Seorang anak tiba-tiba ingin membeliku untuk menjadi Ayahnya. Dia bilang, jika aku menjadi ayahnya, maka dia akan memberikan Ibunya padaku. Gratis.
Menarik.
Tapi ternyata, ibunya tidak seperti wanita pada umumnya. Dia ... sedikit gila. Setiap hari yang ada di kepalanya hanya memikirkan bagaimana caranya menanggalkan seluruh pakaianku.
Aku, Sebastian Foster, bersumpah akan menahan dia di sisiku. Selamanya. Karena dia yang sudah mer4ngs4ng g4irahku, jangan berharap aku bisa berhenti!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Ayah Gula
Jeritan di dalam berhenti tiba-tiba.
Pintu terbuka.
Samantha menerobos masuk, melempar tasnya dan kemudian menendang.
“Ibu, apa yang kamu lakukan?” Nelson memekik.
Tas yang ia lempar tadi sudah mengenai kepala Sebastian, dan Samantha baru sadar jika kepala itu milik atasannya.
Samantha berkedip kaku.
Nelson berlari dengan cepat memeriksa Sebastian. Nadanya penuh kekhawatiran saat dia bertanya, “Ayah, apa kamu merasa sakit?”
Sebastian menenteng tas itu dengan satu tangan, dan tangan lainnya mengusap kepala sambil mendesis. Mungkin menahan marah.
Tapi di depan Nelson, dia menggeleng dan berkata, “Sekretaris Huang sangat atletis.”
Ya Tuhan … dia Wakil Presiden Foster!
Bagaimana jika kepalanya terluka karena dirinya?
“Ibu, aku dan Ayah hanya bermain-main!” Nelson mendengus padanya, lalu membawa Sebastian duduk di sofa. “Ayah, Ibuku terlalu bersemangat.”
Samantha tersenyum. Kata tidak berdosa tertulis di keningnya.
Buru-buru dia mengikuti mereka, membantu Sebastian menggosok kepalanya.
Tapi detik kemudian, tubuhnya disingkirkan oleh Nelson.
“Ayah, biarkan aku menggosoknya untukmu, dan Ibu yang akan memasak makanan lezat untukmu. Setelah itu kau tidak akan merasa sakit lagi.”
“Itu … ide yang bagus.” Samantha berdiri dengan cepat, sebelum pria itu berubah pikiran.
Dia akan memamerkan keterampilan memasaknya untuk mengubah kesan dirinya pada Sebastian, dan mengubah pikiran pria itu bahwa dia hanya berniat mencari ‘sugar daddy’.
Selain itu, semakin dekat dia dengan Sebastian, semakin besar pula peluangnya menyelidiki kasus.
Setelah menimbang semua pemikiran itu, Samantha memasak dengan sepenuh hati.
Tapi setelah dia selesai dengan semuanya dan siap untuk memulai makan malam, ponsel Sebastian berdering.
Pria itu bergerak ke sisi lain, seolah tidak ingin mereka mendengar apa-apa.
Sialnya, Sebastian adalah pria yang hemat bicara. Panggilan yang berlangsung beberapa detik itu, hanya kata, “Ya, aku akan ke sana sebentar lagi,” yang bisa didengar oleh Samantha. Setelah itu dia menutup ponselnya lagi.
Jelas ada yang salah!
“Bau dan tampilannya enak,” kata Sebastian. “Sayang sekali aku tidak bisa merasakannya sekarang. Masak lagi untukku besok.”
“Apa kamu punya rencana lain? Bukankah ini sudah cukup malam untuk bepergian?”
“Hanya sedikit.” Lalu Sebastian menyentuh pundak Nelson dan berkata, “Aku tidak bisa makan malam denganmu hari ini. Sebagai gantinya, aku akan menjemputmu sekolah besok.”
Begitu pintu ditutup, Samantha mengisi semangkuk nasi dan meletakkannya di atas meja. “Nelson, Ibu tiba-tiba ingat bahwa kita tidak punya susu untuk sarapan, dan supermarket akan tutup sebentar lagi. Jadi, kau makan malam dulu dan kemudian tidur. Aku akan segera kembali.”
Nelson sedikit kesal, tapi dia tetap memanjat meja makan dengan patuh.
