Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Kenangan Lapuk
Canda tawa melantun mencipta gema diantara pilar-pilar besar sebuah bangunan bak kastil di negeri dongeng, lantainya di pasangi marmer indah berbagai jenis, pula dengan bebungaan yang melegakan batin di taman belakang rumah.
"Hahaha!'' Perempuan itu tergelak, tawanya mengalir seakan memenuhi halaman luas tersebut. Dua anak perempuan sebaya tengah bermain selang air seraya mengejar satu sama lain.
"Nandi, Nandi kena!" Si gadis bermanik sehijau daun kini berbalik, ia berniat untuk berlari menjauh, namun sayangnya ia tergelincir sebab tanah yang lembab nan licin.
Nandika, Hera Nandika Janadwipa jika bertanya nama lengkapnya, perempuan berusia lima tahun tersebut berlari cepat, menghampiri anak yang tengah jatuh terduduk itu.
Hera berlutut, bahkan ia tidak peduli akan celana satin sewarna awan yang telah berceceran lumpur. "Nana tida papa?" Tanyanya polos, mimiknya cemas, manik cokelat hangatnya memandangi Renata kecil yang hampir saja menangis jikalau Hera tidak menepuk bahunya.
Pipi gembil Renata bergerak saat ia berusaha menghentikan isak tangisnya. "Tida papa, Nana kuat!'' Renata menekukkan lengannya, seakan dirinya sedang memamerkan otot-otot yang sama sekali tak nampak.
"Ga copot kan?" Renata mengernyit, ia sedikit bingung akan pertanyaan ambigu Hera. "Alat bantu dengarnya," jelas Hera.
Renata tertawa kencang sekali, hingga rasanya Pak Nurdin si satpam komplek sebelah pun mendengarnya.
Renata mengusap air disudut matanya, perutnya sakit akibat terbahak. "Nandiii, kalau aku kehilangan, aku ga bakal bisa jawab kamu!" Hera terdiam, merasa menjadi orang terbodoh di dunia.
"Yaampun," keduanya mengalihkan atensi. Saraswati, salah seorang emban menghampiri keduanya tergopoh-gopoh, Saraswati itu telah mengabdi kepada Keluarga Janadwipa lebih lama dibandingkan usia Hera di tahun itu, tak ayal Pak Nurdin—Satpam komplek tetangga, terlihat iri pada Bu Saraswati, sudah gajinya besar kerjanya cuma nyuci pula, begitulah pikirnya. "Non Nandi, bajunya kotor semua kan... Renata...kamu ada yang sakit?" Saraswati memberi pertanyaan beruntun tanpa jeda, inilah yang Hera benci, Saraswati itu cerewet, khas ibu-ibu Indonesia.
Renata menggeleng. "Engga Ibu, Nata ga sakit, Nata kuat!" Renata kembali menunjukkan otot-ototnya.
"Kayak ayam popeye," komentar Hera bermaksud melontarkan candaan. Namun Renata menganggap sebagai olokan akibat dirinya merasa sok kuat, padahal tadi hampir menangis dihadapan Hera, kalau benar Renata menangis, Hera pasti akan mengejek Renata mati-matian.
Renata menoleh memincing, ujung matanya menangkap wajah jahil Hera. "Aku bukan Popeye, aku Kapten Amerika!" Hera terbahak-bahak. Lihat saja ekspresi kesal Renata, maka kalian pasti akan memberi respon yang sama.
"Tapi Kapten Amerika laki-laki, kamu mau jadi laki-laki?" Hera menggoda Renata yang kini memerah padam.
"Yasudah, aku Kapten Amerika tapi perempuan, beres toh!'' Argumennya tak mau kalah, Hera hanya terkikik geli.
"Ya, Captain [Women] America~"
"HERA!" Renata bersemu malu, ia sungguh-sungguh tidak tahu bahwa Captain America yang sering dibangga-banggakan sahabatnya ternyata laki-laki.
Saraswati menghela. "Hus hus, yaudah Hera mandi ya? Renata, kamu minta bersihin Rinjani ya?" Renata mengangguk.
"Dadaa Captain!"
"Diam, Hera!"
Dan Hera kembali tertawa, mulutnya terbuka lebar-lebar menampilkan sepasang gigi kelinci imut yang menonjol di antara deretan gigi-gigi lainnya.
"Siapa itu?" Tutur wanita paruh baya tengah menyesap tehnya tenang.
Seorang emban menunduk. "Renata Ginandar, Nyonya."
"Berasal dari keluarga mana?" Wanita itu kembali menyesap tehnya, dagunya ia angkat, memberi kesan angkuh.
"Dia hanyalah anak dari seorang emban di sini, Nyonya," emban itu memberikan informasi.
Terlalu asyik meminum teh sehingga wanita itu tersedak. "Apa maksudmu?''
