganggapnya tidak ada begitu, Eireen sudah habis kesabarannya.
Ia pun menggerakkan tangan, mau menyentuh lengan Xav. "Hei, aku..."
Perkataannya tercekat, saat tangannya justru ditarik oleh Xav. Tubuhnya sampai ikut tertarik, hingga berakhir di dekapan kedua lengan kekar laki-laki itu.
Ia mau berontak, tapi sebuah senjata tajam sudah mengarah ke ke lehernya. "Jangan... menyentuhku tanpa izin, lebih-lebih dari belakangku!"
"Heh. Kenapa? Hidupmu sepertinya waspada sekali. Atau... kau penakut sekali?"
"Tutup mulutmu kalau tidak mau mati. Diam saja, dan lakukan sesuai perkataanku, jangan banyak tanya!"
Eireen menyeringai. Seenaknya saja laki-laki itu menyuruh-nyuruh begitu.
Gadis dengan pemikiran gila itu pun tanpa pikir panjang, menantang bahaya.
"Aku... tidak takut mati!" Ia bergerak melepaskan diri, tanpa peduli dengan senjata tajam di lehernya.
Xav yang justru terkejut, segera menarik senjata tajam agar tidak sampai mengenai Eireen, hingga gadis itu terlepas dari dekapannya.
Melihat respon laki-laki itu, Eireen menyeringai. "Wah... kalau begini, aku jadi percaya, kalau kau... akan menepati janjimu padaku. Ternyata, masih punya hati juga kau ya?"
"Heh." Xav menghembuskan napas kesal, mengalihkan pandangan. Ia malas, kalau ketahuan, hanya mengancam Eireen tadi.
Tidak ada niatan membunuh Eireen sejak awal.
Hanya saja, Xav lelah dengan gadis yang selalu bertanya tanpa henti itu. Ia mau mengancam agar dia diam, tapi bukan Eireen kalau langsung diam.
Setelah tahu itu, Eireen duduk, menyilangkan kaki di pinggiran ranjang. Ia menatap laki-laki yang sibuk sendiri dari belakang.
Mungkin Xav menyebalkan, tapi, prinsip hidupnya, sejauh ini, membuatnya mulai tertarik.
Hingga ia pun penasaran bertanya, "Kau seperti akan berperang saja, membawa semua jenis senjata begitu."
Sayang, Xav tidak menjawab sama sekali pertanyaannya. Namun, itu membuat Eireen tertantang, agar berhasil membuat laki-laki tinggi tegap itu bicara.
"Tunggu, kau lebih memilih pergi sendiri, dibanding membawa semua anggotamu. Apa... kau mencurigai masih ada mata-mata?" tanyanya lagi.
Tetap tidak ada sahutan. Eireen mendengkus. Ia berpikir akan bertanya apalagi, biar laki-laki itu bicara dengannya.
Ia tidak sadar, jika semakin Xav mendiamkannya, semakin ia tertarik membuatnya bicara.
"Hmm. Sepertinya kondisimu rumit, sampai tidak percaya semua orang. Tapi, bukankah akan sama hasilnya dengan yang terakhir kali, kalau kau bergerak sendiri?"
Lagi-lagi tidak ada sahutan, benar-benar seperti bicara dengan tembok.
"Ya aku tidak bermaksud meremehkanmu sih. Hanya saja, mungkin kau mau mengatakan padaku akan kemana. Siapa tahu, kau butuh perto..."
"Kenapa?" Xav tiba-tiba menyela, membuat perkataan Eireen tercekat.
Laki-laki itu bahkan menatap tajam ke arahnya. "Bukankah, kau punya waktu dan tempat menjebakku, dengan dalih resepsi itu. Kenapa pula kau masih ingin tahu saja tempat tujuanku yang lain, hah?"
"Astaga... kau masih mencurigaiku juga? Itu sungguhan resepsi para pengkhianat, siapa pula yang mau menjebakmu disana?"
Xav mengalihkan pandangan, tidak mau bicara lagi.
"Tapi aneh, kalau kau curiga, kenapa janji datang ke sana?" tanya Eireen heran.
"Apalagi? Ya biar sekalian kulihat jelas maksudmu selalu mendekatiku!"
"Hah?" Eireen berdiri, segera melangkah di depan Xav, melongokkan wajahnya.
"Mendekatimu?"
Xav pun mau tidak mau menatap wajah Eireen yang melotot, protes, tidak terima dikatakan sedang berusaha mendekati.
