Delia Aurelie Gionardo hanya ingin mengakhiri pernikahan kontraknya dengan Devano Alessandro Henderson. Setelah satu tahun penuh sandiwara, ia datang membawa surat cerai untuk memutus semua ikatan.
Namun malam yang seharusnya menjadi perpisahan berubah jadi titik balik. Devano yang biasanya dingin mendadak kehilangan kendali, membuat Delia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak malam itu, hidup Delia tak lagi sama—benih kebencian, dendam, dan rasa bersalah mulai tumbuh, mengikatnya kembali pada pria yang seharusnya menjadi "mantan" suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadia_Ava02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBMS - Bab 24 Kita Akan Menemukannya
Delia tengah membereskan beberapa pesanan kue di etalase toko. Tangannya sibuk mengatur hiasan bunga di sudut meja ketika sebuah suara bariton terdengar dari belakangnya.
"Kelihatannya kamu sedang sibuk?" tanya seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu dengan nada hangat.
Delia langsung berbalik, sedikit terkejut tapi wajahnya berubah lega begitu melihat siapa yang datang.
"Kak Bima? Kamu sudah datang,"ucap Delia sambil tersenyum.
Bima ikut tersenyum, pandangannya jatuh pada perut Delia yang semakin besar dan sebuah kain lap kecil ditangannya. Ia berjalan mendekat sambil menggeleng kecil.
"Aku sudah bilang berkali-kali, jangan terlalu memaksakan diri, Delia. Kamu itu sedang hamil besar," ucapnya lembut, lebih mirip menasehati.
Delia terkekeh pelan sambil menutup pintu lemari kaca.
"Iya, kak. Aku hanya beresin sedikit pesanan tadi. Lagipula Yuka juga sudah bantuku kok," balasnya.
Mereka saling bertukar pandang sebentar sebelum Bima mengalihkan topik.
"Ayo, kita berangkat sekarang untuk cek kehamilan. Nanti bisa telat ke rumah sakitnya," katanya sambil melirik arlojinya.
Delia mengangguk, mengambil tas kecilnya. Baiklah. Aku juga sudah siap dari tadi."
Bima adalah seorang pria lajang berusia 30 tahun, seorang pengusaha yang kebetulan bertemu Delia saat ia pertama kali pindah ke kota ini. Pertemuan itu awalnya hanya sebatas urusan sewa toko, namun seiring waktu, Bima menjadi orang yang paling banyak membantu Delia mengurus hal-hal kecil, bahkan menemani setiap kali Delia harus kontrol kehamilan.
Hari ini pun sama, sejak pagi Bima sudah mengirimkan pesan akan menjemput Delia untuk periksa kandungan. Delia tidak menolak. Ia tahu betul Bima adalah pria baik, dan kehadirannya membuatnya lebih tenang dan merasa aman di kota baru ini.
Delia menoleh ke arah belakang bagian dapur.
"Yuka?" panggilnya pelan.
Tak lama kemudian gadis berperawakan kecil dengan rambut yang diikat cepol muncul dari ruang belakang sambil mengelap tangannya.
"Iya, Kak?" sahut Yuka cepat.
Delia tersenyum menatap Yuka. "Aku mau pergi sebentar dengan Kak Bima. Kamu jaga toko sendiri, ya?"
Yuka langsung berdiri tegak, matanya berbinar. "Siap, Kak! Serahkan saja padaku," ujarnya ceria sambil mengangkat dua jempol.
Delia ikut tersenyum kecil, merasa tenang meninggalkan tokonya.
"Jangan lupa hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak, ya?" kata Delia.
"Iya, Kak, jangan khawatir. Kakak juga harus hati-hati," balas Yuka lembut.
Delia mengangguk sambil menggenggam tas kecilnya. "Kalau begitu aku pergi dulu."
"Um!" Yuka mengangguk mantap sambil tersenyum lebar, lalu kembali ke meja kasir.
Delia menoleh sekali lagi sebelum keluar bersama Bima. Gadis itu masih berdiri disana sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Yuka adalah sosok gadis yang bisa diandalkan, dia juga yang menjadi teman Delia saat ini. Membuat Delia lebih tenang meninggalkan tokonya meski hanya sebentar.
Bima dengan sigap membukakan pintu mobil.
"Silakan, Del," ucapnya lembut.
Delia tersenyum tipis sambil mengelus perutnya. "Terima kasih, Kak Bima," balasnya sebelum duduk di kursi penumpang.
Bima menutup pintu lalu memutari mobil. Begitu masuk dan menyalakan mesin, keduanya sempat diam sejenak, hanya suara AC dan mesin pelan yang mengisi ruang mobil.
Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, Bima melirik Delia yang sedang memandang keluar jendela.
"Del…" suaranya pelan, seolah hati-hati.
Delia menoleh. "Ya?"
"Boleh aku tanya sesuatu?" kata bima sambil memutar setir kemudinya.
"Tentu," jawab Delia.