Hera kini diajak Saraswati untuk membersihkan diri, selepas ini meja makan panjang penuh lauk telah menunggunya. Tapi ada satu hal yang sangat Hera sayangkan, meja makan luas yang dihiasi berbagai macam lauk-pauk hanya diisi Hera, dan Mamanya. Papanya itu sangat jarang pulang ke rumah, katanya sih urusan bisnis.
Tapi sepertinya, Mamanya tidak ingin mendatangi Hera. Sehingga ia disuapi oleh Saraswati. Setelah ini, ialah peristiwa paling menakjubkan yang pernah ia laksanakan. Yakni tertidur dipangkuan Rinjani seraya dinyanyikan sebuah senandung merdu.
Rinjani mendudukkan diri di pesisir kasur king size itu. "Apakah Nona sudah siap tidur?" Bisiknya yang lantas dihadiahi anggukan dari sang empu.
Hera menjadikan paha Rinjani sebagai bantal. Ia mengamati lekukan yang tercipta di wajah Rinjani.
"Kubuka album biru~" Bait pertama, Hera terkesima akan suaranya.
''Penuh debu dan usang...," bait kedua, Hera memandang bulu mata tebal Rinjani yang menciptakan rasa iri di ulu hati.
"Kupandangi semua gambar diri...," bait ketiga, usapan lembut terasa di surai legamnya. Matanya sayup-sayup terpejam, namun ia masih terjaga deni mendengar senandung indah sampai selesai.
"Kecil, bersih, belum ternoda.."
"Pikirku pun melayang~" Hera menguap, matanya hampir terkatup. "Dahulu penuh kasih...,"
Wanita itu tersenyum lembut, senyuman yang jauh berbeda dari milik Mamanya, senyuman yang ...Tulus? Bahkan ia tak mengerti yang mana yang tulus dari hati, dan yang mana tipuan semata. Ia hanyalah anak kecil tanpa dosa yang dibesarkan dengan bayang-bayang semu orangtua. Bagi mereka, harta sama halnya dengan kasih sayang.
"Teringat semua cerita orang, tentang riwayatku...,"
"Kata...Mereka diriku, s'lalu dimanja..,"
"Kata....Mereka diriku, s'lalu ditimang...,"
Bait demi bait berlalu seiring berjalannya waktu. Gadis kecil dalam pangkuan telah separuh terlelap, meski begitu indra pendengarannya masih berfungsi dengan baik hingga kini ia sampai pada bagian terbaiknya.
"Oh....Bunda ada dan tiada dirimu kan, selalu ada di dalam...."
Wanita itu menyentuh dada Hera, melambangkan hati mungil yang sarat akan kehangatan. "Hatiku."
Ia mengecup kening Hera. "Nandi, kamu akan tumbuh menjadi gadis yang manis, lembut dan bahagia." Lembut sekali nada dalam kalimat yang ia sampirkan, menciptakan ketenangan batin bagi anak berumur lima sepertinya. Ia merasa bahwa; Rinjani seperti ibu yang sesungguhnya baginya.
Jika Tyasningrum Janadwipa ialah ibu biologisnya, maka Ayu Rinjani adalah ibu yang menyayanginya dengan tulus.
Tapi kasih sayang itu ditepis begitu saja, kala suatu hari ayahnya kembali ke rumah. Pertengkaran hebat terjadi, hingga akhirnya pukulan tak lagi terelakkan. Saat itu usianya masih belia, tidak mengerti tentang apapun yang kedua orang itu bicarakan. Mama biologisnya, Tyasningrum, memaparkan sebuah potret seorang wanita paruh baya, dan ia mengecapnya sebagai...Pelacur!
Saraswati, wanita yang Hera kira sebagai ibu dari Renata akibat kedekatannya. Dan Saraswati lah yang berada di dalam sana.
"Hera...Lihat siapa ini? DIA ADALAH ANAK PELACUR!!'' Tyas menunjuk kepada Renata yang kini sedang bersembunyi di balik tubuh kecil Hera, keduanya sama-sama ketakutan tatkala mendapati Tyas yang nampak kesetanan. Wajah penuh riasan, bahkan terkesan berlebihan itu tak lagi menjadi Si Jelita, melainkan Si Jahanam. Urat-urat nya menonjol, matanya terbuka lebar, bulu mata imitasi hampir lepas, sementara bedaknya luntur akibat derasnya air mata.
Tyas mengambil alih raga mungil Hera, melepaskan tangan mungil Renata yang bergetar ketakutan dari lengan putri semata wayangnya. "Kau," ia menunjuk wajah Renata yang tertunduk, memainkan jarinya. "Kau dan Ibumu sama, KAU PASTI AKAN MENJADI MUCIKARI TAK BERMORAL SEPERTI IBUMU!" Hardiknya.
"Keluar," titahnya.
"Ma..," Hera berusaha bernegosiasi.
