Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga
Cekittt!!
Grugghh!!
Gerbang besi Pallazzo terbuka perlahan, suara engselnya menggema di udara pagi yang masih dingin. Mobil hitam panjang berhenti di halaman depan. Dimitri berdiri di sisi pintu, membukanya lebar untuk Rose.
Rose melangkah keluar dengan gaun glamor yang berkilau di bawah cahaya matahari. Topi besar dengan bunga mencolok menambah kesan anggun sekaligus sombong.
Dari kejauhan Lucas terus memperhatikannya dari mobil yang lain.
“Ingat, Dimitri, kita tidak akan lama. Saya hanya ingin memastikan keluarga saya melihat saya bahagia,” katanya sambil tersenyum tipis, seakan menyimpan sesuatu di balik nada manis itu.
Dimitri menunduk sopan. “Baik, Nyonya. Semua akan sesuai dengan keinginan Nyonya.”
Luca tersenyum sendiri, mendengarkan obrolan singkat itu.
Pintu mobil ditutup. Kendaraan itu meluncur keluar dari halaman Pallazzo, meninggalkan debu tipis di jalan berbatu. Rose menatap keluar jendela, memandangi pepohonan yang dilewati, sementara dalam hatinya ada campuran rindu dan gugup.
Tanpa sepengetahuannya, beberapa meter di belakang, sebuah mobil lain mengikuti dengan kecepatan stabil. Di dalamnya, Lucas duduk bersandar di kursi, dengan topeng yang biasa ia kenakan. Jemarinya mengetuk pelan pegangan pintu. Mata tajamnya menatap ke depan, mengamati mobil Rose tanpa berkedip.
Ia bukan sekadar mengawasi__ia ingin mendengar, melihat, dan menilai setiap gerak-gerik wanita itu di luar tembok Pallazzo.
“Tunjukkan padaku, Rose,” gumamnya pelan. “Sejauh mana kau berani.”
Dimitri yang duduk di kursi depan mobil Rose sesekali melirik ke kaca spion. Ia tahu, mobil hitam di belakang bukan sekadar kebetulan. Ia juga tahu, Nyonya Rose sama sekali tidak menyadarinya.
Perjalanan itu baru dimulai, tapi udara di dalam mobil sudah dipenuhi ketegangan yang tak terlihat.
*
Ban mobil mewah itu berhenti tepat di depan rumah sederhana keluarga Alviera. Suara remnya membuat beberapa tetangga menoleh penasaran. Cat hitamnya berkilau, emblem perak di kap mobil memantulkan sinar matahari pagi.
Pintu belakang dibuka oleh Dimitri, lalu satu pelayan lain ikut turun. Rose melangkah keluar dengan anggun, topi besar berhiaskan bunga merah menyala menutupi sebagian wajahnya. Gaunnya jatuh sempurna, mengalun setiap kali ia bergerak. Di belakangnya, dua pelayan mengikuti dalam diam, menunduk sopan__menciptakan kontras mencolok di depan rumah tua itu.
Bisik-bisik tetangga terdengar, beberapa bahkan ternganga. Mereka belum pernah melihat Rose dalam wujud seperti ini.
Rose berhenti tepat di ambang pintu, menatap gagang kayu yang sedikit lapuk. Jemarinya menyentuhnya pelan, lalu ia mendorong pintu itu sedikit terbuka__cukup untuk mengintip ke dalam.
Aroma teh manis dan roti hangat menyeruak keluar, membawanya pada kenangan masa kecil yang samar. Di dalam, keluarganya duduk melingkar di meja makan tua.
Sebastian, kakaknya, tengah mengoceh sambil bersandar malas di kursi, mengaduk teh.
“Ayah, Ibu… aku butuh uang untuk melamar Madona. Aku ingin pernikahan yang mewah. Semua orang harus tahu aku pria mapan,” rengeknya, suaranya dibuat manja namun mendesak.
Elvira, ibu mereka, menghela napas, meletakkan sendoknya.
“Sebastian, kami baru saja membelikan rumah besar untukmu dan Madona setelah menikah nanti. Apa itu belum cukup?”
Sebastian mengibaskan tangannya seolah menepis logika itu.
“Rumah itu ya… bagus. Tapi pernikahan itu momen sekali seumur hidup. Aku ingin gaun terbaik untuk Madona, pesta di hotel bintang lima. Semua orang harus iri.”
Rose menggenggam pintu lebih erat. Matanya sedikit menyipit, bibirnya menahan senyum sinis. Ia ingat betul__bertahun-tahun lalu, ia bahkan tak diberi sepatu baru untuk acara sekolah. Tapi kini, kakaknya bisa merengek minta uang ratusan juta tanpa merasa bersalah.
Dimitri berdiri di belakangnya, menunduk sedikit, berbisik dengan sopan.
