Sekuel dari novel Cintaku Dari Zaman Kuno
Azzura hidup dalam kemewahan yang tak terhingga. Ia adalah putri dari keluarga Azlan, keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negara Elarion. Namun, dunia tidak tahu siapa dia sebenarnya. Azzura menyamar sebagai gadis cupu dan sederhana semua demi kekasihnya, Kenzo.
Namun, tepat saat perkemahan kampus tak sengaja Azzura menemukan sang kekasih berselingkuh karena keputusasaan Azzura berlari ke hutan tak tentu arah. Hingga, mengantarkannya ke seorang pria tampan yang terluka, yang memiliki banyak misteri yaitu Xavier.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Xavier
Azzura dan Sania melangkah santai menuju meja kasir butik mewah itu. Langkah mereka tenang tapi pasti, seolah ejekan yang baru saja dilontarkan Rica tidak pernah terjadi.
Karyawan butik kini memasang senyum penuh sinis mengira kedua gadis itu akan menjilat sepatu Rica.
Manager butik yang kebetulan datang, langsung berdiri di belakang kasir menunggu pembayaran.
Dengan santai, Azzura mengeluarkan sebuah dompet kulit hitam elegan dan menyerahkan kartu ke kasir. Bukan kartu biasa tapi
black card.
Seketika, mata Rica dan teman-temannya melotot tak percaya.
“I—itu …” Rica tidak meneruskan ucapannya.
“B—black card asli?” salah satu sahabat Rica tergagap menyambung ucapan Rica.
Sania menyilangkan tangan di depan dada sambil tersenyum sinis. “Kalian bilang dia miskin?” katanya, lalu Sania terkekeh sinis. “Lucu banget kalian.”
Selesai transaksi, Azzura menatap manajer butik. Matanya tenang, suaranya lembut tapi tegas. “Lain kali, ajari staf Anda agar tidak menilai orang hanya dari penampilan.
Manager itu membungkuk dalam karena tahu, jika gadis di hadapannya itu bukan gadis biasa.
“Kami sungguh minta maaf, Nona. Kami akan pastikan kejadian ini tidak terulang.”
Azzura mengangguk dingin. "Hmmph ...."
"Ayo kita pergi!" kata Sania.
Saat Azzura dan Sania bersiap pergi tapi Rica sepertinya tidak terima kekalahan ini. Wajahnya merah padam. Harga dirinya remuk. Tapi mulutnya tetap angkuh.
“Gak masuk akal. Anak beasiswa miskin bisa punya black card?” Senyum sinis terukir di bibirnya. “Oh! Atau jangan-jangan kamu peliharaan sugar daddy, ya?” lanjut Rica
Sania membelalak. “Heh?! Rica! Kamu—”
Tapi sebelum Sania menyelesaikan kalimatnya, suara pria dingin dan berat menyela.
“Kalau iya, memangnya kenapa?”
Semua orang membalikkan badan, saat mendengar suara berat seorang pria.
Xavier.
Dengan jas mewah, rambut hitam rapi, dan sorot mata tajam, Xavier melangkah masuk butik seperti badai.
Rica dan teman-temannya nyaris tersedak napas. Sosok itu bukan main dan karismatik. Bahkan aura yang memancar darinya jelas menunjukkan kekuasaan dan kekayaan.
“Si—siapa dia?” bisik Rica pelan, terpesona.
Xavier tidak menatap siapa pun, hanya fokus pada Azzura. Dengan langkah mantap, ia menghampiri gadis itu dan langsung memeluk pinggang Azzura dengan santai, posesif.
Azzura membeku. “X—Xavier … apa yang kamu lakukan?” gumamnya pelan, wajahnya mulai memerah.
Sania nyaris ternganga, tapi juga tidak bisa menyembunyikan tawa bahagianya.
Xavier menoleh perlahan ke arah Rica.
Sorot matanya berubah dingin. “Kau bilang dia peliharaan sugar daddy, bukan?” Rica hanya diam karena masih terpesona.
“Kau benar. Aku sugar daddynya, dalam hal melindungi dan menjaga apa yang jadi milikku.” Xavier melanjutkan ucapannya.
