JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. GAGAL
Langit malam itu seakan lebih berat dari biasanya. Bintang-bintang memang berkelip, namun cahaya mereka seperti terhalang kabut tipis yang menggantung di udara. Di halaman belakang rumah, Sadewa duduk bersila bersama Tama dan Arsel. Ketiganya mencoba menenangkan napas, memusatkan pikiran, dan menyelaraskan sukma dengan cara yang telah mereka pelajari dari Eyang.
Mereka hendak melakukan rogo sukmo, melepas sukma dari raga untuk memasuki dimensi gaib, sebuah ikhtiar berani demi menemukan jejak ibu Sadewa yang kini terjebak di antara batas dunia.
Namun sejak awal, ada sesuatu yang terasa janggal.
Arsel yang biasanya tampak tenang, malam itu wajahnya diliputi kecemasan. Kedua tangannya gemetar saat membentuk mudra yang diajarkan sang kakek. Tama, yang lebih banyak mengandalkan keberanian daripada perhitungan, kali ini pun ragu. Ia beberapa kali menghela napas panjang, seakan menyiapkan diri untuk menghadapi badai.
Sadewa, dengan luka di lengannya yang masih membekas dari peristiwa sebelumnya, berusaha keras menahan rasa sakit. Ia tahu rogo sukmo membutuhkan konsentrasi penuh, tapi pikirannya bercabang: separuh di sini, separuh lagi tertuju pada ibunya yang kini hanya terbaring, napasnya berat, di ruang rumah sakit.
Mereka mulai berkonsentrasi penuh.Napas ditarik perlahan, dilepaskan lebih pelan lagi. Dunia di sekeliling perlahan meredup. Suara jangkrik terdengar semakin jauh, begitu pula desiran angin malam. Seakan mereka bertiga dikelilingi kubah gaib yang memisahkan diri dari dunia nyata.
Tama merasakan tubuhnya ringan. Arsel pun begitu, sukma mulai terangkat perlahan, meninggalkan jasad yang masih duduk bersila. Sadewa merasakan hal sama, namun begitu mereka bertiga melayang menuju gerbang batas yang pernah ditunjukkan Eyang, sesuatu terjadi.
Gerbang itu ... tertutup rapat.
Biasanya, pintu perbatasan berupa celah kabut berwarna kelam, berdenyut seperti jantung yang bernapas. Namun malam ini, ia berubah menjadi dinding hitam pekat, seperti batu besar tanpa retakan sedikit pun.
"Kenapa tertutup?" bisik Tama, suaranya bergetar meski ia berada dalam wujud sukma.
Arsel mencoba mengetuk dinding itu dengan energi batinnya. Tak ada gema. Tak ada riak. Hanya keheningan mencekam.
Sadewa menatap lekat-lekat. Ada rasa sakit menyayat ketika ia menyadari ibunya berada di balik sana, tapi ia tak bisa menembusnya. Setiap kali ia mencoba mendekat, dinding itu bergetar dan memantulkannya kembali.
"Kita terlambat," ucap Arsel, wajahnya muram. "Gerbangnya ditutup. Mereka tak ingin kita masuk."
Sadewa mengepalkan tangan. "Tapi Ibu ada di dalam! Kita harus menyelamatkannya!"
"Bukan berarti kita bisa memaksakan diri," balas Arsel. "Kekuatan mereka jauh lebih besar dari dugaan kita."
Frustrasi memenuhi dada Sadewa. Ia ingin berteriak, ingin meninju dinding hitam itu, tapi apa daya, ia hanyalah sukma tak berbobot. Energinya terus terdorong mundur hingga akhirnya ia tersedot kembali ke tubuhnya.
Ketika Sadewa membuka mata, peluh membasahi keningnya. Napasnya terengah-engah. Ia menoleh pada Tama dan Arsel yang sama-sama membuka mata dengan wajah pucat.
"Kita gagal," kata Tama lirih, suara penuh kekesalan.
Tak ada yang menyahut. Hanya ada hening panjang yang menyelimuti mereka, seolah malam pun ikut menyayangkan kegagalan itu.
Keheningan setelah kegagalan rogo sukmo itu menggantung berat di dada mereka. Sadewa masih terduduk, tatapannya kosong menembus tanah, seolah berharap bumi memberi jawaban. Tama mengusap wajahnya kasar, menahan rasa kesal yang bercampur dengan takut. Sedangkan Arsel menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya yang sejak awal sudah mencium tanda-tanda buruk.
"Kita tidak bisa memaksa sekarang," ujar Arsel akhirnya. "Kalau kita gegabah, bukan hanya ibumu yang tak terselamatkan, kita pun bisa terjebak."
Sadewa menunduk, rahangnya mengeras. Kata-kata itu menyakitkan, tapi ia tahu Arsel benar.
Tama menggeram, memukul tanah dengan kepalan tangan. "Lalu apa kita hanya diam? Membiarkan mereka menahan ibu Sadewa begitu saja?"
Arsel menggeleng, lirih. "Bukan membiarkan ... tapi menunggu saat yang tepat atau mencari portal yang membuka jalan menuju langsung ke dimensi sana. Untuk saat ini, kita tidak punya pilihan selain itu."
Sadewa ingin melawan, ingin menolak kalimat itu, tapi tubuhnya sudah lemah. Luka di lengannya terasa berdenyut makin keras. Ia ingat wajah ibunya, pucat, dingin, mata terpejam rapat di ranjang rumah sakit. Ingat pula Naras dan Dian, dua kakaknya, yang juga terluka akibat kerasukan ibunya. Semua gambaran itu menyayat hatinya.
Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk pelan.
