NovelToon NovelToon
JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berbaikan / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:408
Nilai: 5
Nama Author: Sarah Siti

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!

Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.

Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?

Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LUKA DAN DIAM YANG MEMBAKAR

Udara di dalam kamar begitu senyap, tapi suasananya bukan tenang… melainkan tegang, berat, dan menyiksa.

Pangeran Wang melempar pintu kamarnya begitu keras hingga engselnya berderit menjerit. Dalam gendongannya, Zhao tampak tak sadarkan diri. Rambutnya tergerai tak rapi, wajahnya memerah, napasnya tak stabil.

Dibaringkannya Zhao di atas ranjang merah pengantin mereka. Tapi tidak ada kelembutan. Tidak ada senyum suami yang seharusnya hadir di malam pertama.

Hanya amarah yang mendidih di mata Pangeran Wang.

> “Wanita bodoh...” desisnya lirih.

“Bahkan di malam ini... kau memilih memeluk pria lain? Di depan mataku?”

Zhao menggeliat kecil, mulai membuka mata. Tapi yang terlihat hanyalah kabur, buram. Dalam pengaruh ramuan, pikirannya melayang entah ke mana. Matanya mencari, dan saat melihat wajah Wang... tubuhnya bereaksi lebih hebat dari sebelumnya.

“Pangeran Wang...” bisik Zhao, suaranya parau tapi manja. Tangannya bergerak meraih wajah sang suami, matanya berbinar aneh bukan Zhao yang biasa.

Wajah Pangeran Wang menegang.

Zhao tiba-tiba duduk, mendekat. Ia menyentuh leher Wang, lalu membelai bajunya pelan, dan sebelum Wang bisa menarik diri, Zhao memeluknya erat dari depan. Napasnya memburu.

> “Peluk aku... jangan tinggalkan aku...”

Pangeran Wang nyaris kehilangan kendali. Tangannya terangkat, ingin menarik Zhao lebih dekat tapi di detik yang sama, bayangan kejadian sebelumnya di kediaman Pangeran Yu muncul dalam pikirannya. Wajah Zhao yang tertidur di pelukan orang lain.

Rahangnya mengeras.

Dengan satu sentuhan cepat di titik kecil di leher Zhao, tubuh gadis itu melemas. Ia kembali tertidur.

Pangeran Wang terduduk di sisi ranjang, napasnya memburu seperti habis bertarung dengan dirinya sendiri.

> “Apa aku... sekacau itu?”

“Bahkan sekarang... aku tetap menginginkanmu.”

Ia membungkuk, memeluk lututnya sendiri. Matanya merah bukan karena tangis, tapi karena terlalu banyak amarah yang ia simpan sendiri.

> “Apa kau begitu mudah disentuh pria lain...? Atau hanya aku yang tidak pernah benar-benar kau pilih sejak awal?”

Ia tertawa getir, seperti menertawakan dirinya sendiri.

> “Kau tak bisa menjawab, bukan? Karena kau bahkan tak sadar saat memohon untuk kupeluk…”

Wajah Pangeran Wang menegang. Tatapannya tajam menatap Zhao yang tertidur dengan wajah damai, tanpa beban. Tapi jari-jarinya tetap merapikan selimut yang menyelimuti tubuh Zhao… meski dengan gerakan yang kaku dan dingin.

Malam yang seharusnya menjadi awal bahagia… kini berubah menjadi malam pertama yang penuh luka, diam, dan dendam yang belum tuntas.

Pagi Itu Di Antara Rasa Bersalah dan Ketakutan

Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai kamar pengantin. Udara segar masuk, membawa aroma bunga musim semi yang bermekaran di taman istana. Tapi tidak ada satu pun yang bisa menyejukkan kepala Zhao yang terasa berat dan pening.

Zhao membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur, tenggorokannya kering.

> “Huh... kepala ini… kenapa terasa seperti habis dihantam batu?”

Ia mengerjap pelan. Baru menyadari ia berada di atas ranjang besar, dengan selimut merah yang tebal dan elegan. Ia bangkit, duduk perlahan sambil memijat pelipisnya.

> “Ini... kamarku...? Kapan aku sampai sini?”

Zhao menoleh kiri dan kanan. Kamar kosong. Sunyi.

> “Di mana si srigala dingin itu...”

Ia menyebutnya dengan malas, tapi samar ada keresahan di suaranya. Rasa penasaran dan sedikit... takut. Bukan takut karena cinta. Tapi karena ia tahu, suaminya bukan tipe orang yang bisa menerima kejadian aneh tanpa meledak.