"Kubilang aku... tidak akan pernah tertarik padamu. Menjadi kekasihku itu hanya pura-pura. YA PURA-PURA. Jelas?!"
"Lihat saja nanti, akan seperti apa di sana dan buktikan kata-katamu sendiri!" tandas Xav, ekspresinya menantang balik.
"Ok! Mari kita lihat ya! Jangan-jangan, nanti kau justru jatuh cinta padaku?" Eireen bersedekap tangan, menyeringai mengejek dengan percaya diri sekali. Ia bahkan mengibaskan rambutnya, biar terlihat cantik.
Namun, Xav justru menatapnya datar, seolah ia tidak menarik sekali.
Gadis bermata keabu-abuan itu merasa terhina.
Tangannya sudah menjulur ke depan wajah Xav.
"Kau..."
Nahas, ucapannya tercekat, saat suara pelayan terdengar. "Nona? Maaf, sudah waktunya makan malam."
Xav pun memberi kode dengan gerakan kepala, seolah mengusir tanpa kata.
"Awas kau nanti ya!" ucap Eireen sambil beranjak pergi.
Xav tidak peduli, sudah bersembunyi, ke sisi yang tidak terlihat dari pintu saat terbuka.
Saking kesalnya, Eireen melampiaskan kemarahannya ke makanan yang terhidang di meja. Pelayan yang menemaninya sampai keheranan. 'Apa dia sangat kelaparan?'
Selagi makan, Eireen melihat pilot cadangan tampak berdiskusi dengan pelayan itu. 'Ah, mereka sepertinya masih kebingungan. Pasti ibunya marah besar.'
Setelah makan, Eireen mau kembali ke dalam kabin tempat tidur. Tapi, ternyata pesawat sudah akan mendarat, jadi ia tidak bertemu Xav lagi.
Gadis itu turun dari pesawat, diantar oleh pilot dan pelayan yang selalu menemaninya.
Saat akan menuruni tangga, ia tersenyum melihat tiga orang laki-laki yang menjemputnya di bandar udara itu.
Ia berlari, segera memeluk Bos Kalan dan double J dengan riangnya. "Baguslah kalian baik-baik saja....!
"H-hei, lepas-lepas!" Jimmy seketika melepaskan diri dari pelukan Eireen.
"Kau sepertinya tidak senang, kita bertemu lagi?" sindir Eireen kemudian memanyunkan bibir.
"Salah. Jimmy bahkan sampai mau duel dengan anggota Keluarga Alistair saat tahu kau dibawa ke markas mereka."
"Bos!" Jimmy seketika protes, malas karena ketahuan peduli.
"Oh... benarkah?" Eireen melompat, melingkari leher rekannya itu dengan satu tangan, memitingnya.
Jimmy protes, Joey hanya terkekeh melihat mereka. Bos Kalan tampak senang dan lega, karena mereka berkumpul lagi.
Laki-laki dengan topi koboy itu menatap ke arah pilot dan pelayan yang masih menunggu mereka. Ia menundukkan kepala sekilas, memberi hormat. Pilot dan pelayan itu juga melakukan hal yang sama.
Saat pamit, Eireen melihat sekilas ke arah pesawat, terpikirkan Xav. 'Dia bisa keluar sendiri, kan?'
"Hei!" Suara Jimmy terdengar, membuatnya terbangun dari lamunan.
"Melamun apa?" tanya Joey.
"Oh, tidak. Ayo, kita pulang, besok setelah resepsi itu, aku traktir kalian semua makan!" ucapnya sambil beranjak pergi, diikuti oleh ketiga laki-laki itu.
"Kau bicara seolah sudah tahu saja, akan datang dengan siapa?" Jimmy mengejek.
Eireen hanya tersenyum penuh arti. Jimmy menatap Joey, mereka kompak berkata, "Mencurigakan!"
Apalagi, Eireen riang sekali, berjalan sambil merentangkan tangan, menikmati sepoi-sepoi angin di area lapangan terbang itu.
Jimmy yang penasaran menyusulnya. "Siapa? Kau akan datang ke resepsi itu dengan siapa? Menteri?"
"Rahasia!" Eireen justru lari, dikejar Jimmy yang penasaran. "Hei... siapa...? Cepat katakan...!"
Bukannya apa-apa, Eireen kalau sudah senang begitu, pasti dia berhasil mendapatkan semacam Jimmy pot.
Joey pun berpikir dan menebak-nebak. Si Bos Kalan tidak terlalu menganggap serius hal itu, jadi masih santai saja.