NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22

Langkah kaki Zhavira terasa ringan untuk pertama kalinya. Di pundaknya, beban seolah perlahan terangkat. Ia menolak menoleh ke belakang. Ia belum tahu ke mana akan pergi setelah ini. Tapi anehnya, ketidaktahuan itu justru terasa membebaskan.

Ia memesan mobil daring menuju sebuah penginapan kecil di Ubud. Bukan hotel mewah, hanya homestay sederhana di tengah sawah. Ia ingin menjauh dari segala hal yang artifisial, dari segala kemewahan yang selama ini justru menyamarkan luka.

Sesampainya di sana, ia langsung disambut suara gemericik air dan harum kayu. Tak ada yang tahu siapa dirinya. Tak ada yang bertanya tentang Makes. Ia hanya Zhavira. Bukan sekretaris, bukan tunangan CEO, bukan wanita yang terjebak dalam cinta sepihak.

Zhavira tersenyum tipis sambil menghela nafasnya panjang, ia berharap jika setelah ini kehidupannya akan lebih baik lagi, dia sengaja tidak pulang ke rumah orang tuanya, karena dia tau Makes pasti akan mencarinya ke sana.

**

Malam itu, ia menulis lagi di jurnalnya.

"Hari pertama tanpa kamu.

Rasanya... tidak seburuk yang kukira.

Mungkin memang ini awalnya."

**

Di Jakarta, dua hari kemudian. Wajah Makes tampak lebih kusam dari biasanya. Matanya sayu, namun tetap menyala oleh tekad. Ia berdiri di depan meja kerja dengan layar laptop terbuka—membuka berkas-berkas proyek cabang baru di Bali.

Ya, dia mengambil langkah.

“Alvin, kirim surat resmi ke tim ekspansi wilayah. Kita percepat pembukaan kantor cabang di Bali. Aku sendiri yang akan handle.”

Asistennya yang setia menatap Makes dengan ragu. “Tuan... Anda yakin ini demi perusahaan, bukan demi—”

“Bali adalah wilayah potensial untuk pengembangan sistem logistik digital kita. Tidak ada kaitannya dengan urusan pribadi,” jawab Makes dengan nada tegas, namun matanya tak bisa menyembunyikan apa yang sebenarnya ia cari.

Zhavira.

"Kemana lagi aku harus mencarimu Zha, belum cukupkah dirimu menyiksaku seperti ini." gumam Makes pelan. Dia menatap keluar lewat kaca besar yang ada di dalam ruangannya. Tatapannya menatap jauh, mengingat tentang Zhavira, bahkan orang suruhannya juga tidak menemukan dimana keberadaan gadis itu.

**

Hari demi hari berlalu seperti serpihan kaca. Tidak utuh. Tidak jelas. Hanya perih.

Sudah tiga minggu sejak Zhavira meninggalkan semuanya. Termasuk Makes.

Tapi rasa kehilangannya baru benar-benar menghantam ketika pagi-pagi buta, Makes terbangun dari mimpi buruk dan menyadari... tak ada lagi yang mengirim pesan, “jangan lupa sarapan.”

**

Sejak insiden di coffee shop dengan Gio, Makes kehilangan arah. Ia mencoret semua jadwal meeting, menghindari rapat besar, dan setiap malam hanya duduk di apartemen dengan lampu remang, memandangi ponsel yang tak pernah berbunyi lagi.

Dia mencoba menghubungi semua orang yang mungkin tahu dimana keberadaan Zhavira

Akhirnya, satu pagi penuh nekat, Makes mengemudi sendiri ke luar kota. Menuju sebuah kota kecil di pinggir Jawa Tengah—tempat tinggal kedua orang tua Zhavira.

**

Rumah keluarga Zhavira. Rumah itu asri, penuh tanaman dan suara burung. Makes berdiri kaku di depan gerbang. Ia membawa dua tas besar. satu berisi makanan kesukaan ayah Zhavira, satu lagi oleh-oleh dari toko favorit ibunya.

Pintu dibuka oleh seorang wanita paruh baya dengan wajah familiar. Wajah yang sering ia lihat di layar video call Zhavira.

“Bu... saya Makes.”

Tatapan ibu Zhavira tak terkejut. Hanya tenang... namun tajam.

“Masuklah. Nak Makes,” ujar bu Nuraeni dengan senyum tulus di wajah tuanya, walaupun dia merasa sakit atas perbuatan Makes pada anak perempuannya, tapi Bu Nuraeni tetap menyambutnya dengan hangat.

"Terimakasih bu." ucap Makes, ia berjalan masuk kedalam rumah sederhana itu, setelah membuka sepatunya.

"Ayah." ucap Makes, dia menyalami tangan lelaki tua itu.

Dan ayah Zhavira menerimanya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan.

Percakapan di ruang tamu itu sunyi. Ayah Zhavira hanya menatap Makes sesekali, sedangkan ibunya sibuk menyeduh teh.

“Kami tahu Zhavira pergi,” kata sang ibu akhirnya. “Dan ya, dia pamit pada kami. Tapi dia tidak memberitahu kami kemana dia akan pergi, padahal kami sudah memintanya agar pulang kesini, namuj dia menolaknya. Dia bilang jika dia ingin sendiri dulu."

Makes terdiam, hatinya amat sangat sakit saat mendengar jika Zhavira ingin sendiri dulu. "maaf ayah, ibu saya sudah gagal menjaga Zhav." cicit Makes.

