Delia Aurelie Gionardo hanya ingin mengakhiri pernikahan kontraknya dengan Devano Alessandro Henderson. Setelah satu tahun penuh sandiwara, ia datang membawa surat cerai untuk memutus semua ikatan.
Namun malam yang seharusnya menjadi perpisahan berubah jadi titik balik. Devano yang biasanya dingin mendadak kehilangan kendali, membuat Delia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak malam itu, hidup Delia tak lagi sama—benih kebencian, dendam, dan rasa bersalah mulai tumbuh, mengikatnya kembali pada pria yang seharusnya menjadi "mantan" suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadia_Ava02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBMS - Bab 18 Bukan Begini Caranya
Pintu apartemen Devano terbuka perlahan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika ia melangkah masuk. Wajahnya pucat, mata merah, kemeja yang dikenakannya tampak kusut akibat seharian penuh ia mencari Delia.
"Dev! Akhirnya kamu pulang juga!" seru Giselle penuh semangat begitu mendengar suara pintu terbuka. Ia melangkah cepat dari sofa, bibirnya sudah siap melontarkan senyum manis, berharap Dev akan memeluknya seperti biasanya.
Namun yang datang bukan Dev yang hangat. Yang berdiri di depannya adalah pria yang pandangannya kosong, bahunya jatuh, dan napasnya berat seperti habis berlari jauh.
"Kita… perlu bicara," suara Dev serak.
Giselle mengerutkan kening. "Kenapa nada suaramu seperti itu? Ada apa? Bukankah kita sudah membicarakan rencana pertunangan kemarin malam?"
Dev menunduk sejenak, seperti mencari kata yang tepat. Lalu ia mengangkat wajahnya yang penuh luka.
"Aku… tidak bisa, Giselle. Aku tidak bisa melanjutkan ini."
"Apa?" Giselle nyaris tertawa, mengira ia salah dengar. "Jangan bercanda, Dev. Baru semalam kita_"
"Giselle." Dev memotong dengan nada tegas. "Hubungan kita harus berakhir. Aku… aku mencintai Delia."
Kalimat itu jatuh seperti bom. Ruangan seketika sunyi. Mata Giselle membesar, bibirnya bergetar tak percaya.
"Apa kurangku, Dev?! Semua sudah aku lakukan! Aku bahkan_" ia terhenti, air matanya mulai turun. "Kau bilang aku yang terbaik untukmu. Kau yang menggandengku di depan semua orang. Kau yang bilang akan menikahiku. Kenapa sekarang seperti ini?"
Dev memejamkan mata. Ia tahu setiap kata yang diucapkannya adalah pisau bagi Giselle, tapi ia tidak bisa lagi berbohong.
"Selama ini… yang kita jalani hambar. Aku bodoh. Aku ingin membuat Delia cemburu. Aku ingin dia mundur. Tapi aku sendiri yang terbakar. Aku sendiri yang sakit saat melihat dia bersama Alvan." suaranya pecah. "Aku masih mencintai Delia. Dan aku tidak akan bercerai dengannya."
Giselle mundur selangkah. Wajahnya merah padam antara marah dan tersakiti. Tangannya mengepal. "Kau… kau jahat, Devano! Semua ini… aku lakukan untukmu! Lalu sekarang aku harus pergi begitu saja?"
Dev tak menjawab. Ia hanya menatap kosong lantai apartemen.
Giselle terisak keras, lalu berteriak. "Kau akan menyesal! Kau pikir Delia masih mau menerimamu setelah semua ini?!"
Pria itu tetap diam, hanya pundaknya yang sedikit bergetar. Di dadanya, nama Delia terus berdengung, membuat semua kata ancaman Giselle seperti angin lewat.
***
Pagi ini Devano melajukan mobilnya menuju ke suatu tempat, dimana mungkin ia akan mendapatkan informasi tentang keberadaan Delia.
Mata pria itu sangat merah dan wajah tampannya bahkan kini sangat kusut. Devano tak bisa tidur semalaman ia berfikir keras harus pergi mencari kemana lagi sang mantan istri.
Setelah sampai, kini Devano berdiri di halaman sebuah rumah, napasnya terengah. Pagi yang biasanya teduh terasa panas dan menyesakkan. Matanya tajam menatap pintu kayu besar di hadapannya. Begitu pintu terbuka dan Alvan muncul dengan pakaian santai, wajah Devano sudah memerah menahan amarah.
"Aku tahu kamu pasti tahu, Van," suara Devano berat. "Delia di mana?"
Alvan mengerutkan kening, jelas terkejut dengan kedatangan itu. "Kenapa kau datang pagi-pagi buta begini? Ada apa?"
"Jangan pura-pura!" Devano mendekat, jaraknya hanya satu langkah dari Alvan. "Dia di mana? Delia di mana?!"
