SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKU TIDAK MAU MENJADI RAJA
“Kita pulang sekarang,” ucap Kanel, nada suaranya berat namun tegas. Ia menoleh ke arah pengawal dan memberi isyarat untuk mengatur formasi mundur.
“Tapi, Paman…” suara Gerald memotong cepat. Sang Putra Mahkota tampak tidak setuju. Ia melangkah maju, wajahnya serius.
“Burung keRajaan masih belum ditemukan. Misi belum selesai.”
Kanel membalikkan badan, menatap keponakannya itu dengan sorot tajam. “Gerald… ini terlalu berbahaya. Lihat sekelilingmu.”
Ia mengangkat tangannya, menunjuk luka-luka yang diderita para rombongan. “Lihat anak-anak ini. Mereka kelelahan, terluka,"
Gerald mengepalkan tangannya. “Aku tahu risikonya. Tapi kalau kita pulang dengan tangan kosong, mereka akan menganggap kita lemah. Kaisar akan…”
“Kaisar akan lebih murka kalau mengetahui satu dari kalian mati sia-sia karena burung.” Kanel memotong, suaranya datar namun dingin. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Gerald.
“Kau putra mahkota, sudah banyak memimpin peperangan. Buang egomu jauh jauh, ternyata...Kau belum tahu apa-apa tentang kehilangan pasukan karena keputusan bodoh.”
Gerald diam, rahangnya mengeras. Namun mata merahnya menatap lurus pada Kanel. “Dan kau, Paman, terlalu takut mengambil risiko. Seharusnya ini kesempatan bagi kami untuk membuktikan diri.”
Kanel menarik napas panjang, menahan gejolak emosi dalam dadanya. “Buktikan dirimu di medan perang yang benar, Gerald. Bukan dengan mencari seekor burung di wilayah Umbra yang dapat memakan banyak korban.”
Angin bertiup pelan, menggoyangkan pepohonan tinggi di atas mereka. Di kejauhan, terdengar pekikan samar.... suara khas pemburu malam dari suku Umbra yang mungkin masih mengintai.
Kanel menoleh sebentar pada Daren yang kini dibantu Fyona untuk berdiri.
“Aku tidak akan kehilangan satu pun dari kalian di sini,” kata Kanel pelan, namun mengandung keteguhan yang tak bisa dibantah.
“Jika kau masih ingin menjadi menjadi penerus ayahmu, Gerald, maka belajarlah dari mereka yang hidup, bukan dari mereka yang mati.”
Gerald menunduk. Kata-kata itu menamparnya keras, tapi ia tahu… Kanel benar.
“Aku tidak ingin menjadi Raja ataupun Kaisar, dan aku benci orang-orang memanggilku Putra Mahkota,” ucap Gerald, suaranya dingin, penuh tekanan yang lama dipendam.
Kanel tidak menanggapi. Ia segera berbalik, tanpa sepatah kata pun, lalu bergegas menuju kudanya yang diikat tak jauh dari barisan pasukan. Dalam sekejap ia melompat ke pelana, gerakannya sigap dan penuh ketegasan.
“Bersiap mundur,” perintah Kanel pada pasukan.
“Naiklah, Daren." katanya singkat kepada Daren yang masih berdiri dengan luka di tangannya. Daren menaiki kuda yang ditunggangi Kanel, menggenggam erat bagian depan pelana agar tak jatuh. Matanya tetap mengawasi hutan yang perlahan menghilang di balik kabut malam.
Tak jauh dari mereka, Fyona dibantu Benson. Benson mengulurkan tangan, membantu Fyona naik ke kudanya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Benson pelan.
Fyona mengangguk, meski tubuhnya lelah dan tangannya masih memegang tas pengobatannya erat-erat. “Selama Daren selamat… aku juga.”
Pasukan mulai bersiap kembali menuju istana. Derap kaki kuda menghantam tanah yang basah oleh hujan tipis. Suara perintah melayang cepat dari mulut komandan Kanel. Lentera-lentera di tangan penjaga bergerak liar, bayangannya menari di wajah-wajah yang lelah dan berdarah.
Di belakang barisan, Gerald masih berdiri mematung. Kata-katanya barusan mengendap di udara.
“Aku tidak ingin menjadi Raja ataupun kaisar…”
Namun tak seorang pun menoleh untuk menjawab.
Karena sore itu, perintah tertinggi bukan lagi datang dari mulut bangsawan.
Melainkan dari medan tempur itu sendiri.
Langit malam di atas istana Balderans mulai muncul, memantulkan cahaya bulan ke menara-menara tinggi yang menjulang tajam seperti ujung tombak. Di balkon tertinggi sayap timur, tempat para bangsawan jarang menginjakkan kaki, Kaisar Theron berdiri dengan jubah panjang berwarna hitam keunguan, matanya mengamati halaman utama tempat rombongan pasukan baru saja kembali dari misi pencarian burung kerajaan.
Pasukan itu terlihat lelah. Sebagian besar memiliki luka lecet dan sobekan di baju zirah mereka, menandakan bahwa misi mereka tidak berjalan mulus. Meski begitu, mereka kembali dalam formasi yang teratur. Di barisan tengah, terlihat sosok kecil berambut perak berdiri tegap, dengan pedang baja di punggungnya. Sang Kaisar memperhatikan dengan seksama.
