Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 – Tanah Karangkamulyan
Mobil melaju. Lampu jalan perlahan berganti dengan hamparan sawah yang luas, dan udara malam Jawa Barat terasa lebih sejuk. Rendi melirik sekilas ke arah Nayla yang bersandar di jendela, matanya setengah terpejam.
"Kalau kamu sepenasaran itu," ucap Rendi memecah keheningan, suaranya dipenuhi senyum, "Mending kita lewat jalur selatan. Bisa mampir ke situsnya Kerajaan Galuh."
Nayla menoleh, keraguan tampak di matanya. "Yakin, Ren? Kalau macet bisa 12 jam lebih."
"Kan aku sudah bilang, kalau capek ya tinggal tidur dulu di rest area," jawab Rendi santai. "Lagipula sekalian aku juga belajar lagi. Kamu sudah pernah ke situs-situs Galuh?"
Nayla menggeleng pelan. "Belum pernah."
"Nah, pas banget. Jalurnya dari Ciawi, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, terus lanjut sampai Solo. Nanti kita mampir dulu di Ciamis." Jawab Rendi
"Tapi kamu mau ke mana?" Nayla bingung dengan tujuan awalnya
"Tinggal pilih Nay, Situs Astana Gede Kawali, bekas pusat pemerintahan Galuh abad ke-14 dan ke-15, atau Karangkamulyan, yang dipercaya sebagai pusat pemerintahan awal, bahkan diyakini tempat berdirinya keraton pertama di abad ke-7?" Rendi menjelaskan
"Pusat pemerintahan awal..." gumam Nayla. "Ke Karangkamulyan saja, Ren," jawabnya mantap.
Rendi melirik, senyum tipis terukir. "Mantap. Menarik juga murid baruku ini."
Perjalanan malam itu bukan hanya tentang mengarungi jarak, tetapi juga tentang mengisi kekosongan. Rendi menyetel radio dengan lagu-lagu santai, dan sesekali mereka berbagi camilan.
Di antara tawa renyah, Rendi mulai menceritakan apa yang ia tahu tentang Kerajaan Galuh
“Dulu, kakekku sering cerita banyak hal tentang Kerajaan Galuh,” Rendi memulai, matanya tetap fokus ke jalan. "Dia bilang, sejarah itu bukan hanya tentang nama dan tahun, tapi juga tentang cerita, Nay."
"Cerita seperti apa?" Nayla bertanya, suaranya pelan.
“Ya, cerita-cerita yang nggak ada di buku sejarah,” Rendi terkekeh. “Misalnya, tentang legenda Ciung Wanara, atau tentang Prabu Niskala Wastu Kancana yang bijaksana, dan yang lainnya”
Nayla mendengarkan dengan saksama. Setiap kata yang Rendi ucapkan seolah membuka lembaran-lembaran baru di otaknya. Ia sibuk mencocokkan cerita Rendi dengan fragmen mimpinya.
Tetapi tetap saja, nama-nama seperti Puspa, Kencana, Jagatpati, bahkan kalung yang ia simpan di sakunya, tidak terucap oleh Rendi.
Rendi menoleh, menatap Nayla. “Kamu kenapa, Nay? Kok kelihatannya tegang?”
"Nggak, Ren. Aku cuma coba berpikir sambil bayangin aja”.
Rendi tersenyum, lalu kembali menatap ke jalan. "Ya, begitulah. Sejarah memang hidup, Nay. Kadang, dia datang ke kita bukan dalam bentuk buku, tapi dalam bentuk perasaan."
Tanpa Nayla sadari, matanya perlahan terpejam, dan ia tenggelam dalam tidur yang lelap. Hingga Nayla tersentak dari tidurnya saat Rendi mengguncang bahunya. "Nayla, kita sudah sampai."
Matanya mengerjap, terkejut melihat gerbang sederhana di hadapannya. Udara pagi yang dingin, aroma tanah basah, dan kabut tipis menyambut mereka saat tiba di Situs Karangkamulyan.
Rendi menjelaskan bahwa tempat itu diyakini sebagai pusat pemerintahan Galuh pertama.
Mereka berjalan pelan, namun Nayla merasakan sesuatu yang aneh. Kalung zamrud di sakunya terasa hangat, seolah bereaksi pada energi tempat itu. Langkahnya terasa ringan, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke sebuah tempat.
Ia berhenti di depan Batu Pangcalikan, sebuah batu besar yang dipercaya sebagai tempat duduk raja. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh batu itu, dan seketika pandangannya kabur dan gelap.
...Mimpi di Pagi Hari...
Aroma dupa, suara gamelan yang samar-samar, dan hawa keraton yang familiar menyambut Nayla. Ia tahu, ia kembali menjadi Puspa. Angin lembut membawa aroma melati dan kenanga, membelai wajahnya.
