Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Baru tidur sekitar dua jam, Yura terbangun karena mendengar suara ribut dari luar kamarnya. Dengan mata masih setengah tertutup, ia membuka pintu.
"Ribut banget, sumpah," gumamnya kesal pada teman-temannya yang tampak asyik tertawa di ruang tengah.
"Hehehe, sorry, Yur," kata Hana dengan tawa kecil.
"Gue laper," ucap Febi sambil memandang Yura dengan ekspresi memelas.
"Pesan online aja, atau… kalian aja yang belanja sekalian?" tawar Yura sambil menguap.
"Okelah, sekalian makan di luar!" seru Febi senang.
"Boleh juga," Yura mengangguk lalu masuk kembali ke kamar. Tak lama, ia kembali sambil membawa dompet. "Nih, catatan belanja. Ini uangnya. Kalau kalian mau beli yang lain, boleh, tapi jangan berlebihan."
"Seriusan?" tanya Hana tak percaya.
"Hmmm..." Yura hanya mengangguk lemas.
"Thank you, Sis!" seru Febi bahagia.
Yura duduk di sofa, rasa kantuknya sudah lenyap meski tubuhnya masih terasa lelah.
"Woy, belanja yok!" seru Hana kepada Rizki.
"Let’s go!" sahut Rizki antusias.
"Lo gak ikut Yur?" tanya Aldin sambil melirik ke arah Yura.
"Gue masih ngantuk, nitip makan aja ya," jawab Yura malas.
"Yakin lo?" Aldin memastikan.
Yura hanya mengangguk.
"Okelah, ayo guys!" ucap Aldin mengajak yang lain.
"Bye, Yur!" Febi melambaikan tangan sambil keluar.
Setelah Yura mendengar suara mobil Rizki menjauh, ia pun berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Namun belum sempat masuk, bel rumah berbunyi.
Dengan langkah gontai, ia menuju pintu. Begitu melihat siapa yang datang, ia langsung menutup pintu kembali.
Ardhan.
Pria itu berdiri di depan pagar, menatap rumah Yura dengan wajah datar.
"Apa lagi sih..." gumam Yura lirih, kesal.
Bel kembali berbunyi. Kali ini dipencet berkali-kali.
Dengan napas tertahan, Yura membuka pintu pagar dan menatap Ardhan dengan tajam.
"Bisa gak sih gak usah ganggu orang pagi-pagi begini!?" semprot Yura.
Ardhan menatapnya, tidak terguncang. “Gue kangen.”
Yura menatap tak percaya. “Kangen-kangen, pergi gak lo!?”
“Yura...” Ardhan berusaha mendekat. “Gue minta maaf.”
Yura sempat terdiam. Satu kata membuatnya sedikit bingung. “Tunggu. Lo ngomong... gue?”
Biasanya Ardhan selalu menggunakan saya kamu. Formal.
Ardhan mengangkat bahu. “Lo juga ngomongnya lo gue, gak sopan. Saya ini lebih tua dari kamu, tahu.”
“Bodo amat,” desis Yura tajam.
“Gue juga... bodo amat,” jawab Ardhan santai, enteng seperti biasa.
Yura mendengus. Ia hampir saja berbalik untuk masuk ke dalam rumah.
“Gue cuma mau ngomong satu hal lagi…”
Yura menyilangkan tangan di dada, menatapnya sinis. “Cepat.”
“Gue gak bisa jauh dari lo Yur.”
Gue mutusin deketin lo secara ugal-ugalan, Yura, batin Ardhan dalam diam.
“Pergi gak lo? Gue merinding sumpah,” ucap Yura, kini benar-benar menggigil, entah karena udara atau karena degup jantungnya.
“Bukain gue pagar... atau gue manjat,” ancam Ardhan sambil menatap atas pagar, siap bertindak.
“Gue udah bilang gak mau ketemu lo lagi! Ngapain sih balik-balik!?” bentak Yura, emosinya naik lagi.
“Tapi gue mutusin buat ketemu lo terus,” ucap Ardhan santai tapi mantap, “Jadi gimana?”
“Kemarin gak cukup buat nyakitin gue, hah!?” tuduh Yura, nadanya tajam, penuh luka yang belum sembuh.
“Gue bakal sembuhin luka yang gue buat,” kata Ardhan pelan tapi penuh keyakinan.
“Gue gak yakin,” ucap Yura lirih, kali ini lebih pelan... hampir seperti bentuk perlindungan diri.
“Tapi gue yakin. Banget,” ucap Ardhan mantap.
“Gak akan.”
“Kasih gue kesempatan. Satu aja. Gue bakal buktiin.”
Yura kembali diam. Luka di hatinya belum kering, tapi pria itu datang lagi, dengan senyum dan tekad yang sama.
“Ayo sarapan,” ucap Ardhan sambil mengangkat kotak makan.
“Gue udah makan,” jawab Yura cepat dan jelas berbohong.
“Bohong. Lo aja baru bangun,” sahut Ardhan, tersenyum geli.
