Di masa depan, kota futuristik Neo-Seraya mengandalkan sebuah algoritma canggih bernama CupidCore untuk menentukan pasangan romantis setiap orang. Dengan skor kompatibilitas hampir sempurna, sistem ini dipercaya sebagai solusi akhir bagi kegagalan hubungan.
Rania Elvara, ilmuwan jenius yang ikut mengembangkan CupidCore, selalu percaya bahwa logika dan data bisa memprediksi kebahagiaan. Namun, setelah bertemu Adrian Kael, seorang seniman jalanan yang menolak tunduk pada sistem, keyakinannya mulai goyah. Pertemuan mereka memicu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh angka: bisakah cinta sejati benar-benar dihitung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11
Kai menunjukkan peta holografik kepada Adrian. “Untuk mencapai jaringan bawah tanah di distrik barat, kita harus menyeberangi dua zona patroli dan satu jalur pabean otomatis. Ada kemungkinan tinggi kita akan dipindai.”
Milo menyela, “Kalau kita lewat lorong servis lama dekat pabrik besi, kita bisa menghindari sebagian patroli. Tapi risikonya, lorong itu tidak stabil.”
Adrian menimbang sebentar. “Kita ambil lorong servis. Lebih baik ambil risiko daripada jadi target langsung.”
Mereka meninggalkan bengkel, menyusuri gang belakang yang sempit. Bau logam dan oli bekas memenuhi udara. Beberapa warga sekitar lewat, tidak memedulikan mereka.
Di menara CupidCore, Liora berdiri di depan layar besar, meninjau pergerakan patroli dewan. Ia sengaja mengalihkan satu unit patroli dari jalur barat, menciptakan celah kecil.
Seorang rekan kerjanya memperhatikan. “Ada alasan kamu memindahkan unit itu?”
Liora menjawab datar, “Pemeliharaan rutin.” Ia tidak menoleh, tetapi matanya tetap fokus pada titik-titik peta yang bergerak.
Di distrik barat, jalan-jalan lebih sempit dan gelap. Neon berkedip lemah di atas toko-toko tutup. Kai memimpin di depan, memeriksa rute di peta holografiknya.
“Lorong servis seharusnya di ujung gang ini.”
Milo menghentikan langkah. “Radar mendeteksi dua tanda panas mendekat dari arah timur.”
Rania memberi sinyal tangan. Mereka menepi ke bayangan bangunan, menahan napas.
Dua petugas patroli lewat, berbicara pelan.
Salah satunya berkata, “Ada laporan gangguan sinyal semalam. Dewan tidak ingin kejadian itu terulang.”
Yang lain menjawab, “Siapa pun pelakunya, mereka akan tertangkap. Dewan tidak main-main.”
Setelah langkah-langkah itu menjauh, Adrian memberi isyarat untuk bergerak lagi.
Lorong servis tampak kumuh dan sebagian tertutup reruntuhan. Lampu darurat berkedip, memberikan penerangan seadanya. Dindingnya penuh grafiti tua. Yara menelan ludah.
“Tempat ini membuatku tidak nyaman.”
Rania menimpali, “Fokus saja ke tujuan. Kita akan segera keluar dari sini.”
Kai memeriksa stabilitas lantai. “Beberapa bagian rapuh. Ikuti langkahku.”
Milo mengaktifkan mode diam pada drone dan mengirimkannya ke depan untuk memindai jalur. Gambar yang ditampilkan ke pergelangan tangannya menunjukkan lorong panjang dengan beberapa pintu servis terkunci. Tidak ada tanda-tanda gerakan.
Ketika mereka melewati bagian lorong yang rusak, lantai retak di bawah Yara sedikit runtuh. Yara tersentak, tetapi Adrian cepat menarik lengannya.
“Hati-hati.”
Yara menahan napas. “Terima kasih.”
Kai membuka pintu servis darurat di ujung lorong. Pintu itu berderit, menyingkapkan tangga besi yang menurun ke terowongan bawah tanah.
“Ini jalan menuju jaringan bawah tanah.”
Kelompok Adrian menuruni tangga besi dengan hati-hati. Suara langkah mereka bergema di sepanjang dinding beton. Bau lembap dan logam memenuhi udara. Lampu neon tua berkedip lemah di dinding, memberi penerangan seadanya.
Kai berjalan di depan, menyorot jalur dengan senter kecil. “Terowongan ini menghubungkan beberapa distrik lama. Sistem ini sudah tidak dipakai resmi selama bertahun-tahun, jadi harusnya aman dari pemindaian rutin.”
Rania menjaga posisi di belakang Yara. “Tetap rapat. Lorong bawah tanah sering memiliki cabang tak terduga.”