Saat itu, Meilan membuka pintu pelan dan masuk tergesa. Wajahnya langsung cerah saat melihat Zhao duduk tegak.

> “Nona! Anda sudah bangun! Astaga... akhirnya!”

Zhao melirik. “Apa aku kena demam semalam? Atau minum arak basi?”

Meilan langsung mendekat, lalu duduk di sisi ranjang.

> “Anda tidak ingat apa yang terjadi semalam, nona?”

Zhao menautkan alisnya.

> “Yang kuingat terakhir... aku sedang minum teh. Di resepsi. Lalu... tahu tahu aku terbangun disini, sekarang.”

Meilan menarik napas dalam, ragu sejenak, lalu berkata dengan serius:

> “Anda ditemukan di kediaman Pangeran Yu.”

Zhao menoleh cepat. Matanya membulat, tapi wajahnya tetap tenang.

> “Apa?”

Meilan buru-buru menjelaskan, “Tapi Anda tidak melakukan apa pun! Kami tahu itu. Pangeran Yu juga tahu. Tapi... Pangeran Wang yang menemukan Anda di sana, dan... beliau marah besar.”

Zhao menunduk. Tapi bukan karena sedih melainkan berpikir.

> “Marah karena malu, ya… masuk akal.”

Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke dekat jendela. Menyibak tirai pelan, menatap taman luar.

> “Kupikir malam pertamaku akan jadi pengalaman aneh. Tapi tidak kusangka seaneh ini.”

Meilan ikut berdiri. “Nona... Anda tidak merasa takut...?”

Zhao menyandarkan bahunya ke jendela dan mendesah pelan.

> “Tentu aku takut. Tapi bukan karena merasa bersalah.”

Ia menatap pantulan wajahnya di kaca.

> “Aku takut Pangeran Wang mengira aku sengaja mempermalukannya. Dia pria yang... tidak suka dihinakan.”

Meilan menatap Zhao dengan ekspresi prihatin.

Zhao tersenyum kecil, tapi bukan senyum ceria. Lebih seperti... senyum petarung yang siap kena omel.

> “Baiklah... mari kita lihat seberapa marah srigala itu.”

---

Zhao berjalan pelan menyusuri lorong istana. Langkahnya ringan, tubuhnya masih terasa lemas, tapi rasa penasaran dan rasa tanggung jawab mendorongnya.

Ia berhenti di balik tiang pilar marmer, mengintip ke ruang kerja pribadi sang suami.

Pangeran Wang duduk membelakangi pintu. Wajahnya tenang, tapi setiap kali tangannya membalik halaman buku, terdengar suara keras seperti kemarahan yang disalurkan ke kertas, bukan ke orang.

Zhao melangkah pelan ke ambang pintu.

Pangeran Wang berhenti membaca. Ia tahu dia datang.

Tanpa menoleh, tanpa berkata apa pun, ia menutup bukunya dengan keras, lalu berdiri dan berjalan melewatinya.

Zhao tidak berkata apa-apa. Tidak mencoba menjelaskan. Hanya berdiri diam, menatap punggung suaminya yang dingin itu semakin menjauh.

Setelah Wang menghilang di balik lorong, Zhao menoleh ke Meilan yang berdiri beberapa langkah di belakang.

> “Pernikahan macam apa ini...” katanya datar.

“Bahkan untuk membela diri saja, aku belum sempat.”

Sore hari. Langit Istana mulai menggelap meski belum malam. Di tempat tersembunyi di sisi dalam Istana Timur, Pangeran Yu, Jaemin, dan Meilan berkumpul di ruangan dapur kecil yang jarang dipakai. Meilan berdiri paling depan, menatap sederet cangkir teh yang ditaruh rapi di atas nampan.

> “Yang ini…” Meilan menunjuk cangkir Zhao. “...ini yang dibawakan dayang padanya semalam.”

Jaemin mengendus cangkir itu, lalu mengerutkan hidung. “Aroma rempahnya tidak biasa. Ada semacam akar... dan ini... pahit manis. Seperti akar perindu dari Selatan.”

Meilan mengangguk, wajahnya tajam.

> “Ini bukan racun biasa. Ini ramuan pemicu hasrat. Dosis ringan bisa membuat seseorang kehilangan kendali. Tapi jika dicampur dalam minuman wanita...”

Ia tidak melanjutkan. Tapi semua orang tahu maksudnya.

