Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Kandidat yang Mustahil
"Carikan saya suami. Syaratnya cuma satu: napasnya masih ada dan dia nggak butuh uang saya."
Kalimat itu meluncur dari bibir Kiana bersamaan dengan tumpukan berkas yang dia lempar ke atas meja mahoni di ruang kerjanya. Kertas-kertas profil pria lajang itu berhamburan, melayang di udara sebelum mendarat acak di lantai karpet yang tebal.
Sinta, asisten pribadi Kiana yang sudah bekerja selama lima tahun, membelalakkan mata di balik kacamata tebalnya. Dia memeluk tablet erat-erat di dada, seolah benda itu adalah tameng dari amukan bosnya.
"Maaf, Bu... Ibu serius?" cicit Sinta, suaranya nyaris tak terdengar tertelan dengungan air purifier di ruangan itu.
"Apa muka saya kelihatan lagi ngelawak, Sinta?" Kiana menghempaskan tubuhnya ke kursi kerja kulitnya yang besar. Dia memijat pangkal hidungnya yang terasa mau pecah. Pertemuan dengan Radit di rumah sakit tadi masih menyisakan rasa mual di perutnya.
"Kakek kasih waktu tiga puluh hari. Tiga puluh hari, Sinta! Kalau dalam sebulan saya nggak bawa buku nikah ke hadapannya, si Rio bakal duduk di kursi ini sambil main judi online!"
Sinta buru-buru berlutut, memunguti kertas-kertas yang berserakan dengan tangan gemetar. "T-tapi Bu, mencari suami yang 'aman' dalam waktu sebulan itu susah. Ibu kan tahu sendiri, di lingkaran bisnis Jakarta, laki-laki itu cuma ada dua tipe: kalau nggak buaya darat, ya buaya buntung yang mau numpang hidup."
"Makanya saya bayar kamu mahal buat mikir!" sembur Kiana. Dia menegakkan tubuh, menatap asistennya tajam. "Mana data yang saya minta di jalan tadi? Jangan bilang kamu cuma bengong waktu saya ngebut dari rumah sakit?"
"Sudah, Bu! Sudah saya siapkan!" Sinta buru-buru berdiri dan meletakkan tabletnya di hadapan Kiana. Layar tablet itu menampilkan sederet foto pria dengan biodata singkat.
Kiana menggeser layar dengan jari telunjuknya, wajahnya makin lama makin keruh.
"Ini apa?" Kiana menunjuk foto seorang pria dengan kemeja terbuka dada yang sedang memegang gelas anggur.
"Itu... Reno, Bu. Anak pemilik tambang batu bara di Kalimantan. Orangnya asik, party goer, dan pastinya kaya raya. Jadi nggak mungkin incar harta Ibu," jelas Sinta antusias.
"Reno ini mantannya selebgram yang kemarin viral karena selingkuh sama lima cewek sekaligus, kan?" potong Kiana dingin. "Kamu mau saya kena penyakit kelamin sebelum sempat tanda tangan warisan? Next."
Sinta menelan ludah. "Kalau yang ini? Dokter spesialis bedah plastik. Duda, kalem, religius..."
"Skip. Matanya terlalu dekat. Saya nggak suka," potong Kiana asal. Sebenarnya dia tahu dokter itu punya hobi aneh mengoleksi boneka porselen yang menyeramkan. Dia tidak butuh drama horor di rumahnya.
"Oke, kalau yang ini? Masih muda, CEO startup teknologi, namanya..."
"Kevin? Yang startup-nya baru saja PHK massal minggu lalu?" Kiana mendengus kasar, mendorong tablet itu menjauh. "Dia pasti cari istri kaya buat suntik modal. Coret. Semuanya sampah, Sinta! Nggak ada yang beres!"
Kiana berdiri, berjalan mondar-mandir di depan jendela besar yang menampilkan pemandangan gedung pencakar langit Jakarta. Napasnya memburu.
Dia butuh solusi, bukan masalah baru. Menikah dengan pria yang salah hanya akan membawanya kembali ke lubang neraka seperti saat bersama Radit.
Dia butuh boneka. Boneka yang tampan, punya reputasi bagus, tapi tidak punya hati.
"Jam berapa rapat Asosiasi Pengusaha Logistik dimulai?" tanya Kiana tiba-tiba, mengalihkan topik karena kepalanya terlalu pening memikirkan jodoh.
Sinta melirik jam tangannya dengan panik. "Aduh! Tiga puluh menit lagi, Bu! Di Hotel Grand Orion. Kalau kita nggak berangkat sekarang, Ibu bakal telat. Pak Gavin Ardiman pasti bakal pakai kesempatan ini buat..."
"Jangan sebut nama dia," potong Kiana tajam.
Nama itu seperti bensin yang disiramkan ke api amarahnya. Gavin Ardiman. CEO Ardiman Logistics. Pesaing utamanya. Pria yang bulan lalu baru saja merebut tender pengiriman kargo pemerintah dari tangan Kiana dengan selisih harga yang sangat tipis.