"Baiklah. Kita ke rumah sakit dulu," simpul Sadewa, berusaha tenang dan logis untuk saat ini.
Rumah sakit malam itu dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk. Lampu neon putih berpendar pucat di sepanjang lorong, membuat bayangan orang-orang yang lalu lalang tampak suram. Suara roda brankar yang berderit, tangisan anak kecil, dan perintah perawat bersahut-sahutan, membentuk harmoni kacau khas ruang gawat darurat.
Ibu Sadewa dibaringkan di ranjang dengan selang infus menancap di tangannya. Nafasnya berat, namun lebih teratur dibanding saat kerasukan. Naras dan Dian menempati ranjang lain di ruangan berbeda, keduanya masih lemah dengan perban melilit beberapa bagian tubuh.
Ayah Sadewa tampak duduk di kursi tunggu, wajahnya kuyu, mata merah seakan tak percaya pada apa yang baru saja terjadi di rumahnya. Seorang pria yang biasanya tegas, keras, bahkan dingin terhadap anak-anaknya, kini terlihat rapuh, seakan tonggak yang menopang keluarga itu retak dalam semalam.
Ketika Sadewa, Tama, dan Arsel masuk, ayahnya langsung bangkit. Matanya menatap Sadewa tajam, bukan dengan amarah, melainkan kekhawatiran.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya parau.
Sadewa tertegun. Pertanyaan itu jarang, bahkan hampir tak pernah, keluar dari mulut ayahnya. Selama ini yang ia kenal hanyalah perintah, teguran, atau amarah. Tapi kali ini ... nada peduli itu begitu jelas terdengar.
"A-aku ... baik," jawab Sadewa, meski tubuhnya jelas penuh luka.
Ayahnya menghela napas berat, lalu menepuk bahu Sadewa. "Syukurlah."
Tama dan Arsel saling pandang, terkejut melihat sikap ayah Sadewa yang tak biasanya. Mereka memilih mundur, memberi ruang bagi percakapan ayah dan anak itu.
"Ceritakan pada ayah, Dewa," ucap ayahnya kemudian, duduk kembali dengan tatapan lurus. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuat ibumu bisa seperti itu?"
Sadewa terdiam. Tenggorokannya kering. Bagian dirinya ingin menutupi, namun bagian lain merasa inilah saatnya membuka semua rahasia.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai bercerita.
"Semuanya berawal dari pertarungan konyol Dewa dengan teman sekolah, Yah. Itu hanya permainan anak SMA, bukan taruhan uang atau semacamnya. Seperti permainan kalau yang kalah harus menembak cewek yang disuka, semacam itu. Tapi saat itu aku kalah, dan salah satu temanku menyuruh agar aku membuka mata batin ke seorang dukun di kampungnya. Dewa lakukan saja, karena menurut Dewa itu hanya main-main dan Dewa saat itu juga nggak percaya sama hal begituan."
Ayahnya menatapnya lekat, tanpa menyela.
"Awalnya Dewa pikir itu omong kosong," lanjut Sadewa. "Tapi ternyata, Dewa benar-benar bisa melihat mereka, makhluk yang tak kasat mata. Semakin hari semakin jelas, dan semakin menakutkan."
Dahi ayah Sadewa berkerut dalam, namun tidak menyela dan terus mendengarkan. Hal yang mungkin tidak pernah ia lakukan kepada anak bungsunya ini; Mendengarkan.
Sadewa menunduk, jemarinya menggenggam erat kain celana. "Itu saat Ayah lihat Dewa kayak orang gila waktu itu. Berteriak-teriak, berbicara sendiri. Saat itu ... benar-benar menakutkan."
Ayahnya terhenyak. "Jadi itu benar? Saat kamu aneh waktu itu, memang karena kau melihat sesuatu?"
Sadewa mengangguk. "Ya. Dan sejak itu, Dewa tahu ada sesuatu yang mengincarku. Mereka, makhluk itu, menginginkan Dewa "
Ruangan seakan menelan keheningan. Hanya bunyi mesin monitor detak jantung ibunya yang terdengar stabil.
Arsel akhirnya ikut bicara, pelan. "Sejak saat itu, Mbok Sukma yang menyadari keadaan Sadewa dan memperkenalkannya pada kami. Aku dan Tama berusaha membantu Sadewa mengendalikan apa yang dilihatnya. Tapi rupanya, terbukanya mata batin itu malah membuka pintu bagi makhluk lain untuk mendekat."
Ayah Sadewa menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia gemetar, berusaha mencerna. "Ya Tuhan, jadi selama ini anakku benar-benar ..."
Sadewa hanya bisa menunduk, menunggu reaksi berikutnya. Ia terbiasa dimarahi, dituduh, disalahkan. Tapi kali ini tak ada bentakan.
Sebaliknya, ayahnya menurunkan tangannya, lalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Maafkan Ayah, Dewa ... selama ini Ayah nggak pernah percaya. Ayah pikir kamu hanya nakal, hanya ingin perhatian. Ternyata kamu berjuang sendirian."
Ucapan itu menusuk jauh ke dalam hati Sadewa. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya pecah. Ya, yang Sadewa inginkan selama ini adalah pengakuan dari ayahnya bahwa Sadewa benar dalam melakukan sesuatu.
Di rumah sakit, waktu bergulir lambat. Sadewa mendampingi ayahnya, Tama dan Arsel sesekali keluar untuk membeli makanan atau sekadar menghirup udara malam.
Namun satu hal pasti, malam itu, sesuatu berubah di antara ayah dan anak. Tembok yang selama ini kokoh berdiri, perlahan mulai retak.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???