Ayah Zhavira akhirnya bicara. Suaranya berat. “Nak... kamu tahu kenapa Zhavira pergi diam-diam? Karena dia tahu kalau tetap tinggal, dia akan lemah. Dan dia benci menjadi wanita yang bergantung pada laki-laki yang tidak tegas membela dia.”

Makes hanya bisa menunduk.

“Dia bilang... dia ingin menjauh dari drama yang kamu buat dengan Rania.”

Seketika, nama itu membuat Makes menegang. “Itu hanya—”

“Teman masa kecil?” potong sang ibu. “Begitu katanya? Tapi siapa yang pergi berdua? Siapa yang membatalkan makan malam dengan Zhavira demi mengantar Rania ke rumah sakit ibunya? Siapa yang bilang ‘kita cuma dekat, nggak lebih’ tapi terus-terusan memihaknya?”

Makes tak bisa menjawab.

“Kamu tidak mencintai Rania, kami tahu itu,” lanjut ibunya. “Tapi cinta bukan hanya soal hati. Cinta juga soal sikap. Dan kamu gagal menunjukkan itu.”

Makes benar-benar dibuat mati kutu, dia tidak bisa mengatakan apapun lagi di depan orang tua Zhavira, walaupun mereka tidak menghakiminya, namun dia tau jika kedua otmrang tua Zhavira sangat kecewa padanya.

**

Sepulang dari rumah itu, Makes tak bisa berhenti mengingat setiap kata.

Ia kembali ke Jakarta dalam keadaan hampa. Ia bahkan mulai menjauhi semua orang—terutama Rania.

Saat mMakes tiba di apartemennya, dia langsung membanting tubuhnya ke sofa yang ada di ruang tengah apartemennya itu, rasa menyesal semakin dalam. Terlebih bayang-bayang Zhavira memenuhi setiap sudut apartemennya itu.

"Zha, bahkan jikapun dirimu memintaku untuk bersujud di kakimu, aku akan lakukan itu asal kamu kembali Zha." gumam Makes, dia menutup wajahnya, menangis tersedu-sedu karena merasa sakit, cape, dan juga lelah dengan semuanya.

Tok tok tok

Pintu apartemennya di ketuk dari luar, Makes menataonya sejenak, lalu bangun melangkah membukakan pintu itu. Dia melihat seorang gadis seusianya berdiri di ambang pintu dengan senyum manis di bibirnya, namun senyuman da wajah itu membuat Makes sangat muak.

"Makes, kamu kemana saja, aku mencarimu." ucap Rania.

"apa kamu baik-baik saja? Aku sangat mengkhawatirkanmu." lanjutnya.

"Berhenti mencari dan mengkhawatirkanku Rania, apa kamu tidak sadar jika kekacauan yang ada dalam hidupku itu semua gara-gara kamu." ucap Makes dingin.

"apa maksudmu Makes? Kamu menyalahkanku? Demi membela wanita itu?" ucap Rania, dengan memasang wajah sedih, ya itu memang senjatanya untuk menarik perhatian Makes.

"Ya, aku menyalahkanmu Rania, dan dengan bodohnya aku mengikuti semua sandiwara dirimu, sampai membuat tunanganku merasa terabaikan dan akhirnya pergi meninggalkanku, apa kamu belum puas?"

"Makes, itu karna dia aja yang lebay, dia tau kita sudah dari kecil berteman." Rania terus membela diri.

"Berhenti menyalahkannya, dan mengatakan dia lebay, harusnya kamu yang sadar diri. Sekarang kamu pergi dan jangan pernah menampakan diri lagi, aku sudah muak." Makes menutup pintu apartemennya dengan sangat keras, dan membuat Rania berjinjit kaget.

"Makes, Makes, Makes. Buka pintunya." teriak Rania.

"Aku gak terima di perlakukan seperti ini, awas kamu Makes, aku akan buat kamu menjadi milikku."

Lalu Rania pergi meninggalkan apartemen makes dengan perasaan jengkel.

**

Beberapa bulan kemudian...

Langit Jakarta tak pernah lagi sama. Tak ada lagi pagi yang terasa hangat. Kantor Willson Group tetap berjalan, tapi sang CEO menjadi bayangan dari dirinya yang dulu. Tak banyak bicara. Tak banyak tertawa. Tak banyak peduli.

Hingga akhirnya ia membuat keputusan besar.

“Pak, Anda yakin akan pegang cabang Bali sendiri?” tanya Alvin.

“Ya. Aku perlu perubahan. Dan mungkin... keajaiban.”

**

Bali, awal musim hujan. Makes tiba di Bali dengan dua koper dan satu harapan yang sudah usang. Ia menyewa rumah kecil di daerah Canggu, dekat laut, bukan hotel bintang lima seperti biasanya. Ia ingin hidup sederhana. Memulai dari nol.

Pagi hari ia berangkat ke kantor cabang baru yang belum resmi dibuka. Sore hari ia jalan kaki menyusuri pantai. Malam hari ia menulis jurnal—kebiasaan yang dulu dilakukan Zhavira, kini ia coba pahami.

Dan entah bagaimana, ada damai yang pelan-pelan tumbuh. Meski bayangan Zhavira masih hadir setiap waktu.

Ia tak tahu bahwa hanya 25 kilometer dari tempat ia tinggal, seorang perempuan sedang duduk di loteng penginapannya, menulis jurnal dengan kalimat yang hampir serupa...

“Kadang... Tuhan menjauhkan dua orang agar keduanya belajar berjalan dengan kaki sendiri.”

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!