NovelToon NovelToon
Three Years

Three Years

Status: sedang berlangsung
Genre:JAEMIN NCT
Popularitas:432
Nilai: 5
Nama Author: yvni_9

"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kehilangan

...Happy reading...

"Iya, mereka berdua tidak apa-apa, Bu. Tidak jatuh, tidak ada luka," kali ini pak polisi yang menimpali. Ia melangkah maju sedikit, berbicara dengan suara yang lebih jelas, menjelaskan alasan kedatangannya yang sebenarnya.

"Hanya saja, begini Bu, anak Ibu dan temaninya ini ... terpaksa kami tilang," lanjut pak polisi.

Bunda Leo dan Ayah Leo saling berpandangan, raut wajah mereka kini berubah menjadi kebingungan.

"Tilang?" ulang Ayah Leo.

"Betul, Pak, tilang!" jawab pak polisi.

"Begini ceritanya, tadi kami sedang melakukan razia rutin di jalan. Kami memberhentikan kendaraan mereka ya karena razia rutin. Setelah kami periksa surat-suratnya, ternyata anak Bapak ini ..." Pak polisi menunjuk Leo dengan sopan, "... belum memiliki SIM C, Surat Izin Mengemudi untuk kendaraan roda dua. Padahal, mereka sudah berkendara cukup jauh sampai sana," ucap polisi itu menjelaskan panjang lebar, merinci pelanggaran yang telah dilakukan Leo dan Cely, serta implikasi dari pelanggaran tersebut.

Ayah Leo masih terdiam, namun tatapannya yang tajam menusuk ke arah Leo sudah cukup menggambarkan betapa kecewanya ia dengan tindakan anaknya.

Cely yang berdiri di belakang Leo, merasakan hawa dingin dari tatapan dari Ayah Leo. Ia menundukkan kepala, semakin merasa bersalah dan tidak enak hati. Ia menggigit bibir bawahnya, berharap bisa menghilang saja saat itu juga.

"Untuk saat ini, sesuai prosedur, kendaraan kami tahan di kantor polisi. Dan untuk adik Leo dan saudari Cely, kami antar pulang ke rumah masing-masing," ucap Pak polisi.

"Untuk proses lebih lanjut, kami mohon kehadiran Bapak dan Ibu ke kantor polisi untuk mengambil motor anak Ibu dan Bapak."

Kalimat itu akhirnya keluar, menjelaskan tujuan utama dari kedatangan polisi ke rumah mereka.

"Jadi, motornya ditahan di kantor polisi?" tanya Ayah Leo.

"Betul, Pak!"

"Motornya kami amankan sebagai barang bukti pelanggaran. Nanti di kantor polisi akan dijelaskan lebih detail mengenai prosedur pengambilan kendaraan."

"Jadi, Bapak bisa ikut dengan saya sekarang ke kantor polisi untuk mengambil motor anak bapak?" tanya polisi itu, mengajukan ajakan kepada Ayah Leo.

Ayah Leo menghela napas berat, kemudian mengangguk dengan pasrah.

"Baiklah, Pak. Saya ikut dengan Bapak," ucap Ayah Leo.

Ia mengerti, menghindari masalah ini bukanlah pilihan, ia harus bertanggung jawab sebagai orang tua dan menyelesaikan urusan ini secepatnya.

"Sebentar, Pak!"

Ayah Leo lagi kepada polisi, meminta waktu sejenak untuk bersiap-siap. Ia berbalik dan masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, Ayah Leo kembali muncul di halaman rumah, sudah berganti pakaian dengan rapi. Ia berjalan kembali ke arah polisi yang sudah menunggunya di dekat mobil patroli.

"Besok kita pergi!"

Bunda Leo dan Leo yang sedang menonton pertunjukan TV dikejutkan oleh kedatangan Ayah Leo.

"Tapi, bukanya minggu depan kita berangkatnya, Yah?" tanya Bunda Leo.

"Ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda," jawab ayah Leo, "Jadi, bersiaplah untuk keberangkatan besok pagi!" Kalimatnya singkat, padat, dan jelas, mengakhiri percakapan malam ini.

Mendengar keputusan ayahnya, Leo terbungkam. Tidak ada bantahan yang bisa lolos dari bibirnya, semua kata terasa tercekat di tenggorokan. Ia sadar sepenuhnya, percepatan kepindahannya ini karena kesalahan yang telah ia perbuat.

Bahkan langit masih terlihat gelap. Namun, di bawah rindangnya pohon, mobil sudah terparkir dengan pintu bagasi terbuka lebar. Diterpa dinginnya angin subuh, Ayah Leo bergerak lincah memasukkan koper-koper ke dalam bagasi.

Leo sendiri terdiam kaku di samping bundanya, kopernya masih tergeletak di sebelah kakinya, seolah berat untuk diangkat.

Saat itulah, Zein dan Cely muncul, menghampiri Leo yang tengah mengangkat koper menuju mobil.

"Udah mau berangkat ya?" tanya Zein.

Lalu, Zein memberikan secarik kertas dari genggaman tangannya.

"Hubungi gue kapanpun ya!" ucap Zein, "Di dalam situ ada nomer telepon abang, jadi jangan pernah lupain kita, ya!" sambungnya, seraya menepuk pundak Leo pelan.