Tidak punya banyak waktu, Samantha segera menutup pintu dan bergegas turun.
Dia mengejar Sebastian yang sudah menjalankan mobilnya, memanggil taxi yang saat itu berhenti di bahu jalan.
Samantha merasa bahwa telepon yang dijawab Sebastian mencurigakan. Tentu saja ini sudah tugasnya untuk menyelidiki.
Mobil pria itu menuju ke sebuah kawasan kecil yang ada di perbatasan.
Samantha keluar dari taxi dan dengan cepat mengejarnya.
Kawasan itu adalah daerah perumahan biasa dengan bangunan tinggi dan kecil. Perasaan Samantha semakin kuat bahwa pasti ada sesuatu di sana.
Dia bersembunyi di semak-semak saat cahaya mobil menyapu, dan dia bisa melihat dengan jelas bahwa Olivia Miller adalah orang yang duduk di sana!
Apa hubungan mereka?
Samantha menjadi gugup.
Namun, ponsel di tasnya menyela. Ada panggilan dari Nelson yang menanyakan kapan dia pulang karena dia ingin tidur.
Setelah dia melihat ke atas lagi, mobil yang membawa Sebastian dan Olivia sudah menghilang.
Sial sekali!
Tapi dia juga tidak bisa mengabaikan Nelson, karena anak itu tidak bisa tidur tanpa ditemani. Samantha tidak memiliki pilihan selain mengambil jalan pulang.
…..
Keeesokan harinya, Samantha datang ke kantor lebih awal. Dia melamun di depan komputernya untuk waktu yang lama karena tidak melihat Sebastian dan tidak menemukan apa pun tentang lokasinya dari Sekretaris lain.
‘Sudah terlambat. Mereka mungkin berkencan untuk melakukan sesuatu yang kotor.’
Dihantui oleh gambaran di mana Sebastian dan Olivia pergi bersama dalam satu mobil kemarin malam, Samantha terus menebak apa yang terjadi di antara keduanya.
“Hai, Sam ….” Theo muncul tiba-tiba, sedikit mengejutkannya. “Kau melamun sejak tadi. Apa kau … sedang memikirkan Sebastian?”
“Tidak sama sekali. Aku hanya sedikit tidak bersemangat.” Samantha duduk tegak sambil menggeleng keras. “Theo, kenapa Sebastian tidak datang ke kantor hari ini?”
“Dia memiliki sesuatu untuk diselesaikan dan dia tidak akan datang hari ini.”
“Aku mengerti.”
Menyadari ekspresi lesu Samantha, Theo tertawa dan berkata, “Bastian itu seperti racun. Berpikir terlalu banyak tentang dia akan membuatmu keracunan.”
Keracunan?
Setelah mencari beberapa informasi mengenai kepribadian Theo, Samantha dengan sengaja memuji dia dengan berkata, “Theo, kamu luar biasa! Sebastian selalu cemberut pada kita semua seolah-olah kita tidak pernah melakukan perkajaan yang baik. Tapi … dia sangat menyukaimu!”
“Tentu saja. Kita telah menghabiskan sebagian besar hidup kita bersama. Dari taman kanak-kanak yang sama, sampai ke universitas yang sama pula, hingga ke titik ini.” Theo menikmati pujian orang lain.
“Bersaing denganmu adalah mustahil bagi kami.” Melihat kepuasan Theo, Samantha bertanya, “Apa … kalian juga selalu bersama saat di sekolah?”
“Ya, selalu.”
Lalu ada seseorang yang memanggilnya di luar.
“Sam, aku harus pergi. Kita bisa bicara lebih banyak nanti.”
Theo pergi dengan gembira.
Jika memang mereka selalu bersama … artinya Sebastian bukanlah Aditya.
Aditya telah dikurung di sebuah kamar selama sepuluh tahun, dan itu jelas bahwa mereka bukan orang yang sama.
Ketika menyadari fakta itu, Samantha merasa kecewa lagi.
Dia tidak bisa berbohong kalau dia merasa terbebani karena ini. Seolah-olah ada batu yang berat diletakkan di dalam hatinya.
Hari itu Samantha meminta izin untuk pulang lebih awal, menjemput Nelson.
Pria kecil itu melihat ke sekeliling, lalu wajahnya terlihat sedikit cemberut. “Mengapa Ayah tidak ikut?”