“Tau dari mana?” tanya Yura curiga, matanya menyipit tajam.
“Temen lo yang bilang. Sebelum mereka pergi, gue tanya.”
Sambil bicara, Ardhan berhasil membuka pagar rumah Yura.
“Berhenti di situ!” seru Yura, tangannya menunjuk lantai, seolah itu batas sakral. “Cowok gak boleh masuk rumah gue.”
“Temen lo yang dua itu bisa,” Ardhan mengangkat alis, tetap berdiri di tempat.
“Mereka beda.”
“Gue kan... suami lo,” ucap Ardhan tiba-tiba.
“Yaaaa!!” Yura menjerit, benar-benar kesal. “Mulut lo!” Ia melangkah maju dan langsung memukul lengan Ardhan.
“Loh, bener kan? Lo sendiri yang ngomong,” kata Ardhan sambil menahan tawa.
“Enggak!”
“Ayo sarapan,” ulang Ardhan, kali ini mengangkat kotak makan lebih tinggi.
Yura diam. Tidak menjawab. Tapi... ada sesuatu yang terasa aneh di dalam hatinya.
Perasaan kesal itu seperti menguap begitu saja, berganti dengan rasa yang bahkan tak bisa ia jelaskan.
Gue kenapa sih... batin Yura, heran pada dirinya sendiri.
“Ayo...” ucap Ardhan pelan sambil menarik tangannya.
Dan Yura... membiarkannya.
"Ini kan rumah gue! Kenapa lo bisa masuk tanpa izin?" tanya Yura begitu sadar setelah mereka masuk ke dalam rumah.
"Lo juga gak ngelarang. Lagian... ini juga rumah istri gue," jawab Ardhan santai.
“Gue bukan istri lo!”
“Bukan sekarang,” balas Ardhan tanpa kehilangan senyum. "Tapi gue bakalan nikahin lo."
Setelah sampai di dapur, Ardhan membuka kotak makan yang ia bawa khusus untuk Yura. Aroma hangat langsung menyebar ke seluruh ruangan.
“Duduk. Makan dulu, baru tidur lagi,” ucap Ardhan, meletakkan kotak di meja.
Yura menatap makanan itu dengan ragu, diam sesaat.
“Kenapa? Ini gak ada racunnya, tenang aja,” kata Ardhan sambil menyodorkan sendok.
Yura akhirnya mengambilnya dan mulai makan. Satu suapan, dua suapan... matanya langsung membulat. Rasanya enak.
“Enak kan?” tanya Ardhan percaya diri. Yura hanya mengangguk pelan.
“Gue yang masak,” tambah Ardhan cepat.
Yura spontan berhenti mengunyah. Ia menatap Ardhan dengan tatapan serius penuh curiga, seolah ingin berkata, Lo bohong kan!?
“Buruan makan,” kata Ardhan, terkekeh melihat ekspresi Yura.
Sambil Yura makan, Ardhan berjalan pelan mengelilingi ruang tengah.
“Rumah lo nyaman. Kapan-kapan gue boleh ke sini lagi kan?” tanyanya sambil melirik ke arah Yura.
“Emang kalo gue bilang ‘jangan’, lo bakal nurut? Enggak kan? Jadi gak usah nanya!” balas Yura, kesal, sambil tetap mengunyah.
“Bener juga,” Ardhan tertawa kecil. Karena masuk tanpa izin aja bisa.
Tiba-tiba matanya tertuju ke salah satu sudut ruangan. “Lukisan lo bagus. Lukis gue juga dong,” pintanya sambil tersenyum lebar.
“Ogah,” sahut Yura cepat, tanpa pikir panjang.
“Gue bayar deh.”
“Gimana kalau gini. Gue lukis lo gratis, tapi lo jangan muncul lagi di hadapan gue?” Yura tersenyum menang, merasa pintar.
“Ngadi-ngadi. Udah, habisin makanan lo,” sahut Ardhan sambil duduk di seberangnya.
“Dih!” Yura memutar bola mata, tapi tetap menyendok makanan lagi.
Di satu sisi, ia merasa kesal, tapi di sisi lain… kenapa justru hatinya sedikit senang?
Yura bingung sendiri. Kemarin Ardhan membuatnya terluka, dan sekarang… ia bisa duduk makan bersama seolah tak ada apa-apa.
Lebih tepatnya, Yura merasa bimbang. Ardhan bilang kalau dia gak akan bertanggung jawab karena bukan salahnya. Tapi bagi Yura itu omong kosong belaka, bagaimana mungkin seorang anak bisa membantah keinginan orang tuanya.
“Gue tau gue tampan, tapi ngeliatin muka gue gak bikin kenyang. Makan,” kata Ardhan.
“Ini porsinya kebanyakan. Gue udah kenyang,” keluh Yura, lalu memandang Ardhan. “Emang lo udah makan?”
“Udah,” jawab Ardhan singkat.
Mau gak mau, Yura akhirnya menghabiskan makanannya, meski sambil manyun.