Rica tergagap. “Aku … aku. Kamu—”
Xavier melangkah mendekat sedikit. “Lain kali, pastikan mulutmu sejalan dengan isi dompetmu. Karena aku bisa membeli seluruh butik ini termasuk harga dirimu, jika itu masih punya harga diri.”
Butik langsung hening. Tak satu pun berani tertawa.
Sania bertepuk tangan pelan. “Well said, Tuan Daddy,” gumamnya geli.
Azzura menarik lengan Xavier malu-malu. “Ayo pergi, sebelum suasananya makin dramatis.”
Xavier tersenyum kecil, lalu menunduk ke arah Azzura. “Apa pun yang membuatmu tidak nyaman akan aku singkirkan.”
Mereka pun melangkah keluar dari butik, meninggalkan Rica dan gengnya yang tak berkutik.
Butik mewah itu kembali tenang setelah kepergian Azzura dan Xavier. Namun, di sudut dekat rak tas kulit, Rica mendadak melempar majalah fashion yang ada di tangannya.
“Sialan!” hardiknya. “Gimana bisa, gadis cupu, miskin, gak modis kayak dia—dapet pria tampan kayak tadi?!”
Salah satu temannya, Liza, menatap Rica dengan ragu. “Eh … tapi kayaknya aku pernah lihat deh wajah cowok tadi.”
Teman satunya, Mona, mengangguk cepat. “Iya! Aku juga merasa familiar!”
Tanpa sengaja, mata teman Rica melihat majalah bisnis. Liza cepat-cepat mengambil majalah bisnis itu yang tergeletak di meja kasir, dan membuka salah satu halaman utamanya.
“Lihat ini!”
Wajah Rica memucat.
Terpampang jelas wajah tampan dan dingin Xavier dengan judul besar:
“Xabier Valens, CEO Termuda di asia Pasifik – Pewaris Tunggal Valenz Group”
Rica langsung merosot ke kursi. “Gak mungkin … dia Xavier Valenz?” ucap Rica tidak percaya. “Itu—itu pria yang tadi melindungi Azzura?!”
Sementara itu, di luar butik di dekat sebuah restoran.
Azzura terus menarik tangan Xavier menjauh dari keramaian. Sania mengikuti di belakang, menahan senyum geli.
“Astaga, bisa gak sih kamu berhenti bikin heboh di tempat umum?” decak Azzura. “Gimana bisa kamu tiba-tiba muncul di sana?!” tanya Azzura.
Xavier hanya menatapnya datar, suaranya tetap tenang tapi mengandung makna.
“Aku cuma lewat. Tapi begitu kulihat Luna-ku diganggu, aku gak tahan.”
Xavier berbohong, sebenarnya dia mengikuti Azzura sama seperti sebelumnya. Cuman bedanya dulu, Xavier mengikuti Azzura diam-diam tapi sekarang, Xavier melakukannya terang-terangan meski harus berbohong.
Wajah Azzura langsung memerah. Tapi dia dengan cepat menepis perasaannya itu karena trauma dengan laki-laki.
“Bisa gak jangan panggil aku Luna di depan umum? Orang-orang bisa salah paham.”
Sania mendekat, matanya menyipit nakal. “Jadi … ini Xavier?” Sania menatap dari atas ke bawah Xavier lalu berkata, “Xavier yang kamu ceritain tadi pagi?”
Ia berdecak kagum. “Pantas kamu nggak bahas Kenzo lagi ke aku. Uh, ternyata lebih dari sekadar tampan. Ini nih namanya rejeki nomplok, buang sampah kotor, eh malah dapet berlian langka.”
Azzura melotot ke arah Sania. “San! Jangan sembarangan!”
Sania tertawa kecil lalu menyodorkan tangan ke Xavier.“Aku Sania, sepupunya Azzura. Dia baru tadi pagi ceritain tentang kamu, tapi aku belum pernah lihat langsung. Dan wow … kamu bahkan lebih ganteng daripada yang dia ceritakan.”
Xavier hanya mengangguk singkat tanpa membalas jabat tangan Sania, lalu mengalihkan pandangan ke belakang Sania.
