Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Hari Wisuda Tanpa Dirimu
Suara riuh aula wisuda menggema, tapi Achazia merasa dunia di sekitarnya berjalan lambat. Gaun toga hitam yang membalut tubuhnya terasa berat, bukan karena kainnya, tapi karena perasaan yang menumpuk di dadanya.
Di sampingnya, Ciara tersenyum cerah, menggenggam erat map ijazahnya.
“Kita lulus, Zia! Akhirnya…” katanya sambil menepuk-nepuk punggung Achazia.
Achazia membalas senyuman itu, meski hatinya tidak sepenuhnya ringan.
Di tribun undangan, Papa dan Mama Achazia duduk berdampingan, wajah Papa terlihat lebih cerah dari biasanya. Di sebelah mereka, Brianna dan Kaivan melambaikan tangan saat Achazia menoleh ke arah mereka.
“Zia, lihat tuh. Papa kamu bangga banget,” bisik Ciara, tertawa kecil.
Achazia ikut tersenyum. Papa memang terlihat lebih tenang hari ini, mungkin karena dia berpikir sosok yang ia anggap “penghalang masa depan putrinya” tidak hadir.
Elvareon.
Nama itu berputar di kepala Achazia, menciptakan ruang kosong di tengah acara kelulusan. Ia tahu, hari ini Elvareon tidak akan muncul. Ia tahu, meskipun ia berharap, harapan itu hanya akan membuatnya kecewa.
Setelah upacara selesai, mereka berfoto bersama di luar aula. Papa dan Mama Achazia bergantian memeluk dan memberikan selamat.
“Kamu sudah membuktikan diri, Zia. Papa bangga sama kamu,” ujar Papa dengan senyum tulus.
Achazia mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, di balik ucapan itu, Papa merasa dirinya telah “selamat” dari bayang-bayang Elvareon. Namun, Achazia tahu perasaannya sendiri tak semudah itu berubah.
Papa Achazia melihat sekeliling memastikan anak laki-laki pengganggu itu tidak hadir.
"Pa, cariin siapa?" tanya istrinya
"Itu Elvareon. Dia tidak ada disini." Ucap papa
"Mungkin putri kita sudah memutuskan hubungan dengannya, pa."
Papanya tersenyum bangga. Dia tidak ingin putrinya terikat dengan laki-laki payah itu. Sudah saatnya papanya mencarikan pasangan yang setara untuk putrinya. Mungkin CEO.
Di tengah keramaian, Brianna dan Kaivan mendekat.
“Zia, kamu keren banget tadi di atas panggung. Ciara juga,” ujar Kaivan, mengacungkan jempol.
“Udah siap buat babak baru?” tanya Brianna sambil memeluk Achazia.
Achazia tersenyum. “Siap gak siap, kita harus jalan terus, kan?”
Mereka tertawa bersama, namun di sudut hati, ada ruang kosong yang masih menunggu untuk diisi.
Orang tua Ciara mengucapkan selamat pada Achazia dan bersalaman dengan papa mamanya. Orang tuanya juga bukan dari keluarga terpandang. Mereka hanya memakai pakaian yang sederhana tak semewah papa mama Achazia.
Awalnya papanya gengsi untuk menjabat tangan tapi dia harus tetap profesional. Dia bingung kenapa putrinya tidak mau berteman dengan orang yang setara dengan keluarganya. Kalau diperhatikan sangat banyak di kampus itu mahasiswi dari keluarga terpandang. Ada dari keluarga dokter, CEO dan lain sebagainya. Seharusnya Achazia berteman bersama mereka bukannya malah sama orang yang dibawahnya.
Achazia mengambil ponselnya dan menyuruh Brianna memotraitkan dia dengan Ciara. Bersama-sama memegang ijazah, sesekali mengubah pose.
"Kalian kapan skripsian?" Tanya Achazia
"Semester depan. Kami jadi farmasi dulu baru apoteker." ucap Kaivan
"Oh, iya ya."
Achazia mengangguk. Hampir sama dengan Elvareon harus S.ked dahulu lalu bisa jenjang ke dr.