Alvan menahan napas, kemudian mendengus kecil. "Kau baru mencarinya sekarang?" nada suaranya berubah jadi tajam. "Kemana saja kamu selama ini, Devano? Hah?! Setelah dia pergi baru kamu mencari-carinya?!"
Bugh!
Tinju Devano mendarat di wajah Alvan tanpa peringatan. Alvan terhuyung mundur, menahan pipinya yang terasa panas. "Katakan di mana Delia!" Devano menggeram, nadanya pecah di ujung. "Aku harus bertemu dengannya!"
"Aku tidak tahu, Dev!" Alvan membalas dengan nada keras, menatap Devano yang tampak seperti singa terpojok.
"Bohong!" Devano menarik kerah baju Alvan. "Delia sedang mengandung anakku! Aku harus tahu di mana dia!"
Alvan terdiam sejenak, lalu tawa getir keluar dari bibirnya. "Anakmu?" ia memandang Devano penuh sinis. "Atas dasar apa kamu bicara kalau itu anakmu, Dev?" mata Alvan menyipit, menahan emosi yang sama besarnya. "Kau yang selama ini menyia-nyiakan dia, sekarang datang dengan dalih anak?"
"Kurang ajar!" pekik Devano. Tinju keduanya kembali melayang menghantam rahang Alvan. Pria itu terhuyung ke belakang, tubuhnya nyaris jatuh menabrak meja kecil di teras. Namun Alvan tak diam, amarahnya yang selama ini terpendam ikut meledak.
Brak!
Kali ini gantian Alvan membalas pukulan Devano. "Jangan seenaknya mempermainkan Delia!" serunya dengan suara bergetar. Keduanya terlibat baku hantam, tinju, dorongan, dan teriakan bercampur dengan dentingan kaca yang jatuh dari meja. Napas mereka memburu, wajah sama-sama merah.
Brukk!
Devano menghantam pundak Alvan, keduanya jatuh menabrak kursi rotan. "Katakan di mana dia!" Devano terus menggeram, tangannya menahan bahu Alvan.
"Berhenti Dev! Aku tidak tahu di mana dia!" Alvan mendorong balik dengan tenaga penuh. Mereka kembali saling serang, sampai suara berat yang familiar menyela.
"Cukup!" teriak Liam yang entah sejak kapan sudah berdiri di halaman. Pria itu berlari mendekat bersama seorang petugas keamanan dirumah Alvan. Liam lalu menarik tubuh Devano ke belakang dengan paksa. "Tuan Devano, hentikan! bukan begini caranya!"
Devano masih berusaha melepaskan diri. "Lepas, Liam! Aku harus tahu di mana Delia!" teriaknya penuh frustrasi, matanya merah dan basah.
"Tenang dulu, Tuan!" Liam memegang kedua bahu Devano erat-erat, menatapnya tajam. "Anda tidak akan mendapat jawabannya dengan begini!"
Alvan berdiri terhuyung ditahan langsung oleh sang scurity, bibirnya pecah, napasnya memburu, menatap Devano dengan pandangan yang tak kalah tajam. "Pergi dari rumahku, Dev," ucapnya pelan tapi penuh tekanan.
Devano terdiam sejenak, tangannya masih mengepal. Liam menariknya menjauh, memaksa Devano keluar dari rumah itu. Ketegangan tetap terasa di udara, mata Devano terus menatap Alvan sebelum akhirnya ia menunduk, rahangnya mengeras.
"Kita pergi, Tuan," ulang Liam dengan suara lebih lembut. Ia membuka pintu mobil dan mendorong Devano masuk. Mobil itu pun melaju pelan meninggalkan rumah Alvan, sementara Alvan berdiri kaku di teras, mengusap darah di sudut bibirnya, pikirannya sendiri berkecamuk.
Dev jangan jadi di paksa Delia nya
di bujuk secara halus dunk🤭
kasih maaf aja Del tapi jangan cepat² balikan lagi ma Dev
hukumnya masih kurang 🤣
Akui aja toh kalian kan sudah bercerai
biar Dev berjuang samapi titik darah penghabisan 🤭
semangat ya Dev awal perjuangan baru di mulai
kak sekali² cazy up dunk kak🤭🤭
Biar bisa lihat cicit nya
semua butuh waktu dan perjuangan 🤭🤭
Siksa terus Dev dengan penyesalan 🤗🤗🤗
Makan to rencana mu yg berantakan 😏😏
Ayo Dev Nikmati penyesalan mu yg tak seberapa 😄😄
jangan pakai acara nangis Bombay ya Dev 🤣🤣🤣
biar nyesel to Dev
bila perlu ortu Dev tau kalau mereka sudah cerai dan bantu Delia buat sembunyi
soalnya mereka pasti senang kalau tau bakalan punya cicit sama cucu🤭🤭
tunggu karma buatmu ya Dev 😏😏