Pangeran Yu mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.

> “Seseorang benar-benar ingin menghancurkan Zhao... dan menyeret namaku ke dalamnya.”

> “Dan menjatuhkan reputasi Pangeran Wang di saat paling penting dalam hidupnya,” tambah Jaemin muram.

Meilan menghela napas. Matanya menyipit tajam.

> “Tapi siapa yang cukup berani menyusup ke dapur kerajaan... dan cukup pintar mencampur ramuan ini dengan takaran yang tepat?”

Pangeran Yu menatap Meilan.

> “Kau curiga pada siapa?”

Meilan menggigit bibirnya. “Aku punya dua nama dalam kepala. Tapi jika aku salah langkah, aku yang akan disingkirkan dari istana. Kita tak bisa gegabah.”

> “Belum saatnya bertindak,” ucap Pangeran Yu. “Kita butuh restu dari Pangeran Wang untuk melangkah lebih jauh.”

Tapi... Pangeran Wang masih belum bisa ditemui.

---

Di Tempat Lain Pangeran Chun dan Bayangannya

Pangeran Chun berdiri di balkon kediamannya, memutar segelas arak sambil memandangi arah sayap istana tempat tinggal sang kakak dan Zhao.

> “Sudah kuduga... pesta akan berakhir dengan kekacauan.”

Ia tersenyum tipis. Di belakangnya, seorang pelayan pribadinya berbisik pelan, “Desas-desus sudah mulai menyebar, Yang Mulia. Dayang-dayang membicarakan soal Nona Zhao dan Pangeran Yu…”

Chun menyipitkan mata.

> “Biarkan saja. Semakin besar rumor itu, semakin buruk reputasi mereka.”

Pelayannya ragu. “Apa Anda tidak ingin bicara dengan Pangeran Yu langsung?”

Chun menenggak araknya.

> “Belum saatnya. Aku bukan orang yang menghibur pria yang memeluk wanita yang kusukai, meskipun... aku tak pernah mengakuinya.”

Ia tersenyum dingin. Tapi di matanya ada bara yang belum padam.

---

Sementara Itu Di Balik Layar, Pangeran Wang Bergerak

Tanpa banyak suara atau pengawal, Pangeran Wang berjalan diam-diam ke kediaman Pangeran Yu malam itu juga. Ia tak membawa lentera, tak mengirim pesan. Ia hanya datang.

Pangeran Yu terkejut saat pintu dibuka dan sosok itu berdiri di hadapannya.

> “Kakak…”

Pangeran Wang masuk tanpa diundang. Suasana dingin seketika menyelimuti ruangan.

> “Kau akan duduk atau terus berdiri seperti pesakitan?” ucap Wang dingin.

Pangeran Yu menelan ludah. Ia lalu duduk perlahan, menjaga jarak. Tapi tatapannya tetap jernih.

> “Kau ingin jawaban?”

> “Tidak,” jawab Wang. “Aku ingin kebenaran.”

Ia duduk di seberang Yu. Matanya tajam seperti bilah pedang.

> “Kau... menyentuhnya?”

Pertanyaan itu terdengar pelan, tapi berat seperti palu godam.

Yu menjawab cepat, tak ragu.

> “Tidak. Aku menahannya. Dia... bukan dirinya sendiri, dan kau tahu itu.”

Pangeran Wang memicingkan mata.

> “Kau menginginkannya?”

Yu terdiam. Sekilas. Tapi itu cukup.

Pangeran Wang menatap tajam.

> “Aku tak peduli apa yang kau rasa. Tapi jika kau pernah menyentuhnya… aku akan membunuhmu. Saudara atau bukan.”

Pangeran Yu tak menunduk, tapi ekspresinya tak lagi menantang.

> “Aku tahu. Karena jika posisiku terbalik... aku juga akan melakukan hal yang sama.”

Pangeran Wang berdiri.

> “Aku tidak akan percaya siapa pun. Jadi mulai saat ini, aku sendiri yang akan mengungkap siapa yang bermain di belakang ini.”

Sebelum pergi, ia menoleh.

> “Dan Yu... kalau kau masih punya perasaan untuknya... kubur dalam-dalam. Dia milikku.”

Lalu Wang pergi, membiarkan Pangeran Yu sendiri di dalam ruangan yang makin dingin.