"Gakpapa deh. Nanti kalau udah skripsian, kabari ya mana tahu ada yang mau dibantu"
Brianna mengangguk dan memeluk Achazia lalu Ciara. Mereka adalah teman-teman yang hebat. Orang tua Ciara menganggap Achazia sebagai anak yang genius. Entah mengapa sifatnya bertolak belakang dengan papanya.
Setelah selesai berfoto, papa Achazia mengajaknya pergi dan mereka lalu berpamitan.
Achazia masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan kepada teman-temannya. Di dalam mobil, papanya ingin menanyakan soal Elvareon tapi mamanya menyenggol sikunya untuk kode jangan membahas Elvareon sekarang.
Mereka pergi ke tempat kosmetik. Dimana itu surga bagi Achazia. Dia langsung di lengkapi orang tuanya. Membeli semua perlengkapan make up dan berencana membuka toko kosmetik dan salon kecantikan di dekat rumah mereka.
"Makasih pa, ma." ucapnya
Mereka membawa perlatan make up itu ke rumah. Achazia terkejut sudah ada tempat untuk dimana dia bekerja.
"Pa... kapan ini dibangun?"
"Ya sewaktu kamu kuliah lah sayang. Papa maunya kamu itu buka usaha sendiri. Sama seperti papa. Kan kamu juga termasuk bagian bisnis kan?"
"Iya sih pa"
Achazia menyusun perlengkapan kosmetiknya di toko samping rumahnya. Toko itu luas bernama "Velmorin beauty shop" papanya memutuskan untuk memakai marga keluarga mereka saja.
"Sayang, kamu kan masih fresh graduate saran mama kamu berlatih lebih giat lagi. Mama dan Bibi Eli akan menjadi percobaan pertama kamu lalu mama akan mempromosikannya lewat media sosial mama."
"Iya mama." ucapnya
Achazia tentu sangat senang jika dia merias mama nya dan Bibi Eli. Bibi yang sudah merawatnya sejak ia kecil. Bibi Eli datang melihat Achazia yang ternyata sudah sampai rumah. Dia lalu memeluknya dan mengucapkan selamat.
"Selamat ya Non, bibi bangga sama kamu"
"Iya bibi. Nanti kalau bibi ada acara atau kondangan, aku akan make up in bibi. Gratis kok"
Bibinya tersenyum dan memeluk Achazia lagi. Putri yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Dulu bibi Eli itu tinggal bersama suami dan dua anaknya. Satu laki-laki dan satu perempuan. Namun kejadian tak terduga menimpa keluarganya. Putrinya meninggal akibat kecelakaan. Sama seperti Pak Gino kehilangan orang yang disayanginya. Kini dia hanya memiliki anak laki-laki saja yang masih bersekolah menduduki SMP dan suaminya bekerja disawah.
Pak Gino lalu menemui Achazia dan menjabat tangannya.
"Selamat ya Zia, kamu sudah lulus. Pertahankan bakatmu." ucap Pak Gino
Ia lalu pergi ke belakang. Mencuci mobil yang tadi dipakai mereka. Pak Gino bersedih, ia seharusnya juga datang diacara wisuda putrinya. Tapi, takdir berkata lain. Melihat Achazia saja dia sudah bahagia. Mengingat dia kehilangan istri dan putrinya akibat kecelakaan itu, hatinya sakit.
"Eh Pak Gino kenapa? Kok murung?" tanya Achazia sambil menemui Pak Gino ke belakang tempat penucician mobil mereka.
"Eh tidak, Non. Saya hanya teringat istri dan anak saya."
"Bapak jangan sedih lagi. Aku udah nganggap bapak sebagai papa aku juga kok. Pak Gino juga senang kan lihat aku udah lulus?"
Pak Gino mengangguk dan tersenyum. Mengetahui kerendahan hati Achazia. Dia benar-benar gadis yang mulia.
Malamnya, di kamar, Achazia duduk di dekat jendela, memandangi langit malam.
“Elvareon, hari ini aku lulus. Tanpa kamu di sini. Tapi aku tahu, kamu pasti juga sedang berjuang di tempatmu,” bisiknya pelan.
Achazia naik ke tempat tidurnya lalu menarik selimut. Memandangi langit-langit rumahnya, berpikir apa yang sedang dilakukan Elvareon sekarang. Dia ingin memberitahu Elvareon bahwa dia sudah lulus tapi kejanggalan dihatinya tetap masih ada.