"Kenapa kau memanggilku ke sini, Wira? Kau tahu aku sedang berlatih membuat sesaji dengan para emban," dengus Puspa, pura-pura kesal, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
Tiba-tiba, ia merasakan dua lengan kuat melingkari pinggangnya dari belakang. Hembusan napas hangat menerpa lehernya. "Aku rindu sekali padamu," bisik Wira, menenggelamkan kepalanya di punggung Puspa. Pelukan itu begitu erat, seolah tak ingin ia pergi lagi.
"Hei, Pangeran satu ini," Puspa tersipu, pipinya merona. Ia membiarkan dirinya menikmati momen itu sejenak.
"Sepertinya kau sibuk sekali, bahkan aku tidak mudah bertemu denganmu." Wira merajuk
"Kau tahu aku di sini belajar agar layak bersanding denganmu, kan?" tanya Puspa, suaranya kini melunak.
Wira menggeser wajahnya ke sisi pipi Puspa. "Kau sudah sangat layak, Puspa," bisiknya, lalu mencium pipi gadis itu. Ciuman itu singkat, namun penuh makna. "Kau sudah menjadi milikku."
Puspa terkekeh, mencoba mencairkan suasana. "Kenapa kau semanja ini?"
"Lima hari lagi aku dan para kakang harus memeriksa wilayah," jawab Wira, nada suaranya terdengar berat. "Membayangkan tidak melihatmu tiga hari saja rasanya sudah berat sekali...."
"Kau bicara seolah aku tak akan lagi ada di sini saat kau kembali," goda Puspa
“Entahlah, aku tak tenang,” bisik Wira, suaranya serak. Masih memeluk gadis itu, seolah tak ingin melepaskan. "Aku tak bisa menunggu lebih lama. Aku ingin segera melangsungkan pernikahan denganmu."
Puspa terkesiap, lalu membalikkan badan, menatap mata Wira yang penuh tekad. Belum sempat ia berkata, Wira menciumnya. Bibir Pangeran itu terasa lembut, namun penuh gairah yang tak terbantahkan. Ciuman itu adalah sebuah janji, sebuah ikrar yang melampaui kata-kata.
"Aku tidak mau mendengar alasan apa pun," bisik Wira setelah melepaskan ciuman. Matanya yang tajam menatap Puspa dalam, penuh janji. "Aku ingin mengumumkan semuanya di Pasewakan Agung tahun depan. Dan saat itu juga, di hadapan seluruh bangsawan dan rakyat, aku ingin secara resmi meminangmu."
Mata Puspa berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk antara haru yang membanjiri hati dan takut yang mencekik napas. "Wira... tapi... apa Ibu akan baik-baik saja?"
Wira mengusap lembut pipi Puspa. "Ibumu akan baik-baik saja. Beliau akan tinggal di sini bersamamu. Dia pasti akan menangis bahagia, melihat putrinya menikah."
"Aku tidak sabar melihatnya," bisik Puspa, suaranya bergetar menahan tangis bahagia.
Wira kembali memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Kau akan menjadi wanita yang paling cantik di seluruh Galuh, Puspa," bisiknya. "Akan kubuat upacara itu menjadi perayaan termegah. Sebagai bukti cintaku padamu."
"Tapi... setelah kita menikah nanti, kita akan tinggal di mana?" Tanya Puspa
Wira tersenyum, lalu mencium puncak kepala Puspa. "Tentu saja wilayah ku, tetapi jika harus memilih sebenarnya Aku ingin tinggal di desamu. Setiap hari membantu kau dan ibumu menanam sayur, dan membelah kayu bakar. Aku akan belajar darimu, seperti yang kau ajarkan padaku."
Puspa tertawa, membalas pelukan Wira. "Mana mungkin seorang pangeran melakukan itu? Kau tentu harus membantu kakak-kakak mu mengurus kerajaan. Tidak mungkin setiap hari menanam sayur, Wira."
"Aku serius, Puspa. Aku sebenarnya lebih memilih denganmu...di desa...," Wira berbisik. "Aku hanya ingin hidup sederhana bersamamu."
"Aku tahu. Tapi kau tidak bisa meninggalkan kakak-kakakmu. Mereka membutuhkanmu, kau adalah salah satu pilar Galuh," Puspa mencoba meyakinkan Wira.
Wira terdiam. Puspa benar. Ia tidak bisa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang pangeran. Ia memiliki kewajiban pada kerajaannya, pada rakyatnya.
"Lakukan tugasmu," Puspa membelai rambut Wira yang tampak masih berpikir. "Aku akan menemanimu selalu, baik itu di desa, maupun di istana."