Leo menerima kertas itu dari tangan Zein, mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan Zein. Lantas, Leo berjalan perlahan ke arah Cely, memberikan kotak hitam yang sedari tadi ia bawa.

"Cel, ini ... hadiah kecil dari saya," kata Leo, sambil menyodorkan kotak hitam itu.

"Saya beli sedikit demi sedikit, setiap minggu selama dua bulan ini. Selamat ulang tahun, ya. Walaupun ulang tahun kamu masih tiga bulan lagi, tapi ... ini saya kasih."

Cely mati-matian menahan air matanya, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha keras mengontrol napasnya yang mulai tercekat. Ia tidak ingin terlihat cengeng di depan orang-orang.

"Lo ... lo nggak perlu susah payah ngasi ini ke gue!" bilang Cely.

Leo menggelengkan kepalanya. "Nggak apa-apa! Buka ini di hari ulang tahun kamu ya!" bilang Leo.

Kendaraan itu menghilang di cakrawala, meninggalkan Cely dengan lambaian tangan yang tergantung, tatapannya menatap kosong ke arah mobil yang melaju menjauhinya.

Leo menatap Cely hingga sosoknya mengecil dan akhirnya menghilang dari pandangan, rasa bersalahnya semakin menggerogoti hatinya. "Kalau kemarin saya nggak buat kesalahan, mungkin perjalanannya masih akan dilakukan minggu depan," batin Leo.

Mobil terus melaju, meninggalkan rumah yang semakin menjauh. Leo menoleh ke belakang sekali lagi, rumahnya tampak semakin kecil, siluet pohon di depan rumah pun lama kelamaan melebur dengan hijaunya pepohonan di sekitarnya.

Perlahan, kesunyian mulai merayap masuk ke dalam mobil, menyelimuti Leo dan keluarganya. Ayah Leo fokus menyetir, sementara Bunda Leo lebih banyak terdiam, sesekali menghela napas panjang.

Di dalam mobil, keheningan terasa begitu pekat, hanya suara deru mesin dan gesekan ban dengan aspal jalan yang terdengar. Leo bergerak ragu meraih kertas yang diberikan Zein tadi. Dibukanya lipatan kertas itu perlahan, menampilkan deretan angka yang ditulis dengan tinta biru.

"Nomor telepon Abang bakalan terus aku simpan" batin Leo.

Kertas kecil itu, kini tersembunyi aman di balik kantung jaketnya. Matahari mulai menampakkan dirinya. Leo termenung, membiarkan pikirannya melayang-layang tanpa arah yang pasti. Ia menyandarkan kepala lelahnya ke bantalan kursi, membiarkan kantuk perlahan menariknya ke alam mimpi.

Zein berdiri di belakang Cely, aroma lavender dari rambutnya yang tergerai menyapa indranya. Matanya yang lembut menatap wajah Cely yang sendu, lalu dengan perlahan ia merangkul pundaknya, merasakan tubuhnya yang menegang perlahan mulai rileks dalam dekapannya.

"Jangan sedih gitu ah, dek!" kata Zein lembut.

Cely melirik ke arah abangnya yang mendekapnya erat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Udah ya, sekarang kita susun baju-baju lo, abang bantuin pindah!" ajak zein menarik lengan cely masuk ke dalam rumah.

Mereka duduk di kursi belakang taksi, Cely memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong, matanya menerawang jauh melewati bangunan-bangunan yang ia lewati.

"Dia masih di dunia ini, lo masih bisa ngeliat dia lagi suatu hari nanti!" kata Zein. "Jangan murung gitu, lo bukan Cely yang gue kenal!"

Cely mengembuskan napasnya kasar, suaranya lirih hampir tak terdengar. "Kata orang ..." ia menggantungkan kalimatnya, " ...walaupun rumah dia jaraknya deket, kalau udah habis masanya, gue nggak bisa ketemu sama Leo lagi, Bang."

Matanya berkaca-kaca, menatap kosong ke luar jendela, mencari jawaban pada jalanan yang terus berputar menjauh. Zein langsung menoleh ke arah Cely, raut wajahnya melembut, penuh empati. Ia merangkul bahu Cely lebih erat.

"Ah, siapa yang bilang? Boong tuh mereka!" kata Zein tegas, nadanya penuh penolakan terhadap pikiran pesimis adiknya.

"Yang kaya gitu tuh nggak usah dipercaya! Lagian, Leo nggak gampang lupain lo gitu aja! Tadi kan udah gue kasi nomer gue, ntar kalo dia udah sampek juga dia bakalan hubungi kita." Zein tersenyum hangat, mencoba mengirimkan sinyal positif kepada Cely.

Cely masih terdiam, namun kali ini bukan karena putus asa, melainkan karena merenungkan kata-kata Zein. Perlahan, kerutan di dahinya mulai mengendur, dan setitik cahaya harapan kembali muncul di matanya. Mungkin benar masa depan memang tidak pasti, akan ada saatnya kita bersama lagi.

...___________...

1
MindlessKilling
Gak sabar nunggu lanjutannya, thor. Ceritanya keren banget!
yvni_9: terima kasih
total 1 replies
Zhunia Angel
❤️ Hanya bisa bilang satu kata: cinta! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!