---

Menjelang Malam

Desas-desus terus menyebar, seperti asap dari api kecil yang mulai membakar jerami. Tapi Meilan dan Jaemin sudah mendekati kebenaran. Mereka melihat dayang mencurigakan yang menyelinap ke gudang rempah. Meilan mulai bersiap bertindak, tapi tetap menunggu lampu hijau dari Pangeran Wang.

Di sisi lain, Nona Lee dan Hwa Jin mulai saling intip gerak-gerik.

Dan malam itu, Pangeran Wang duduk sendiri di ruang rahasia miliknya, menatap daftar nama pelayan dan dayang yang masuk ke dapur pada malam pernikahan.

> “Siapa pun kau... aku akan menarikmu keluar dari bayangan.”

Masih di Malam Hari Di Balik Dapur Kerajaan

Lorong dapur istana sepi. Cahaya obor temaram bergetar ditiup angin malam. Meilan dan Pangeran Jaemin berdiri di balik dinding batu, mengintip ke dalam dapur kecil tempat rempah-rempah disimpan.

Seorang dayang tampak masuk diam-diam. Gerak-geriknya gelisah.

Jaemin menyentuh lengan Meilan. “Itu... bukan dayang utama, kan?”

Meilan menggeleng pelan, mata tajamnya memperhatikan setiap gerakan.

> “Dia bukan dari tim dapur. Aku mengenal wajah-wajah mereka semua... Tapi dia, bukan salah satunya.”

Mereka menunggu sampai dayang itu keluar, lalu segera menyusulnya diam-diam. Dayang itu berjalan ke gudang kecil di belakang dapur, tempat rempah-rempah sensitif disimpan.

Meilan dan Jaemin mengepungnya dari dua sisi.

> “Jangan bergerak,” ucap Meilan tenang, tapi penuh tekanan. “Kami hanya ingin bertanya sedikit.”

Dayang itu langsung panik, wajahnya pucat.

> “S-Saya hanya disuruh! Saya tidak tahu isinya ramuan apa!”

Jaemin maju. “Disuruh siapa?”

Dayang itu membuka mulut... lalu menutupnya lagi. Ketakutan.

Meilan menyipitkan mata.

> “Kalau kau tidak bicara, kau akan jadi satu-satunya kambing hitam. Dan percaya padaku… hukuman di dapur bukan sekadar potong gaji.”

Dayang itu gemetar. “Aku... aku hanya dapat perintah lewat pesan. Tidak tahu siapa pengirimnya... tapi aku dengar... nama ‘Lee’ disebut-sebut di dapur belakang...”

Meilan dan Jaemin saling pandang.

---

Keesokan Harinya Lorong Paviliun Barat

Hwa Jin melangkah pelan di lorong taman istana, mengenakan hanbok putih keemasan yang jatuh anggun hingga menyentuh lantai. Rambutnya disanggul sederhana, tapi pancaran wajahnya lembut dan tenang, seperti bunga prem di tengah salju.

Dari arah berlawanan, Nona Lee muncul. Hanbok merah angkanya berkibar tertiup angin. Wajahnya cantik menantang, dagu terangkat, senyum manis... tapi matanya menyimpan rencana.

Keduanya saling menghentikan langkah saat jarak tinggal dua langkah.

Suasana terasa dingin.

Nona Lee lebih dulu bicara, nadanya pelan tapi tajam.

> “Oh... Nona Hwa Jin. Betapa tenangnya Anda berjalan, seolah dunia tidak sedang gempar.”

Hwa Jin tersenyum lembut, hampir seperti ibu peri.

> “Kalau kita terlalu cepat mengikuti arah angin, terkadang kita justru tersesat, Nona Lee.”

Nona Lee tersenyum sinis.

> “Tentu saja... tapi akan sangat menyedihkan bila orang yang terlalu lambat... tak sadar bahwa ia dijadikan umpan.”

Hwa Jin mendekat selangkah. Tatapannya tetap lembut, tapi bibirnya mengucap kalimat yang membuat udara seolah berhenti.

> “Dan akan lebih menyedihkan lagi... jika seseorang menyiapkan perangkap yang bahkan ia sendiri tak bisa keluar darinya.”

Tatapan Nona Lee langsung menegang.

Hwa Jin menunduk sopan sedikit.

> “Selamat pagi, Nona Lee.”

Lalu ia berjalan meninggalkan tempat itu dengan anggun. Hembusan hanbok putihnya menyapu lantai, seperti bayangan damai yang menyimpan badai.

Nona Lee berdiri mematung. Wajahnya tetap tersenyum... tapi rahangnya mengeras.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!