Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Kebanyakan orang ketika dilamar akan berdandan cantik, memakai kebaya indah, riasan menawan, bahkan wangi bunga menyeruak di sekitar tubuhnya. Namun, saat ini penampilan Galuh justru berbanding terbalik. Kaos lusuh yang sudah memudar warnanya menempel di tubuhnya, dipadukan dengan celana kolor yang biasa ia gunakan kalau hendak main bola di lapangan desa. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya polos tanpa make up. Sama sekali bukan gambaran seorang gadis yang hendak menerima lamaran.
Galuh menunduk dalam kegelisahan. Hatinya berdegup keras, seolah ada tabuhan kendang yang dipukul bertubi-tubi.
“Aku tidak menyangka mantra itu punya efek sedahsyat ini. Tiba-tiba saja langsung lamaran,” batin Galuh. Ada perasaan menyesal menusuk.
Kenapa tadi sore dia begitu ceroboh membacakan mantra pemikat hati itu pada Bagja di puskesmas? Awalnya hanya ingin coba-coba membacakan mantra penolak bala, agar pria itu tidak cari gara-gara terus dengannya. Akan tetapi, kini keadaan berubah di luar kendali.
"Sini, Ibu pasangkan cincin tunangannya," kata Bu Kania lembut sambil tersenyum hangat. Suasana ruang tamu dipenuhi keluarga yang menatap penuh haru.
Galuh ingin sekali menolak. Lidahnya ingin memprotes keras. Akan tetapi tubuhnya seperti dikuasai sesuatu. Kakinya bergerak pelan mendekati Bu Kania tanpa dia sadari, seolah ada tali halus yang menariknya. Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan jemari. Wanita paruh baya itu lalu menyematkan cincin berlian mungil di jari manisnya.
Sekejap, riuh tepuk tangan dan senyum sumringah memenuhi ruangan. Semua orang tampak bahagia. Semua … kecuali Galuh yang duduk terpaku, wajahnya masih linglung. Bahkan ketika dia duduk di samping Bagja, ia tidak sadar betul apa yang baru saja terjadi.
"Bagaimana kalau pernikahan diadakan enam bulan lagi?" Mama Euis membuka suara.
"Kelamaan. Tiga bulan!" ucap Mih Ella tegas.
"Setuju. Biar cepat menikah mereka," timpal Nini Ika sambil terkekeh kecil.
Tatapan-tatapan penuh harap tertuju pada pasangan yang baru saja bertunangan itu.
"Bagja … Galuh, bagaimana? Kalian setuju?" tanya Pak Wira sambil menatap keduanya.
"Setuju, Pa," jawab Bagja tanpa ragu, suaranya mantap.
"Tidak! Tiga bulan itu terlalu cepat. Tahun depan saja!" ucap Galuh spontan, nada protesnya terdengar jelas.
Kepalanya pening, pikirannya berputar mencari jalan keluar. Dalam hati, dia hanya punya satu harapan. Bagaimana cara agar pengaruh mantra itu segera hilang? Jika tidak, hidupnya bisa berakhir dalam ikatan pernikahan yang dia sendiri tidak siap jalani.
Namun, percakapan keluarga tidak memberi celah.
"Bagaimana kalau sebulan saja?" celetuk Pak Wira tiba-tiba.
Galuh dan Bagja serentak menoleh ke arahnya. Bagja mengangguk mantap, wajahnya penuh keyakinan, sementara Galuh justru menggeleng keras, bibirnya merapat, menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan.
"Pa, kalau sebulan terlalu cepat. Kita bisa-bisa keteteran mempersiapkan acara syukuran, siraman, dan resepsi pernikahan," kata Bu Kania bijak, menengahi.
"Benar juga. Kita butuh waktu mempersiapkan semua itu," gumam Pak Wira sambil mengangguk pelan.
Akhirnya, dua keluarga sepakat, pernikahan dilaksanakan tiga bulan lagi. Pembahasan pun bergeser ke soal mas kawin.
Galuh menatap cincin di jarinya. Benda mungil itu berkilau di bawah cahaya lampu, tetapi justru terasa seperti rantai besi yang membelenggunya. Dalam dadanya ada gejolak rasa marah, bingung, takut, sekaligus menyesal. Satu kalimat terus berputar di kepalanya.
“Aku harus menemukan cara memutus pengaruh mantra ini sebelum terlambat.”
***
“Bencana! Bencana!” teriak Galuh begitu sampai di gardu tempat pangkal ojek. Suaranya memecah kesunyian subuh yang masih berkabut.
Ryan yang sedang duduk bersila sambil menikmati sarapan dibuat mengernyitkan dahi. Alisnya menukik curiga.
“Subuh-subuh begini kamu sudah bikin heboh. Ada apa?” tanya Ryan dengan suara serak seperti bangun tidur.
Galuh menjambak rambutnya sendiri, wajahnya masam, seperti orang yang habis kemalingan kambing. “Bagja semalam datang melamar,” jawabnya dengan nada kesal bercampur panik.
Belum sempat kata-kata itu mendarat di telinga Ryan sepenuhnya, Dewa yang sedang menyeruput kopi panas di gelas kaleng justru tersedak. Cairan hitam pekat itu muncrat keluar dari mulutnya dan langsung mengenai wajah Galuh.
“DEWAAA!!!” teriak Galuh dengan nada melengking, matanya membelalak penuh amarah. Saking kesalnya, tanpa pikir panjang ia meraih kerah baju Dewa, lalu mengusap wajahnya yang belepotan kopi ke sana. “Dasar gak sopan!”
Dewa langsung panik. “Woy, woy, baju siapa yang kamu jadikan lap! Ini satu-satunya baju bersih buat narik ojek hari ini!” serunya berusaha melepaskan diri, tetapi Galuh semakin kuat menggosokkan wajahnya.
Ryan yang sedari tadi asyik menikmati sorabi dengan gorengan kacang, ikut terkejut mendengar kabar itu. Di tengah kunyahan, ia langsung keselek. Tenggorokannya tersumbat, wajahnya merah padam. Tangannya menepuk-nepuk dadanya sendiri, matanya berair, berusaha mengusir remahan gorengan yang tersangkut.
Dengan susah payah Ryan akhirnya bisa bernapas normal. Ia menatap Galuh dengan mata masih berair. “Kamu ... serius?!” pekiknya dengan suara setengah serak.
“Dua rius!” balas Galuh sengit sambil melipat tangan di dada, tatapannya garang seperti singa betina siap menerkam. “Gilanya lagi, kita akan menikah tiga bulan lagi.”
“Apa?!” Suara Ryan dan Dewa pecah bersamaan dan membuat tukang bubur yang lewat mendorong gerobaknya menoleh dengan bingung.
Dewa menjatuhkan gelas kopinya sampai isinya tumpah ke lantai kayu gardu. Ryan refleks menjatuhkan gorengannya begitu saja ke tanah. Mereka berdua menatap Galuh dengan mulut menganga, seperti habis mendengar kabar kiamat kecil.
Galuh menghela napas panjang, wajahnya kusut.
“Kalian pikir aku mau? Ini semua gara-gara mantra itu!” bisik Galuh dengan nada tertekan, suaranya bergetar seolah ia baru saja membuka rahasia besar.
Ryan dan Dewa saling pandang, lalu menelan ludah hampir bersamaan. Angin pagi berembus pelan, membawa suasana jadi aneh. Dalam pikirkan mereka berdua berkata, "Aku harus segera mengamalkan mantra itu."
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....