Bima menarik napas. "Aku tahu kamu sudah bercerai. Tapi… anak ini kan tetap anak mantan suamimu. Apa kamu nggak ingin mengabarkan pada ayahnya kalau anaknya sebentar lagi lahir? Bukankah dia juga berhak tahu?"
Delia terdiam. Tangan yang sedari tadi mengusap perutnya berhenti. Ingatan tentang telepon Jessy beberapa jam lalu kembali mengusik hatinya. Napasnya terasa berat.
Entah mengapa hatinya justru merasa takut. Setelah Jessy menelpon tadi, Delia semakin yakin jika Dev sedang mencarinya karena ia sudah tau jika Delia sedang hamil saat ini. Dan Delia takut jika nantinya Dev akan merebut anak ini darinya. Karena bagaimanapun anak ini adalah keturunan keluarga Henderson.
Delia juga tahu Dev pasti sebentar akan menikah dengan Giselle. Tapi dia tidak rela kalau Dev membawa anak ini bersamanya.
'Aku sudah memilih pergi… aku ingin anak ini tumbuh denganku. Aku akan menjaganya sendiri.' batinnya.
Delia menggeleng pelan. "Tidak kak.. Dia sudah menemukan kebahagiaannya sendiri, dan.. aku tidak mau merusak itu,"
Bima terdiam menatap wajah Delia sekilas, lalu kembali fokus menatap jalan. "Aku mengerti,"
***
Dev langsung melompat keluar dari mobil begitu melihat plat nomor yang begitu dikenalnya terpasang pada mobil yang kini ringsek, terbalik, dan berasap. Nafasnya tercekat. Dadanya terasa sesak.
"Delia…!" suaranya parau, memecah riuhnya orang-orang yang berkerumun. Ia menyela kerumunan, menyingkirkan siapa pun yang menghalangi langkahnya. Setiap detik terasa seperti pukulan di dadanya.
Liam yang baru turun dari mobil segera menyusul, wajahnya sama-sama panik. Bisik-bisik warga terdengar samar di telinga Dev. "Siapa dia? Keluarga korban, ya?"
Dengan suara yang nyaris pecah, Liam bertanya pada salah satu warga yang berdiri paling depan.
"Ada apa ini, pak?" tanya Liam.
Pria paruh baya itu menoleh. "Kecelakaan, mas. Katanya sih remnya blong,"
"Lalu... penumpangnya?" tanya Liam, suaranya nyaris bergetar.
"Penumpangnya satu pria dan seorang wanita muda sedang hamil besar." ujar pria itu.
Kalimat terakhir menghantam Dev seperti petir. Mata Dev langsung melebar, tubuhnya goyah, seolah tanah di bawahnya lenyap. "Hamil besar…" kata-kata itu berputar-putar di kepalanya.
"Tidak… bukan Delia. Bukan Delia…" ia bergumam lirih, mencoba menolak kenyataan yang mencengkeramnya.
"Di mana korbannya sekarang?" Liam bertanya lagi, suaranya lebih tegas.
"Sudah dibawa ke rumah sakit terdekat, lukanya cukup parah mas," jawab pria itu cepat.
Dev tersentak. Ia tak menunggu penjelasan lebih lanjut. "Cepat, Liam! Kita harus ke sana sekarang!" suaranya pecah penuh desakan.
Tanpa pikir panjang, Dev berbalik, menarik Liam. Kini justru Dev yang mengambil alih kemudi. Tangannya gemetar saat memutar setir, tapi ia tak peduli. Mobil itu melaju kencang meninggalkan lokasi kecelakaan, debu berhamburan, suara klakson bersahutan. Dalam hatinya, doa dan rasa takut bercampur jadi satu.
"Tenang Tuan, kita akan menemukannya. Nona Delia pasti akan baik-baik saja," ucap Liam. Meskipun ia sendiri tak siap dengan beribu kenyataan yang akan datang, tapi Liam tak mau membuat Dev lebih cemas lagi.
"Jika terjadi sesuatu pada Delia. Aku bersumpah, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri!" gumam Dev.
Dev jangan jadi di paksa Delia nya
di bujuk secara halus dunk🤭
kasih maaf aja Del tapi jangan cepat² balikan lagi ma Dev
hukumnya masih kurang 🤣
Akui aja toh kalian kan sudah bercerai
biar Dev berjuang samapi titik darah penghabisan 🤭
semangat ya Dev awal perjuangan baru di mulai
kak sekali² cazy up dunk kak🤭🤭
Biar bisa lihat cicit nya
semua butuh waktu dan perjuangan 🤭🤭
Siksa terus Dev dengan penyesalan 🤗🤗🤗
Makan to rencana mu yg berantakan 😏😏
Ayo Dev Nikmati penyesalan mu yg tak seberapa 😄😄
jangan pakai acara nangis Bombay ya Dev 🤣🤣🤣
biar nyesel to Dev
bila perlu ortu Dev tau kalau mereka sudah cerai dan bantu Delia buat sembunyi
soalnya mereka pasti senang kalau tau bakalan punya cicit sama cucu🤭🤭
tunggu karma buatmu ya Dev 😏😏