“Nyonya, apa kita akan masuk sekarang?”
Rose masih menatap ke dalam, matanya berkilat.
“Belum, Dimitri. Aku ingin mereka melihatku… saat mereka tak siap melihat siapa aku sekarang.”
Di kejauhan, dari dalam mobil hitam yang terparkir beberapa rumah dari sana, Lucas duduk sambil menatap lewat celah tirai jendela mobil. Ia menyaksikan setiap gerakan Rose, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang sulit diartikan__antara kagum atau justru menanti langkah bodoh berikutnya dari wanita itu.
Dari celah pintu, Rose mendengar suara ayahnya, Radit, berat dan lelah, seolah setiap kata adalah beban.
“Uangnya… sudah ayah bayarkan untuk hutang. Kita masih harus menyimpannya untuk modal dan kebutuhan rumah. Hhh… bahkan untuk bayar hutang pun belum lunas. Ayah masih harus mencari tambahan.”
Elvira menoleh cepat, wajahnya tegang.
“Memangnya sebanyak apa hutangmu? Kau bilang uang itu cukup dan akan lunas semua.”
Radit menunduk, mengusap wajahnya.
“Mereka bilang aku harus membayar bunga. Jumlahnya tidak sedikit.”
Keheningan sesaat. Lalu suara kursi bergeser kasar. Sebastian menghentak tangannya ke meja, wajahnya penuh kesal.
“Sudahlah! Kalian jangan membahas hal gak penting seperti ini!”
Mata Elvira membelalak.
“Tidak penting? Uang sebesar itu__”
Sebastian memotong, nadanya meninggi. “Aku tahu Tuan Hose memberi kalian uang sebanyak apa! Aku yang mewarkan Rose padanya!”
DEGG!
Jantung Rose seperti berhenti berdetak. Napasnya tercekat, tapi ia tetap berdiri kaku di ambang pintu.
Sebastian melanjutkan, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Wajar, kan, kalau aku minta bagianku? Jangan serakah. Lagi pula… kalau bukan untukku, untuk siapa lagi?”
Radit menggeleng pelan, namun tidak membantah. Sementara Elvira hanya menatap Sebastian dengan campuran heran dan gusar, tapi bibirnya terkatup rapat__tidak menyangkal satu pun tuduhan itu.
Sebastian kemudian menunduk, suaranya lebih rendah, namun penuh keresahan.
“Aku takut… Hose tiba-tiba mendatangi rumah Madona, dan orang tuanya malah memberikannya pada Tuan Morreti. Bagaimana nasibku kalau itu terjadi?”
Rose merasakan jemari Dimitri sedikit merapat di belakangnya, seolah menyadari amarah nyonya mudanya mulai memuncak.
Dari mobil di kejauhan, Lucas mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menyipit, menyadari ada sesuatu yang menyambar hati Rose. Ia menatap Rose yang membeku di ambang pintu__punggungnya tegang, bahunya kaku. Bulir being meleleh, dan dengan cepat ia menyekanya.
Radit menunduk, menghela napas panjang, suaranya parau.
“Aku… merasa bersalah pada Rose.”
Sebastian mengernyit. “Kenapa harus merasa bersalah? Bukankah anak perempuan memang dilahirkan untuk itu?”
Elvira mengangkat alis, nadanya sinis.
“Toh, semua gadis di kampung ini sama. Bukan hanya Rose. Kau pikir dia istimewa? Tidak. Dia hanya salah satu di antara mereka.”
Radit terdiam. Jemarinya meremas gelas di depannya, air di dalamnya bergetar. Namun ia tidak membantah, hanya menghela napas berat__entah menahan amarah, atau menelan rasa malu.
Elvira melanjutkan, bibirnya melengkung dingin.
“Lagipula, tanpa pengorbanannya, kita tidak akan bisa makan dengan tenang di sini. Jadi berhentilah merasa bersalah. Kau hanya membuatnya terdengar seolah dia korban.”
Kata “korban” itu masih menggantung di udara ketika pintu rumah perlahan terbuka lebar.
Suara langkah tumit tinggi beradu dengan lantai kayu, mantap, tanpa tergesa. Rose berdiri di sana__gaun mewahnya jatuh anggun, topi besar dengan bunga mencolok menghiasi kepalanya. Dua pelayan berjalan di belakangnya, membawa tas dan kotak hadiah. Wajahnya tersenyum… namun matanya menusuk ke arah mereka satu per satu.
Keheningan meletup. Sendok di tangan Sebastian berhenti di udara. Radit menegang, tatapannya campuran kaget dan bersalah. Elvira, yang sedetik lalu mencela, kini membeku, napasnya tercekat.
**
Bersambung!
Hai, terimakasih sudah membaca karyaku. Mohon dukunagnnya ya, Jangan lupa Follow, like dan komen.
Terimakasih, Love u..