“Daren Virana,” gumamnya, hampir tak terdengar. “Anak itu memang... titisan Xander.”
Langkah ringan namun tegas terdengar dari belakangnya. Seorang pemuda, usinya lebih muda dari Putra Mahkota namun bertubuh tinggi dan mantelnya bersurai hitam gelap mendekat, membawa aura percaya diri yang menyengat.
“Ayah,” sapa Petrus, dengan senyum tipis yang menyiratkan lebih banyak kebanggaan dari pada hormat. “Rombongan kembali. Tapi sayang sekali, mereka gagal,”
Kaisar tidak langsung menjawab. Ia hanya menurunkan tangannya, menyilangkan kedua lengannya di dada. Tatapannya masih tertuju pada halaman.
“Bukan soal gagal atau berhasilnya misi,” jawabnya akhirnya. “Aku melihat cara mereka pulang. Ada yang berubah. Terutama... pada gadis kecil itu,”
Petrus menoleh sekilas ke bawah. Hanya sekilas, lalu ia tertawa kecil.
“Jadi sekarang seorang prajurit kecil dari barak utara bisa membuat Ayah terkesan?” tanyanya. “Sementara aku, anak kandungmu, tidak pernah mendapatkan pujian semacam itu,”
"Bukan tidak pernah, tapi kau selalu mengabaikan,"
Kaisar menatap Petrus lama, terlalu lama hingga udara seolah ikut menegang. Tatapan itu bukan sekadar tatapan seorang ayah kepada anak, tapi pandangan tajam dari seorang penguasa yang menilai nilai seseorang seperti menilai pasukan sebelum perang.
“Jaga ucapanmu petrus” ucapnya akhirnya, suaranya berat dan dalam, “Kau masih putraku. Setiap usahamu, suatu kebanggaan bagiku,”
Kaisar menarik napas pelan. "Namun, ornag-orang yang mempertaruhkan nyawanya.... sangat patut untuk mendapat pujian,"
Pangeran Petrus. Pemuda dengan rambut orange dan pakaian kebesaran yang terlalu bersih untuk disebut prajurit, tersenyum miring. Ia bersandar santai pada tiang balkon istana, seolah percakapan itu tak lebih dari dialog ringan antara ayah dan anak.
“Ayah,” katanya dengan nada setengah merayu, “aku kan bertugas di istana. Belajar. Mendalami strategi. Memahami birokrasi, memperkuat akar politik kerajaan. Aku melakukan semua itu… di dalam istana.” Ia menekankan kata terakhir seolah menganggap dunia luar hanyalah lumpur bagi kaki bangsawan.
Kaisar tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar tubuhnya perlahan, punggungnya membelakangi Petrus. Matanya menatap ke bawah, ke arah gerbang luar istana tempat rombongan Kanel.
Kaisar menyipitkan mata. Ia melihat Kanel tetap tegar meski tubuhnya jelas penuh beban. Dan Gerald, sang pewaris takhta tetap berada di tengah rombongan, menunduk, tapi bukan karena takut. Ia menunduk karena tengah menimbang banyak hal dalam diamnya.
Kaisar menghembuskan napas berat. “Jadi, Petrus… jangan pernah menyepelekan kakakmu.”
“Kakak?” potong Petrus, suaranya mulai dingin. “Dia yang selalu Ayah sebut sempurna. Apa Ayah tidak sadar, dia terlalu lemah untuk menjadi raja? Terlalu sering gegabah, terlalu banyak ambil resiko. Kerajaan butuh pemimpin yang bisa... menaklukkan, bukan bersikap gegabah.”
“Dan kau pikir kau bisa menjadi raja seperti itu?” balas Kaisar tajam. “Dengan tangan yang belum pernah memegang rakyat, hanya mengenal pedang dan kebanggaan?”
Petrus membuang muka. Matanya menyipit ke arah gerbang dalam istana, tempat para pejabat mulai berdatangan untuk menyambut rombongan yang kembali.
“Apakah aku tidak pantas menerima takhta, hanya karena bukan lahir dari rahim permaisuri,” desisnya. “Jika takdir mengizinkan, aku akan mengambilnya. Dengan caraku.”
Kaisar berbalik, langkahnya lambat namun penuh tekanan. “Jangan kira... kau satu-satunya yang menginginkan kekuasaan, Petrus. Tapi menjadi Raja bukan hanya tentang keinginan. Ini tentang siapa yang sanggup memikul semua darah, pengkhianatan, dan luka yang menyertainya.”
Petrus menahan napas. Ia tahu ayahnya sedang memberi peringatan. Namun hatinya telah dipenuhi oleh ambisi yang tumbuh selama bertahun-tahun, melihat Gerald dielu-elukan, sementara dirinya hanya disebut saat dibutuhkan.
“Sebenarnya aku tidak butuh mahkota untuk membuktikan siapa aku,” kata Petrus pelan. “Tapi jika Gerald melemahkan kerajaan ini, aku akan merebutnya. Demi Balderans.”