Entah kenapa, pertanyaan sederhana itu langsung membuat Samantha meledak. “Sebastian Foster bukan Ayah kandungmu, dan dia tidak memiliki kewajiban untuk menjemputmu setiap hari. Hanya Ibu kandungmu, yaitu aku, yang akan datang tepat waktu setiap hari.”
“Bu, mengapa kamu begitu marah? Aku hanya bertanya, dan tidak masalah jika dia datang ke sini atau tidak. Tolong jangan marah ….”
Nelson ingin menyentuh Ibunya, tapi dia tidak sengaja tersandung batu.
Refleks Samantha segera menangkap putranya, tapi sayang, sepatu hak tinggi yang ia pakai justru membuatnya limbung.
Samantha kehilangan keseimbangan. Kedua tanggannya menahan beban tubuh, menekan ke batu-batu yang berserakan.
Samantha menjerit pelan.
Dasar sepatu si4lan!
Buru-buru Nelson membantu Ibunya, mengambil tangan wanita itu “Bu, tanganmu berdarah. Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.”
Sesekali Nelson meniupnya. Pipinya mengembung dengan lucu.
Apa yang ia lakukan membuat hati Samantha menghangat. “Ini bukan masalah. Aku bisa menangani sendiri.”
Tapi Nelson tetap bersikeras membawanya, sampai mereka menjadi tontotan beberapa orang. Samantha menyerah, memilih mengikuti anaknya ke rumah sakit terdekat.
Bahkan dia juga membawakan tasnya untuk masuk.
Ketika mereka keluar rumah sakit, Nelson menjerit, “Lihat, Bu! Itu Ayah!”
Samantha mengikuti telunjuk Nelson, melihat ke belakang dan menemukan bahwa Sebastian, dengan kaca mata di hidungnya, menemani Olivia keluar dari rumah sakit.
Melihat kaki Olivia yang diperban, Samantha menduga bahwa mereka mungkin datang ke rumah sakit sejak kemarin malam.
Sebastian tidak berganti pakaian, dan tidak tahu kenapa itu membuat Samantha lega. Namun dia juga merasa marah sekaligus.
Nelson berlari menjemput pria itu. “Kamu bilang kamu akan datang untuk menjemputku, tapi ternyata tidak. Kamu bohong! Aku tidak akan pernah bermain denganmu lagi!” Nelson melipat tangan, memalingkan wajah dari Sebastian.
“Nelson, hati-hati dengan kata-katamu!” Samantha menyentuh anaknya dan berkata, “Dia sangat sibuk sehingga dia memiliki banyak hal untuk ditangani. Jangan membuatnya kesulitan.”
Dengan senyum di wajah, Sebastian berkata, “Aku berniat menjemputmu, tapi kamu sudah ada di sini.” Lalu pandangan Sebastian mengarah ke tangan Samantha. “Apa yang salah dengan tanganmu?”
Olivia menyela, “Nona Huang, Anda harus menjaga diri dengan baik. Lihat, aku pun terluka karena kecerobohanku sendiri. Dan sekarang, aku membuat masalah untukku sendiri, sekaligus untuk Sebastian juga.”
“Tuan Sebastian Foster memang sangat peduli.” Samantha pura-pura bahagia dan berkata, “Nelson, sudah saatnya kita pulang.”
“Ibu, aku sangat lelah. Ibu tidak membawa mobil sendiri. Ayah, bisakah kau membawa kami pulang?” Nelson, tanpa memperhatikan ekspresi Ibunya, menarik diri dari Samantha.
“Nelson!” Suara Samantha meninggi.
Sadar kalau Samantha terlihat kesal, Olivia berkata, “Bastian, aku baik-baik saja sekarang. Kau bisa mengantar mereka pulang.”
“Mereka hanya tinggal di dekat sini. Sedangkan kau, kau belum pulih. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian.”
“Kau dengar, Nelson? Sudah seharusnya kita pergi.” Samantha menarik lengan putranya dan segera pergi.
‘Apakah mereka sengaja menunjukkan kemerasaan di depanku?’
Nelson melirik Sebastian dengan marah.
“Nelson, aku akan datang untuk makan malam,” kata Sebastian di belakang sana.
Tapi Nelson mengabaikan itu sepenuhnya.
***