Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 11
Aruna perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tak membangunkan Bagas yang sudah tertidur pulas. Ia menatap suaminya sejenak lelaki yang dulu mampu membuatnya jatuh cinta tanpa ragu, namun kini terasa begitu jauh, begitu asing.
Dengan langkah pelan ia keluar kamar, menarik napas panjang. Hari ini akan panjang. Ia baru teringat belum sempat menelepon Bu Marni, asisten rumah tangga yang biasa membantunya memasak, mencuci, dan membereskan rumah. Padahal rumah sedang berantakan setelah kedatangan Bagas semalam. Tumpukan baju kotor dari dalam ransel belum selesai ia pilah. Peralatan kamera berserakan. Dapur belum tersentuh.
Aruna menghela napas. Bukan hanya karena pekerjaan rumah yang menanti, tapi karena hatinya yang masih berat berusaha membuang rasa sesak yang tadi tak bisa ia sampaikan.
Ia lalu mengikat rambutnya, menggulung lengan bajunya, dan mulai menyingsingkan hari dengan diam, tanpa keluh. Seperti biasa, ia memilih diam untuk menenangkan badai di dadanya.
Tak lama setelah Aruna menyingsingkan lengan bajunya, bel pagar berbunyi pelan. Bu Marni datang, seperti biasanya dengan senyum ramah dan langkah yang sigap. Aruna menyambutnya dengan senyum tipis, lalu mulai memberi instruksi tentang pekerjaan rumah yang perlu dibereskan hari ini. Tanpa banyak bertanya, Bu Marni segera bergerak, memulai dengan menyalakan mesin cuci untuk setumpuk pakaian kotor yang sudah menanti sejak semalam.
Sementara itu, Aruna membuka tudung saji di meja makan. Di sana masih tersisa dua potong ayam rica-rica masakan kemarin yang sempat mereka nikmati saat makan siang bersama Raka. Wajah Aruna menghangat. Ia tersenyum kecil, mengenang perbincangan hangat dan tatapan tenang dari pria itu.
Tapi kenangan itu segera buyar oleh kenyataan. Ia tahu, suaminya tak suka makanan yang dihangatkan. Bagas selalu menginginkan makanan segar. Dengan nada datar namun sopan, Aruna berkata pada Bu Marni, “Bu, ini ayam rica-rica masih ada dua potong. Bawa saja, ya. Sayang kalau dibuang.”
Aruna kembali tersenyum samar. Bukan karena rasa, tapi karena kenangan. Dua potong ayam itu mungkin tak berarti apa-apa bagi Bagas, tapi baginya, itu adalah sisa kecil dari rasa yang pelan-pelan tumbuh tanpa ia kehendaki.
___
Bagas masih tenggelam dalam dunianya sendiri, menyeka lensa kamera satu per satu dengan penuh ketekunan. Lengan kemejanya digulung sembarangan, dan aroma alkohol dari cairan pembersih kamera samar tercium di udara. Ia terlihat sibuk, bahkan terlalu sibuk untuk sekadar menyadari bahwa istrinya tengah mengamati dirinya dalam diam.
“Mas, makan siang yuk...” suara Aruna memecah keheningan, lembut tapi terdengar seperti rutinitas, bukan ajakan penuh kasih.
Bagas melirik singkat, lalu bangkit tanpa banyak bicara. Mereka duduk berdua di meja makan, menyendok nasi masing-masing tanpa percakapan. Tak ada tawa. Tak ada sentuhan. Hanya suara sendok mengenai piring, dan jarak yang terasa seperti dua samudra terbentang di antara mereka.
Tiba-tiba dari dapur, Bu Marni muncul, berkata setengah pelan tapi cukup jelas terdengar, “Bu... itu Mas Raka datang.”
Sendok di tangan Aruna terhenti. Degup jantungnya mendadak tak beraturan. Ia buru-buru berdiri, jari-jarinya menyibak rambut dengan refleks, dan matanya menatap ke cermin dinding memastikan dirinya masih tampak rapi.
Bagas menoleh sedikit, lalu kembali menunduk menatap piringnya, seolah tak peduli.
Dengan langkah terkontrol, Aruna keluar ke teras. Di sana, Raka berdiri rapi, satu tangan memegang buku catatan, satu lagi di saku celana. Saat melihat Aruna, senyumnya mengembang.
“Maaf, saya cuma mampir sebentar. Buku catatan saya tertinggal, dan sekalian laporan soal pemangkasan lahan tadi pagi...” katanya dengan nada sopan.
Aruna mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, nggak apa-apa. Kamu ingat juga soal buku ini.”
Raka tersenyum. “Lagi makan, ya, Bu? Saya nggak mau ganggu...”
“Nggak ganggu sama sekali. Justru kamu datang pas banget.” Suaranya pelan, tapi ada sesuatu di baliknya sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang peka.
Raka bersikeras menolak.
Namun sebelum ia bisa mundur lebih jauh, tangan Aruna terulur, menyentuh pergelangan tangannya. Lembut tapi cukup kuat untuk menahan langkahnya. Raka terdiam. Hening yang mendadak menggantung di antara mereka seperti tirai tipis yang menggoda untuk disibak.
“Ayolah...” bisik Aruna, matanya menatap dalam. “Anggap saja ini bentuk terima kasihku. Lagipula... hari ini aku masak sendiri, bukan Bu Marni.”