Seorang pria tinggi berwajah serius berdiri diam tak jauh dari mereka.
Sania melirik dan mengangkat alis. “Kalau dia siapa?” Sambil menunjuk pria itu dengan dagunya.
Xavier menoleh. “Itu Alex. Asistenku.”
Alex hanya membungkuk sopan. “Senang bertemu, Nona.”
Sania melirik ke Azzura dan berbisik nakal. “Yang Xavier punya kamu, tapi yang bikin jantungku deg-degan justru si Alex.”
Azzura langsung mendorong Sania pelan, malu bukan main. “Berhenti, San!”
Xavier hanya tersenyum tipis melihat kedekatan dua sepupu itu.
Perut Sania tiba-tiba berbunyi, membuat gadis itu terkekeh geli. "Maaf, aku laper."
Azzura mendengus dan berkata, "Ya, sudah. Ayo kita makan."
**
Kini Azzura, Sania, Xavier, dan Alex duduk di meja VIP di sebuah restoran. Menu disodorkan, pelayan menunggu dengan sopan.
Sania menoleh ke Xavier dan Alex yang sama-sama tanpa ragu memesan daging merah dalam porsi besar.
Sania mengangkat alis. “Wow, kalian suka daging banget, ya?” Nada suaranya ringan, tapi matanya mengamati penuh rasa ingin tahu.
Xavier hanya mengangkat bahu sedikit, menjawab dengan suara datar tapi sopan. “Daging, sumber energi terbaik. Apalagi kalau masih segar.”
Azzura yang duduk di samping Xavier melirik pria itu sambil menyipitkan mata. “Segar? Kayak habis buru langsung panggang gitu?”
Alex menahan senyum, hampir terbatuk. “Kurang lebih begitu, Nona Azzura.”
Sania menyandarkan punggung ke kursi, mengaduk minumannya. “Hmm … unik juga. Biasanya orang kaya kayak kalian pesannya wine atau salad tapi ini dua-duanya full protein.” Sambil tersenyum menggoda.
Xavier menoleh perlahan ke arah Sania, matanya sejenak berubah lebih tajam. Tapi hanya sekilas.
“Kami punya gaya hidup yang berbeda dari kebanyakan orang.”
Sania merasakan hawa aneh tapi cepat tersenyum lagi, menutupi kekikukannya.
“Yah, siapa pun kalian, makannya bareng sepupu aku berarti kalian lulus seleksi awal.”
Azzura langsung memelototi Sania. “San! Bisa gak … jangan gitu di depan orang?”
Sania cengengesan. “Apa? Aku cuma ngecek calon—eh maksudku, teman spesial kamu.”
Alex diam tapi bibirnya sedikit terangkat. “Menyenangkan ya, punya keluarga yang hangat seperti ini.”
Xavier hanya mengangguk pelan. Pandangannya kembali ke Azzura. “Kau sudah makan cukup?”
Azzura mengangguk pelan.
“Iya. Tapi aku masih kenyang karena drama di butik tadi.”
Xavier menyandarkan tubuhnya ke kursi, suaranya lebih lembut. “Kalau ada yang mengganggumu lagi, katakan padaku. Aku akan urus.”
Sania menatap Xavier lama. “Kau ... selalu serius ya?”
Xavier menatap balik, tatapannya tenang. “Untuk hal yang penting ... aku tidak tahu cara bercanda.”
Sania terkekeh kecil. "Uhuyyy ... Kok aku jadi baper yaa."
Azzura menggigit bibir bawahnya pelan, jantungnya berdetak tak karuan.
kenzo aja aneh g nagaca kan hadeh munafik bget deh si kenzo ini
dia baik tp baik sm siap.dlu
lah ini apaaaaa
zanaya sm penduduk kecil baik g pelit kasih modal usaha dan pelatihan
lah manusia jmn skrg yg ada iri dengki dan tamak
bukan nya tau tata krama tp mlh ngelunjak
yaa nikmati aja cara mu didik anak wkwkwk mampus kau slh cari lawan
nahh blm tau azura aja sok2an loe.