Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERDUKA
Mateo tengah menghabiskan waktu liburnya dengan sang ayah, Don Marsel, di lapangan golf pribadi milik Mateo. Udara pagi itu cukup segar, matahari belum terlalu terik, dan suara burung sesekali terdengar bersahutan di antara ketukan stik golf yang mengenai bola.
Sambil menyesap minuman dingin dari botol kecil di tangannya, Don membuka pembicaraan,
"Bagaimana? Apa kau tertarik dengan tawaran dari kakekmu untuk pindah ke Milan dan ambil alih cabang bisnis di sana?" tanyanya, sebelum mengayunkan stik golf dengan elegan.
Mateo hanya mengangkat bahu santai.
"Aku belum memikirkannya," jawabnya singkat. Tatapannya kosong sejenak, sebelum berubah menjadi tajam ketika menatap arah halaman belakang rumah tepat ke arah Livia yang tengah menyapu dedaunan dengan tubuh yang terlihat lemah.
Dari jauh, ia melihat wanita itu sesekali berhenti untuk memegangi pinggangnya, jelas terlihat kelelahan.
Don menyadari arah pandangan putranya, lalu ikut melirik sejenak, namun memilih untuk tak menyinggung soal Livia.
"Pikirkan baik-baik, Mateo. Milan bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga tentang masa depan keluarga ini."
Mateo mengangguk pelan, meski pikirannya melayang bukan tentang Milan, melainkan tentang bagaimana wanita yang tengah ia siksa perlahan kini menjadi pusat perhatian banyak pihak tanpa ia inginkan.
Ariana datang dengan langkah anggun membawa nampan berisi jus segar, lalu duduk di samping Don dan Mateo yang baru saja menyelesaikan satu sesi pukulan golf mereka. Wajahnya terlihat tidak senang sejak awal.
"Aku baru saja melihat wanita gemuk itu di dapur," ucapnya sambil menyodorkan segelas jus kepada Mateo. "Aku menyuruhnya membersihkan ayam, dan dia malah muntah-muntah seolah aku menyuruhnya membersihkan bangkai."
Mateo hanya menghela napas kesal, tidak menanggapi.
Ariana menggeleng pelan, ekspresi jijik menghiasi wajahnya.
"Kalau dia tak sanggup melakukan pekerjaan sederhana seperti itu, apa gunanya dia di rumah ini? Bahkan kehamilannya pun hanya membuat segalanya jadi lebih menyebalkan. Rasanya aku lebih tenang kalau dia—"
Ariana menggertakkan giginya, tak melanjutkan kalimatnya, namun cukup jelas bahwa ia berharap wanita itu tak lagi ada.
Don meletakkan stik golfnya dengan tenang, menatap istrinya dengan tatapan sedikit memperingatkan.
"Cukup, Ariana. Jangan berbicara seperti itu. Bagaimanapun juga dia istri dari anak kita."
Ariana hanya mendengus tak puas.
"Istri? Jangan buat aku tertawa."
Mateo diam, menatap kejauhan. Dalam pikirannya, ia tak memikirkan Ariana atau bahkan Don melainkan sosok lemah di rumah yang kini tengah mengandung anaknya, sosok yang perlahan mengacaukan hidupnya… atau mungkin, yang sedang membuatnya bertanya-tanya untuk pertama kalinya dalam hidup, tentang arti keberadaan dan tanggung jawab.
Siang harinya, Don dan Ariana telah pulang ke kediaman mereka. Mateo yang awalnya hendak menuju ruang kerja, menghentikan langkahnya di tengah lorong rumah.
Matanya menajam ketika melihat sosok Livia keluar dari dapur, tampak tergesa-gesa. Wanita itu memeluk erat sebuah kantung plastik hitam, langkahnya cepat dan sedikit kikuk saat menyusuri koridor menuju kamarnya.
Dahi Mateo berkerut. Sorot matanya mengawasi setiap gerakan Livia seperti seekor elang mengawasi mangsanya. Ada sesuatu yang mencurigakan dari cara Livia berjalan seolah sedang menyembunyikan sesuatu, atau… takut tertangkap basah.
Mateo tidak bergerak, hanya menatap dalam diam, membiarkan Livia menghilang di balik pintu kamar sebelum akhirnya ia kembali melangkah pelan arahnya pun berubah, bukan lagi ke ruang kerja… tapi menuju ke tempat yang baru saja ditinggalkan wanita itu.
Mateo melangkah cepat ke arah kamar Livia, amarahnya memuncak. Tanpa mengetuk, ia mendorong pintu kamar dengan kasar hingga terbuka lebar dan terbentur ke dinding.
Livia yang baru saja duduk di sisi ranjang tersentak kaget. Tangannya bergetar hebat, menggenggam erat sebuah kotak susu bergambar wanita mengandung, susu khusus ibu hamil yang baru saja ia beli.
Tatapan Mateo langsung tertuju pada benda di tangan Livia. Ia mendekat dengan cepat dan merampas kotak susu itu dari tangan Livia.
“Darimana kau mendapatkan uang untuk membeli ini?!” bentaknya garang, memutar kotak susu di tangannya dengan sorot mata penuh curiga dan jijik.
Livia menunduk, tubuhnya gemetar hebat. Nafasnya tersendat saat mencoba menjawab.
“D-da... dari uang tabungan saya, Tuan...” ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Mateo mendengus sinis. “Uang tabungan?” ulangnya dengan nada mengejek. “Uang yang seharusnya kau gunakan untuk membantu di rumah ini malah kau pakai untuk membeli hal tidak berguna seperti ini?”
Kotak susu itu kini tergenggam erat di tangan Mateo, seakan siap dilempar kapan saja. Livia menatap benda itu penuh harap, seolah itu satu-satunya bentuk perhatian kecil untuk janin dalam rahimnya. Tapi harapannya seperti biasa, hanya digilas oleh amarah dingin Mateo.
“Saya membeli dari uang tabungan saya saat bekerja, Tuan,” ucap Livia lirih tapi tegas, mencoba membela diri. “Saya tidak memakai uang Anda sepeserpun.”
Mateo menatap Livia tajam, rahangnya mengeras. Mendengar pembelaan itu justru membuatnya makin geram, seolah keberanian Livia untuk bicara adalah bentuk pembangkangan.
“Jadi sekarang kau melawan, hah?” suaranya meninggi. Ia melempar kotak susu itu ke lantai hingga isinya tumpah, membasahi lantai kamar.
Livia refleks menunduk, menahan tangis melihat susu yang baru dibelinya hancur tak bersisa. Tangannya gemetar, tapi ia tetap diam, menahan semuanya demi tidak memancing kemarahan lebih besar.
“Kau pikir aku peduli pada isi perutmu itu?!” bentak Mateo lagi. “Simpan rasa kasihanmu untuk orang lain, Livia. Jangan sekali-kali kau bersikap seolah punya hak di rumah ini.”
Livia hanya menunduk, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak menangis, hanya diam dengan dada sesak. Tapi sorot matanya meski lemah mulai menyimpan luka yang terlalu dalam untuk dijelaskan.
Mateo membuang pandang, mendengus keras sebelum berbalik meninggalkan kamar. Pintu kembali terbanting di belakangnya.
Sementara itu, Livia perlahan berjongkok, membersihkan sisa susu tumpah dengan tangan kosong. Ia tak ingin menangis, tapi air matanya tetap jatuh membasahi pipi.
“Maaf ya, Nak...” bisiknya pelan, mengusap perutnya yang belum tampak jelas. “Ibu janji akan lindungi kamu... sekuat ibu bisa.”
Hari demi hari, Livia terus berusaha untuk tetap waras, meski rasanya semakin sulit. Ia belajar bersandiwara tersenyum saat dunia menuntutnya, pura-pura kuat saat hatinya hampir runtuh. Sepulangnya ke rumah, tekanan dari Mateo selalu menantinya, tak pernah absen menghancurkan sisa ketenangan yang ia bangun sepanjang hari.
Namun, luka terbesar datang hari ini.
Tangis Livia pecah di depan jenazah ibu Ratih, satu-satunya keluarga yang ia punya, satu-satunya pelindung yang selama ini menguatkannya. Kini wanita itu telah pergi, menyerah pada penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Yang lebih menyakitkan, Livia tak berada di sisi sang ibu di saat-saat terakhirnya.
Tubuhnya bergetar menahan isak, kedua tangannya mencengkeram kain penutup jenazah ibunya seolah tak ingin berpisah. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah lelahnya. Suara tangisnya tak begitu keras, tapi cukup untuk mematahkan siapa pun yang melihatnya.
Di sampingnya, Mateo berdiri kaku. Tak ada rasa duka di wajah pria itu, tak ada belas kasih atau simpati. Ia hanya diam, tanpa ekspresi, seperti patung hidup yang hadir hanya karena formalitas belaka. Kehadirannya tak membawa penghiburan, hanya menjadi pengingat betapa Livia benar-benar sendirian sekarang.
Livia menatap jenazah sang ibu sekali lagi, tangisnya kembali pecah.
"Maaf... aku nggak sempat dampingi Ibu di akhir..." bisiknya lirih.
"Maaf..."
Suasana Pemakaman
Langit mendung mengiringi prosesi pemakaman. Angin berhembus pelan, seolah ikut berduka. Livia berdiri diam di samping liang lahat, mengenakan pakaian serba hitam yang kini basah oleh hujan gerimis. Wajahnya pucat, matanya sembab. Tangannya menggenggam bunga putih yang sejak tadi tak kunjung ia lemparkan ke dalam tanah.
Ketika suara doa mengalun dan tanah mulai ditimbun, Livia akhirnya tak sanggup lagi. Ia jatuh berlutut di pinggir makam, menggenggam tanah yang dingin dan basah. Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung.
"Ibu… maaf… aku belum sempat balas semuanya…" isaknya pelan.
Mateo berdiri beberapa meter di belakangnya, berlindung di bawah payung besar, tetap dingin dan diam. Beberapa pelayat melirik, sebagian iba, sebagian lainnya menahan tanya dalam diam kemana saja Livia selama ini karena baru hadir.
Setelah selesai, para pelayat satu per satu pergi. Mateo pun ikut berjalan tanpa menoleh ke belakang. Livia masih di sana, duduk diam di depan makam ibunya hingga sore menjelang malam.
Pasca Pemakaman
Malam itu, Livia kembali ke rumah dengan tubuh lelah dan mata yang bengkak. Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Tak ada siapa-siapa yang menyapanya, bahkan Mateo pun seperti enggan memedulikannya.
Ia duduk di tepi tempat tidur, membuka laci kecil dan mengeluarkan foto ibunya yang ia simpan diam-diam. Ia menatap wajah lembut di dalam foto itu, mengusapnya perlahan, lalu menarik napas dalam-dalam.
“Sudah cukup,” ucapnya, pelan tapi tegas. “Aku nggak boleh terus begini. Aku harus hidup, demi aku... dan anakku.”
Livia mulai menulis sesuatu di buku catatan kecilnya. Rencana sederhana langkah-langkah kecil untuk bertahan, untuk memperjuangkan kehidupannya dan janin yang ia kandung. Ia tahu, perjuangannya masih panjang. Tapi untuk pertama kalinya, ia ingin melangkah bukan hanya untuk bertahan… tapi untuk bangkit.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/