Sentuhan itu bukan sekadar ajakan makan siang. Bukan pula sekadar keramahan seorang nyonya rumah. Itu adalah panggilan sunyi, yang bahkan tak berani diakui oleh pemiliknya sendiri.
Raka menarik napas pelan. Ia tahu ini bukan keputusan bijak, tapi entah kenapa, ia tak ingin pergi.
“Baiklah...” katanya, pelan, menyerah pada perasaan.
Dari balik jendela ruang makan, Bagas sempat melirik. Melihat siluet istrinya yang tertawa kecil.
“Siapa tamu itu?” pikir Bagas sambil melirik ke arah teras dari balik jendela ruang makan. Suaranya tak terlalu keras, tapi membuatnya penasaran.
Tak lama, Aruna masuk bersama pria itu. Senyumnya masih menggantung di bibir, tapi kini lebih formal, lebih berhati-hati.
“Mas,” ucap Aruna sambil menoleh ke arah suaminya. “Ini Raka... Raka Wirasatya, M.Si. Beliau peneliti tanaman dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) di bawah Badan Litbang Pertanian.
Raka mengangguk hormat. “Selamat siang, Pak Bagas.”
“Mas Raka ini aku minta bantuannya untuk meneliti kondisi perkebunan kita yang sedang terserang jamur dan virus akar. Sejak kemarin, beliau sudah turun ke lapangan.”
Bagas bangkit dari duduknya dengan gerakan malas. Ia mengulurkan tangan, berjabat sebentar. Tatapannya tajam tapi terselubung basa-basi.
“Bagas.”
“Raka,” balas pria itu sambil tersenyum sopan.
Dalam hati, Bagas menatap tajam pria di hadapannya. Wajahnya bersih, rahangnya tegas, dan caranya berdiri menunjukkan wibawa serta kedisiplinan. Pria itu tampak berpendidikan, penuh kendali, dan tidak berbicara sembarangan.
Tampan... berpendidikan... dan sudah beberapa hari bersama Aruna...? pikir Bagas lirih dalam hati.
Untuk sesaat, ada rasa yang sulit dijelaskan menggelitik dadanya. Ia belum tahu apa, tapi seperti alarm kecil yang menyalak pelan di pojok hatinya.
Aruna tampak santai, terlalu santai. Dan entah kenapa, Bagas baru menyadari ia sudah lama tidak melihat binar di mata istrinya saat berbicara tentang sesuatu... atau seseorang.
“Ayo makan siang dulu, Mas Raka,” ajak Aruna dengan senyum ramah, hampir seperti tuan rumah yang menyambut tamu kehormatan. Ia menoleh ke arah dapur. “Bu Marni, tolong siapkan satu piring lagi ya.”
Raka sempat menolak dengan sopan, tapi Aruna sudah menepuk lengannya ringan. “Sekalian saja. Kamu juga belum makan, kan?”
Bagas mengamati sentuhan itu. Ringan, wajar. Tapi cukup untuk membuat dadanya menghangat dengan rasa tak nyaman. Ia menarik kursinya kembali dan duduk, menatap pria di hadapannya yang kini bicara tentang perkebunan dan metode uji tanah.
Suasana meja makan terasa sedikit canggung, walau ditutupi dengan percakapan profesional.
“Jadi, jamur akar itu bisa tumbuh karena drainase kita terlalu lembap?” tanya Aruna sambil menuangkan air putih ke gelas Raka.
Raka mengangguk, menjelaskan secara detail, sementara Bagas diam, mengaduk nasinya pelan.
“Kalau tidak segera ditangani, bukan cuma panen tahun ini yang terancam. Jangka panjangnya bisa fatal,” jelas Raka.
Bagas menyendok semur daging yang tinggal sedikit, lalu menatap Raka tajam. “Kamu tinggal di daerah sini?”
Raka menoleh, sedikit kaget. “Oh... tidak, Mas. Saya tinggal di kontrakan dekat desa. Tiap pagi ke lokasi.”
“Bagus,” ujar Bagas pendek. Tatapannya lurus, seperti sedang mengukur sesuatu yang tak terucap.
Aruna menyela, tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Mas Bagas ini baru pulang dari Madagaskar. Baru semalam sampai.”
Aruna menoleh sambil tersenyum kecil. "Mas Bagas ini seorang fotografer alam liar," ucapnya, nada suaranya terdengar bangga dan hangat.
Raka mengangguk pelan, matanya memandang Bagas dengan penuh ketertarikan. "Wah, menarik sekali. Pasti banyak pengalaman luar biasa di balik setiap jepretan, ya, Mas," tuturnya sopan. "Profesi yang nggak cuma butuh keberanian, tapi juga kepekaan melihat sisi lain dari alam."
Bagas hanya mengangguk pelan. “Hutan. Binatang. Cuaca tak menentu. Sama aja.”
Suasana jadi hening sejenak.
Aruna melirik suaminya, lalu beralih ke Raka. Ia tahu dua pria ini sedang saling menilai, bahkan mungkin bersiap menjaga wilayah masing-masing.
Tapi yang membuatnya tersentak adalah kenyataan sejak kapan ia berada di tengah dua kutub yang diam-diam memanas?
Ia menunduk, menyendok sayur. Satu rasa aneh bergelung di dadanya. Rasa yang tak ingin ia akui bahwa makan siang ini membuatnya sadar ada seseorang yang membuatnya merasa dihargai, didengar, bahkan dipandang dengan cara yang tak lagi ia dapat dari suaminya.
Dan seseorang itu... bukan Bagas.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor