NovelToon NovelToon
Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Percintaan Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Portgasdhaaa

Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.

Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jebakan

Langkah Laras menyusuri lorong hotel terasa ringan tapi tergesa. Tangannya sibuk membuka aplikasi chat—berusaha menghubungi panitia yang mungkin bisa dipinjami jas atau outer. Tapi sinyal di sudut itu buruk. Ia mendesah kecil, lalu memutuskan mencari ke ruang ganti panitia yang katanya ada di belakang ballroom.

Ia sempat berpikir meminta bantuan  teman kampus yang tengah asyik berbincang. Tapi pikirannya segera mundur. Ia tak ingin Ayu makin malu apalagi kalau insiden tadi menyebar ke telinga yang salah. Ayu sudah cukup tertekan. Akhirnya Laras memutuskan mencari solusi sendiri.

Suara musik pesta makin sayup, tergantikan oleh derik AC dan gemerisik langkah kaki sendiri. Cahaya di lorong itu redup, hanya beberapa lampu langit-langit yang menyala. Di tengah perjalanannya, seseorang tiba-tiba memanggil dari arah kanan.

“Permisi... kamu Laras Wijaya, ya?”

Laras menoleh. Seorang pria berdiri di ujung lorong, bersandar santai di dekat dispenser air. Rambutnya hitam legam, tertata rapi, dan setelan jasnya tampak terlalu mahal untuk dikenakan tamu biasa. Wajahnya asing, tapi senyumnya seolah menyimpan sesuatu.

Laras mengangguk ragu. “Iya. Maaf, kita kenal?”

Pria itu melangkah maju, menyodorkan tangan. “Nama aku Kevin. Aku salah satu tamu undangan khusus dari partner bisnis keluarga besar Mahardika.”

Laras menjabat tangan itu, meski sesuatu dalam genggaman pria itu terasa... dingin.

“Aku lihat kamu kayak lagi nyari sesuatu?”

Laras sempat terdiam sejenak, namun akhirnya menjawab dengan ragu. “Ya...aku lagi nyari other atau jas buat temen, tadi gak sengaja ketumpahan Jus.”

Kevin mengangguk, terlihat seolah sedang mengingat sesuatu. “ Oh iya, kalau kamu butuh jas, kebetulan barusan aku lihat ada tumpukan pakaian panitia di ruang serbaguna. Ada other juga buat cewek. Aku bisa antar.”

“Ruang serbaguna?” Laras mengernyit.

“Iya, deket tangga darurat. Lewat sini. Sepi sih, tapi pintunya kebuka. Daripada balik ke ballroom dan ribet, mending sini aja.”

Laras sempat ragu. Tapi dia teringat Ayu. Ekspresi malu temannya karena gaun basahnya, tatapan para tamu yang terus menyudutkan mereka. Ia butuh outer, secepatnya.

“Oke deh, bisa tolong antarkan saya?”

Kevin tersenyum, lalu berjalan lebih dulu. Lorong itu sedikit sepi, hanya ada beberapa petugas hotel yang sesekali lewat.

Akhirnya mereka berhenti tepat di depan pintu kayu.

“Ini ruangannya,” ucap Kevin. Ia mendorong pintu yang berderit pelan. Ruangan itu gelap, tapi terlihat ada cahaya temaram dari lampu kecil. Di sisi kiri, tampak tumpukan baju dan properti pesta.

“Silakan, coba cek aja. Aku tunggu di luar.”

Laras melangkah masuk, lalu menutup pintu setengah. Tangannya mulai memilah outer panjang berwarna netral.

Klik.

Suara pintu dikunci dari luar.

Laras menoleh cepat. “Kevin?”

Tak ada jawaban.

Ia segera berjalan ke pintu, mencoba memutarnya.

Terkunci.

Deg.

Panik mulai merayap. Nafasnya memburu. Ia mengetuk pintu keras-keras. “Kevin?! Ini gak lucu. Buka pintunya!”

Namun hanya ada keheningan. Denting musik dari ballroom terdengar jauh seperti gema tak berarti.

Di luar Kevin hanya tersenyum tipis dan berdiri diam menjaga pintu. Dia tahu siapa yang sedang menunggu di dalam.

_____

Laras mundur perlahan, jantungnya berdegup liar.

Dan dari bayang-bayang rak di sudut ruangan, seseorang melangkah keluar.

Langkahnya berat. Nafas kasar.

Pria itu tinggi, berjas hitam dengan kemeja tak dikancingkan penuh. Rambutnya yang pirang keemasan terlihat mencolok dalam ruangan yang temaram. Wajahnya tajam, dengan bekas luka samar di rahang kiri. Tapi yang paling membuat Laras membeku adalah... tatapannya.

Tatapan yang pernah ia lihat bertahun-tahun lalu.

Suara pria itu terdengar dalam dan berat.

 “Lama gak ketemu, Laras.”

Laras tak bergerak. Wajah itu, suara itu, nama itu...

“Damian?” 

Senyum Damian miring, penuh ejekan. 

“Wah, kamu masih inget ya. Padahal kamu yang bikin aku hampir masuk penjara.”

“Kenapa kamu ada di sini?” Laras berusaha menjaga nadanya tetap tenang, meski lututnya mulai lemas.

Damian melangkah mendekat. “Aneh, ya? Menurut kamu berapa lama aku menantikan momen ini?”

Laras mengatupkan rahangnya. “Kalau kamu pikir ini semacam candaan, aku gak takut. Aku bisa lapor—”

“Lapor?” Damian terkekeh sinis. “Kayak waktu kamu ngelaporin aku ke sekolah dulu? ”

Laras tercekat. Ia masih ingat jelas, Damian. Ketua geng brutal di SMA-nya, yang selalu lolos dari hukuman meski jadi biang onar dan pengedar narkoba.

Damian adalah putra dari salah satu keluarga besar yang disebut-sebut Sembilan Naga, sehingga bahkan guru sekali pun tidak berani menentangnya.

Waktu itu, salah satu sahabat Laras nyaris kehilangan nyawa karena barang haram itu, dan Laras yang diam-diam mengumpulkan bukti. Ia melaporkannya dengan gemetar, berharap keadilan datang. Tapi Damian hanya dikeluarkan secara diam-diam. Tidak ada polisi. Tidak ada hukuman. Hanya kebencian yang tersisa… sampai sekarang.

“Waktu itu aku cuma—”

“Cuma apa?” bentak Damian, kini hanya berjarak dua langkah darinya. “Cuma ngelakuin hal yang benar biar keliatan suci?

Mata Laras menatap tajam. “Kamu jual narkoba di lingkungan sekolah. Ada teman kita yang overdosis karena barangmu. Aku gak nyesel.”

Wajah Damian menegang. “Terus apa urusannya denganku? Kamu pikir alasan konyol kayak gitu cukup buat ngusik orang kayak aku?”

Wajah Laras lebih menegang. Untuk sesaat rasa takutnya tergantikan oleh kemarahan.

“Alasan konyol?! Kamu nyaris bikin sahabatku mati, dan kamu bilang itu cuma—”

“Cuma nasib buruk orang miskin,” potong Damian dingin.

Laras terdiam. Kata-kata itu terasa seperti cambuk di wajahnya.

“Kalau dia kuat, dia gak bakal overdosis,” lanjut Damian sambil mendekat, langkahnya santai tapi mengancam. “Tapi ya... kelas bawah memang mudah hancur. Lemah. Dan kalian pikir pantas mengatur hidup orang macam aku?”

Tangannya terangkat, ingin menyentuh dagu Laras. Tapi Laras dengan cepat menangkisnya.

“Cukup Damian! Jangan main-main! Kalau kamu berani menyentuh, aku akan lapor ke polisi!”

Damian tersenyum sinis menanggapi. “Kamu pikir hal itu akan bekerja padaku?”

“Sayangnya, bahkan sebelum kamu lapor, tubuhmu akan habis terlebih dahulu olehku.” Damian semakin mendekatkan tubuhnya pada Laras. Wajahnya terlihat semakin beringas.

Laras panik. Ia berlari ke pintu dan mulai menggedor dengan keras. 

“HALO?! TOLONG!! SIAPA PUN DI LUAR SANA, TOLONG AKU!!”

Suara teriakan itu menggema, tapi anehnya… tak ada balasan. Seolah ruangan itu benar-benar terisolasi dari dunia luar.

Ia menjerit lagi, kali ini lebih keras. “TOLONG!!! ADA ORANG?!”

“Percuma Laras, bahkan jika kamu teriak sampai suaramu habis, tidak akan ada orang yang mendengarnya. Ruangan ini telah dirancang khusus agar kedap suara.”  

Damian mendekat lagi, langkahnya tak terburu-buru, namun tekanan di ruangan seolah makin menyempit. Seperti ada udara yang dihisap oleh kegelapan itu sendiri. Tatapannya penuh kuasa, seperti pemangsa yang sudah menikmati ketakutan mangsanya.

Tiba-tiba, ia meraih tangan Laras dengan paksa.

“Lepasin!” teriak Laras, berusaha menarik diri.

Tapi genggaman Damian sekuat besi. Dengan satu sentakan kasar, ia menarik Laras hingga tubuh gadis itu terhempas menjauh dari pintu.

Brak!

Punggung Laras menghantam lantai keras. Ia meringis. Kakinya terasa ngilu luar biasa—terkilir. Tangannya yang mencoba menahan jatuh justru menggores pada pecahan kecil kaca dekorasi di lantai, hingga darah menetes membasahi kulitnya.

Namun rasa sakit itu tak sempat benar-benar dirasakan. Panik menenggelamkan semuanya. Nafas Laras tersengal. Ketakutan merambat liar dalam dirinya. Dunia di sekitarnya kabur oleh air mata yang mulai menggenang tanpa bisa dibendung.

“Jangan... tolong jangan lakukan ini...” isaknya lirih, nyaris seperti bisikan. Air mata jatuh satu-satu, membasahi pipi yang pucat.

Damian tak menjawab. Ia hanya menatapnya dari atas, seolah menikmati kehancuran yang pelan-pelan ia ukir. Wajahnya tampak seperti topeng tanpa belas kasihan.

Laras menatap sekeliling, mencari apa pun. Tapi ruangan itu nyaris kosong. Tak ada jendela. Tak ada alat komunikasi. Dan satu-satunya pintu... terkunci rapat.

Ketika Damian mulai mendekat lagi, Laras hanya bisa merangkak mundur meski kakinya kesakitan. Tangannya yang berdarah kini meninggalkan jejak merah di lantai kusam.

“Aku mohon...” bisiknya. “Hentikan...”

Damian menunduk perlahan, nyaris meraih wajahnya.

BAGH!!

DUARR!!

BRAKKKK!!

Suara ledakan kayu pecah memecah udara.

Pintu itu hancur berkeping-keping. Potongan kayu beterbangan menghantam dinding dan lantai, menebarkan debu ke seluruh ruangan.

Damian menoleh cepat—terkejut. Debu mengaburkan pandangan, namun siluet seseorang tampak berdiri di ambang pintu yang hancur. Nafasnya berat. Matanya menyala penuh amarah.

 

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!