"Diam, kau anak tak berguna, bisa-bisanya dekat dengan JALANG RENDAHAN sepertinya!" Tyas menekankan kata 'jalang rendahan', otot-otot di wajahnya mencuat, mukanya memerah padam.
Renata langsung ditarik oleh Rinjani dan Saraswati. Renata menangis dalam rengkuhan Rinjani ketika telah keluar dari ruangan penuh akan pecahan beling itu.
"Dan kau," Tyas menunjuk-nunjuk Hera tepat di depan mukanya. Meskipun Hera tidak bergeming dan tetap menatap wajah mengerikan tersebut nyalang. "Kau, harus menjauh dari si pelacur!"
"Gak-"
Plak!
Tamparan dilayangkan seakan memalingkan kepala Hera ke arah barat secara paksa. Pipinya memanas, rona merah menjalar seiring amarah yang ia tahan.
"Camkan itu." Tyas menekankan dua kata gertakan bahkan untuk darah dagingnya sendiri. Tyas pergi, wanita jahanam itu menutup pintu jati besar tanpa hati-hati, ia meluapkan segala kekesalannya. Sementara Hera hanya terduduk lesu, ia memandangi lantai-lantai marmer yang seakan kehilangan daya tarik untuk membuatnya terkesan.
•••
Mobil Limousin memasuki pekarangan rumah. Hera, Sang Nona Janadwipa memandang rumah kayaknya istana yang selama ini ia tinggali. Sebuah mobil bak terbuka menyapa pandangannya. Kemudian ia membuang pandangannya ke arah lain karena sedang tak minat.
Ketika ia membuka pintu mobil, secarik kertas foto terjatuh tepat dihadapannya. Penasaran, Hera mengambil gambar itu, dan betapa terkejutnya ia tatkala mendapati Rinjani di dalam gambar tersebut. Ia menggeram tidak suka.
"Sialan, pasti ulah nenek sihir itu!" Hera melangkah dengan tidak sabaran, ia membanting pintu yang praktis dihadiahkan delikan tidak suka dari Tyas yang sedang bersantai sembari meminum teh.
"Hah, benar-benar, sopan santun sepertinya memang telah hilang,"
Hera mengebrak meja, ia menunjukkan foto yang ia jumpai di pekarangan. "Apa ini?" Tanyanya dingin, rautnya berubah menjadi datar, tak seperti ibunya jikalau sedang kebakaran jenggot.
"Oh, sudah tahu?"
Hera memilih bungkam untuk mendengarkan perkataan Nenek lampir sialan yang telah memisahkannya dengan Rinjani.
"Aku mengambil apartemen anak Rinjani karena aku ingin menggusurnya,"
"Dan kau tahu siapa anaknya?'' Hera menangkap seringai jahat yang tercetak di bibir bergincu tebal wanita dihadapannya.
Tyas tertawa gembira. "Renata.''
Hera terbelalak. Tunggu? Hah?
Tanpa bisa ia cerna, suara sirine terlebih dahulu terdengar. Banyaknya mobil yang menggunakan sirine membuat telinganya merasa ingin hancur begitu saja, nampaknya lebih baik menjadi tunawisma sekarang, pikir Hera dangkalnya.
Pintu didobrak tak kalah keras. "Kami di sini dengan membawa surat perintah untuk menangkap saudara Soerya Nandika.'' Ujar salah satu aparat tanpa membiarkan Hera mencerna situasi.
Dan dunia berputar seakan-akan tengah mengolok-oloknya, bagaimana tidak? Rinjani, Renata, kenapa ia tidak berpikir sejernih itu dulu? Polisi, dan Ayahnya yang tengah dibekuk oleh aparat atas kasus korupsi beberapa tahun silam yang ternyata diusut kembali.
"Ayah sudah pulang?" Pertanyaan bodoh, tapi Hera memang tidak tahu mengenai kabar kepulangan ayahnya.
"Anak badjingan!" Hera bungkam seketika.
Apa yang ia harapkan sebenarnya dari orangtuanya? Kasih sayang? Entahlah, keduanya terlalu beku untuk ia luluhkan. Hera mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia tidak munafik bahwa kini ia ingin menangis, menangis sejadi-jadinya di antara pelukan hangat seorang tokoh yang di sebut Ibu.
"Nandika... Tetaplah tersenyum, seberat apapun itu, tetaplah tersenyum,"
"TAPI AKU INGIN MENANGIS!"
"Nandika, Tuhan tahu kamu kuat, maka hadapilah. Kamu kuat Nandika, kamu kuat!'' Ujar Renata polos, wajahnya berseri-seri bibirnya melengkung meskipun Hera membentaknya beberapa saat yang lalu.
Kini, sudut mulut Hera terangkat, membentuk secarik lengkungan ke atas, ia akan memenuhi permintaan Renata, tersenyum walau dunia tengah mengejeknya.
"Haha..." Lirihnya.
Dunia benar-benar mengejeknya.
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...