SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 — Surat untuk Diri Sendiri
Reina berlari melintasi koridor lantai empat menuju Ruang OSIS. Pukul 07:06. Ia hanya punya waktu satu menit sebelum realitas mungkin disetel ulang lagi. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena lari, tetapi karena teror yang ditimbulkan oleh perulangan waktu yang sempurna ini.
Kau membuang-buang waktu, Reina. Serahkan saja. Semua akan sempurna. Semua akan aman. Suara Rhea berbisik di benaknya.
Aku tidak akan berhenti.
Ia mencapai pintu Ruang OSIS. Pintu itu sedikit terbuka. Reina mendorongnya dan masuk.
Daren Kurniawan sedang duduk di mejanya. Seragamnya rapi, rambutnya tersisir sempurna. Ia tidak terkejut melihat Reina yang terengah-engah.
"Aku tahu kamu datang. Setiap hari," kata Daren, tanpa mendongak dari berkas di tangannya.
"Setiap hari?" Reina memegang lututnya, mencoba mengatur napas.
"Sejak kamu kembali dari Lift Pertama. Realitas mulai bergetar. Dia mencoba melakukan hard reset setiap malam, ke pukul 07:07. Tapi kamu selalu berhasil bangun sebelum 07:07 dan mencari aku," jelas Daren, akhirnya mendongak.
Mata Daren terlihat sangat lelah, tetapi ada secercah kewaspadaan di sana. Dia adalah satu-satunya yang masih memegang ingatan.
"Kenapa kamu tidak direset? Zio dan Naya melupakanku," tanya Reina.
"Aku yang menulis kode untuk Lantai Tujuh, bersama Aksa dan Rhea. Aku tahu cara kerjanya. Selain itu, aku masih membawa beban rasa bersalah terbesar. Aku adalah baterai, dan aku adalah jangkar. Dia tidak bisa menghapusku tanpa menghancurkan dirinya sendiri," jawab Daren.
Reina mengeluarkan kertas dari sakunya. "Aku menulis ini. Petunjuk untuk diriku sendiri."
"Pintar. Aksa juga sering melakukan itu," kata Daren, lalu ia menatap serius. "Tapi kamu harus lebih cepat. Setiap kali dia mereset, dia mendapatkan kendali yang lebih besar atas realitas. Zio dan Naya adalah contohnya. Dia mulai menulis ulang ingatan mereka."
"Aku butuh kunci. Aksa bilang kuncinya ada di Ruang Cermin. Aku menghancurkan hard disk-nya, tapi itu tidak menutupnya."
"Kuncinya adalah pengakuan yang sinkron, Reina. Pengakuan yang membuat dimensi ini kelebihan beban. Tapi itu bukan hanya pengakuan dosamu. Itu harus melibatkan Rhea," kata Daren.
"Aku sudah tahu dosaku, Daren! Aku yang membuat diriku jadi Exit! Aku arogan! Aku yang berharap Aksa hilang! Apa lagi?!"
Daren menggeleng. "Bukan dosa yang baru. Tapi dosa yang tersembunyi. Sesuatu yang bahkan kamu sendiri tidak tahu, tapi Rhea tahu. Sesuatu yang hanya ada di Diri Pantulan-mu."
Saat Daren mengucapkan kata "Diri Pantulan", Reina merasakan dingin yang intens.
Tiba-tiba, mata Daren melebar. Ia menatap ke belakang Reina.
"Sudah terlambat," bisik Daren. "Dia sudah menemukanmu."
Reina menoleh cepat. Di ambang pintu Ruang OSIS, berdiri sosok yang membuat jantungnya berhenti.
Itu adalah Reina Laksana.
Ia mengenakan seragam sekolah yang sama persis. Tinggi, rambut, wajah—semua identik. Tapi Diri Pantulan itu berdiri dengan postur yang sempurna, wajahnya tenang, dan matanya memancarkan ketenangan yang mengerikan.
Diri Pantulan tersenyum dingin. "Selamat pagi, Reina yang gagal. Sudah waktunya untuk tidur."
Reina 2025 maju selangkah. "Kamu bukan aku."