Milo mengirimkan drone kecil ke depan, memeriksa tikungan-tikungan sempit.
Mereka mencapai persimpangan lorong. Tiga jalur bercabang ke arah yang berbeda. Kai memanggil peta holografiknya.
“Lorong barat langsung ke distrik bawah tanah tempat jaringan bebas jejak biasanya beroperasi. Tapi jalur itu kemungkinan runtuh sebagian. Jalur selatan lebih panjang, tapi mungkin lebih aman.”
Adrian menimbang sebentar. “Kita pilih jalur barat. Lebih cepat.”
Rania mengangkat alis. “Kamu yakin?”
Adrian mengangguk. “Kita tidak bisa memberi dewan waktu untuk memperketat patroli.”
Mereka bergerak ke lorong barat. Suara gemericik air terdengar dari pipa-pipa tua di atas mereka. Yara menggenggam tasnya erat-erat.
“Aku tidak suka suara ini,” gumamnya.
Milo menenangkan, “Itu hanya pipa tua. Kita baik-baik saja.”
Beberapa meter kemudian, lorong mulai menyempit dan dindingnya retak-retak. Potongan beton kecil jatuh ke tanah setiap kali mereka melangkah. Kai berhenti.
“Kita harus cepat.”
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari belakang. Milo memeriksa radar mininya.
“Sinyal tak dikenal, jarak 80 meter dan mendekat cepat.”
Adrian memberi isyarat. “Cari posisi bertahan.”
Rania dan Milo mengambil posisi di balik dinding retak. Kai mematikan senter. Suasana menjadi gelap. Yara berdiri di samping Adrian, menahan napas.
Cahaya lampu senter lain muncul dari tikungan lorong. Dua sosok muncul—mereka mengenakan pakaian gelap dengan simbol kecil dewan di bahu.
Salah satu dari mereka berbicara ke radio, “Tidak ada jejak di permukaan. Sinyal mengarah ke sini.”
Adrian memberi kode tangan pada kelompoknya. Mereka menunggu sampai dua petugas itu lebih dekat. Begitu jarak cukup dekat, Adrian bergerak cepat, menahan pergelangan tangan petugas pertama dan mendorongnya ke dinding. Rania menodongkan senjata ke petugas kedua.
“Diam,” kata Adrian pelan.
Petugas kedua menatap tajam. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.”
Milo menonaktifkan radio di bahu mereka agar sinyal tidak keluar.
Kai menatap Adrian. “Kita tidak bisa tinggal lama.”
Adrian mengangguk. “Kita ikat mereka dan tinggalkan di sini.”
Mereka mengikat kedua petugas dengan tali pengikat dan menyumpal mulut mereka dengan kain. Yara memperhatikan tangan Adrian gemetar sedikit saat ia mengencangkan simpul. Ini bukan pertama kalinya ia berurusan dengan penguntit dewan, tetapi beban tanggung jawab terasa lebih berat sekarang.
Setelah memastikan situasi aman, mereka melanjutkan perjalanan. Lorong barat akhirnya terbuka ke ruang bawah tanah besar. Di tengah ruangan, ada pintu baja tua dengan panel elektronik rusak. Milo memeriksa panel.
“Ini terkunci, tapi tidak ada sistem alarm aktif. Aku bisa membukanya.”
Adrian memberi tanda. “Cepat, sebelum ada patroli lain.”
Milo bekerja dengan alatnya, mem-bypass sirkuit sederhana. Dalam beberapa detik, pintu baja berderit terbuka. Di baliknya, lorong lebar dengan lampu biru redup tampak terbentang jauh ke depan.
Kai menatap ke dalam. “Inilah jalur menuju jaringan bawah tanah. Kita harus tetap waspada. Tempat ini bukan hanya dipakai oleh orang-orang baik.”
Rania menyiapkan senjata. “Tidak ada jalan kembali sekarang.”
Yara menatap Adrian. “Kamu yakin ini jalan yang benar?”
Adrian menatap lurus ke lorong. “Ini satu-satunya jalan.”
Kelompok Adrian melangkah ke lorong besar dengan penerangan biru redup. Lantai logam berderit setiap kali mereka bergerak. Suara gemericik air dari pipa bocor terdengar samar. Milo memeriksa radar mini di pergelangan tangannya.
“Tidak ada sinyal gerakan di depan, tapi aku tidak suka tempat ini. Terlalu sunyi.”
Rania berjalan di belakang, matanya menyapu setiap sudut. “Tempat ini seperti perangkap. Kita harus cepat.”
Kai melihat ke peta holografik. “Lorong ini seharusnya membawa kita ke ruang persimpangan utama. Dari sana, jaringan bawah tanah punya pintu masuk tersembunyi.”