"Aku lebih dari kamu. Aku adalah kamu, tanpa rasa bersalah. Aku adalah kamu, yang tidak pernah berharap Aksa menghilang. Aku adalah Administrator yang baru," jawab Diri Pantulan, suaranya persis seperti yang Reina dengar di telepon.
Daren berteriak, "Jangan dengarkan dia, Reina! Dia adalah Rhea yang menggunakan kloning!"
Diri Pantulan mengabaikan Daren. Ia melangkah masuk, berhenti di depan meja Daren, dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Itu adalah surat. Surat yang sama persis dengan yang ditemukan Reina di loker tadi pagi. Ditulis dengan tulisan tangan Reina.
Diri Pantulan memegang surat itu, menyodorkannya ke Reina yang asli.
"Aku meninggalkan ini untukmu," kata Diri Pantulan.
Reina ragu, lalu mengambil surat itu. Itu ditulis dengan tulisan tangannya.
Surat untuk Diri Sendiri
Rei.
Jangan percaya siapa pun yang menatapmu di cermin. Bahkan dirimu sendiri.
Daren berbohong. Aksa berbohong. Rhea tidak hilang. Mereka semua ada di sana, di Lantai Tujuh. Mereka semua membuatmu datang untuk menggantikan Aksa sebagai Penahan.
Ada kunci lain. Di balik cermin kamar mandimu. Kunci yang harus kamu hancurkan. Dan kamu harus melakukannya sebelum 07:07 hari ini.
Cepat. Jangan biarkan dia tersenyum.
Reina menatap surat itu. Ini adalah pesan darinya, tetapi ditinggalkan oleh Diri Pantulan. Ini adalah jebakan. Diri Pantulan ingin Reina menghancurkan sesuatu yang penting.
"Aku tahu kamu membacanya, Reina," kata Diri Pantulan. "Aku ingin kamu menemukan kunci itu. Kunci yang membuatmu lemah."
Tiba-tiba, Diri Pantulan itu bergerak. Ia berbalik dan menatap jendela kaca besar di Ruang OSIS.
Di jendela itu, Diri Pantulan menatap pantulannya sendiri.
Dan di detik itu juga, pantulan di jendela itu tersenyum lebih dulu daripada Diri Pantulan yang asli. Senyum dingin dan kejam.
Diri Pantulan itu sendiri terkejut. "T-tidak. Itu tidak mungkin."
Daren melompat dari kursinya. "Ada lagi! Ada versi Rhea yang lain! Kloning dari kloning!"
Reina sadar. Diri Pantulan yang berbicara dengannya adalah kloning yang dibuat Lantai Tujuh agar terlihat sempurna dan bisa mengambil alih realitas. Tapi di dalam kloning itu, ada jiwa lain yang masih bersembunyi—mungkin Diri Pantulan yang asli, yang takut pada Rhea.
Diri Pantulan itu panik. Ia berbalik ke arah Reina yang asli.
"Kamu harus cepat! Dia... dia mau mengunci kita berdua di sini! Kamu harus hancurkan cermin itu! Sekarang!" teriak Diri Pantulan.
Reina melihat ke jam di dinding Ruang OSIS. Jarum jam bergetar hebat. 07:07.
Reina melihat ke arah Daren. "Apa yang harus aku hancurkan?"
"Jangan hancurkan apa pun di sekolah ini, itu hanya akan memperkuatnya! Keluar! Cari cermin pribadimu! Cepat!" teriak Daren, sambil membalikkan meja dan bersembunyi di baliknya.
Reina berbalik, berlari secepat mungkin. Ia harus kembali ke kamar kosnya, ke cermin kamar mandi.
Saat Reina melewati koridor, ia melihat bayangan siswa di lantai bergetar, seolah realitas sedang digores.
Tepat saat ia keluar dari Gedung Utama, waktu kembali melompat.
Jam di pergelangan tangannya berdetak keras, kembali ke pukul 04:30. Perulangan telah terjadi.
Namun, di saku celananya, surat itu masih ada. Surat dari dirinya sendiri yang terakhir. Dan ia tahu, ia harus kembali ke cermin kamar mandi.