"Siapkan mobil. Saya butuh pelampiasan emosi. Berdebat sama Gavin sepertinya olahraga yang pas buat sore ini," ucap Kiana sambil menyambar blazernya.
***
Suasana di ballroom Hotel Grand Orion terasa dingin, dan itu bukan karena pendingin ruangan yang dipasang maksimal. Ketegangan memancar dari meja bundar besar di tengah ruangan, tempat para raksasa logistik duduk berhadapan.
"Saya tidak setuju," suara bariton yang tenang namun menusuk itu memecah keheningan.
Gavin Ardiman duduk di seberang Kiana. Pria itu tampak sempurna secara visual, terlalu sempurna bahkan. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang tanpa ada satu helai pun yang keluar jalur. Setelan jas abu-abu charcoal yang dikenakannya pas badan, membungkus bahu lebarnya dengan elegan. Wajahnya tampan, dengan rahang tegas dan mata setajam elang, tapi ekspresinya sedingin es batu di kutub utara.
"Alasan Bapak apa menolak usulan saya?" tantang Kiana. Dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap lurus ke mata Gavin. "Rute laut yang saya ajukan bisa memangkas biaya pengiriman sampai dua puluh persen. Itu menguntungkan kita semua."
Gavin mengetukkan pena mahal di atas meja dengan tempo pelan yang menyebalkan. "Menguntungkan Elva Express, maksud Anda? Rute itu melewati tiga pelabuhan yang dikelola oleh anak perusahaan keluarga Anda, Bu Kiana. Jangan kira saya tidak membaca fine print dalam proposal itu."
Kiana menggertakkan gigi. Sialan. Matanya jeli sekali.
"Itu namanya sinergi bisnis, Pak Gavin. Sesuatu yang mungkin Bapak tidak paham karena Ardiman Logistics terlalu sibuk memonopoli jalur darat," balas Kiana pedas.
Beberapa pengusaha tua di meja itu berdehem canggung, pura-pura sibuk membaca berkas. Pertengkaran antara "Ratu Logistik" dan "Raja Kargo" ini sudah jadi tontonan rutin setiap bulan.
Gavin tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke mata. Senyum meremehkan. "Saya tidak memonopoli. Saya hanya menawarkan efisiensi yang tidak bisa diberikan oleh kompetitor yang... emosional."
"Emosional?" Kiana nyaris menggebrak meja. "Anda bilang saya emosional cuma karena saya perempuan?"
"Saya tidak bilang begitu. Anda sendiri yang menyimpulkan," jawab Gavin santai, lalu dia kembali fokus pada tabletnya, menganggap Kiana sudah tidak ada.
Kiana mengepalkan tangan di bawah meja. Kalau saja membunuh orang itu legal, Gavin sudah dia jadikan ganjalan ban truk kontainernya sekarang juga. Pria itu angkuh, kaku, dan merasa paling benar sendiri. Tipe manusia yang paling Kiana benci.
Tiba-tiba, dengungan panjang terdengar. Ponsel Gavin yang tergeletak di meja bergetar hebat, memecah ketegangan.
Gavin melirik layar ponselnya. Wajahnya yang tadi sedingin tembok beton, tiba-tiba retak. Ada kilatan panik yang sangat jelas di matanya. Dia langsung menyambar ponsel itu.
"Maaf, saya harus angkat ini," gumamnya cepat, lalu berdiri dan berjalan setengah berlari menuju sudut ruangan yang agak sepi, dekat jendela besar.
Kiana menyipitkan mata. Seorang Gavin Ardiman panik? Itu pemandangan langka. Biasanya, gedung kantornya kebakaran pun dia mungkin masih akan berjalan santai.
Didorong rasa penasaran (dan keinginan mencari kelemahan lawan), Kiana memberi kode pada Sinta untuk diam, lalu dia berdiri pelan-pelan.
"Saya mau ke toilet sebentar," pamit Kiana pada forum rapat, lalu berjalan—bukan ke toilet—tapi mendekat ke arah di mana Gavin berdiri membelakangi ruangan.
Kiana berdiri di balik pilar besar, memasang telinga baik-baik.
"Apa maksud kamu dia kabur lagi?" Suara Gavin terdengar tertahan, tapi penuh emosi. "Ini sudah pengasuh kelima bulan ini! Saya bayar yayasan kalian mahal bukan untuk kirim orang yang mental tempe!"
Hening sejenak. Gavin mendengarkan jawaban dari seberang sana sambil memijat keningnya dengan frustasi. Bahunya yang tegap terlihat turun, beban berat seolah menumpuk di sana.
"Saya tidak peduli Alea ngapain!" desis Gavin lagi, kali ini suaranya lebih putus asa. "Dia cuma anak tujuh tahun, masa satu orang dewasa tidak bisa menanganinya? ... Apa? Dia mengunci diri di kamar mandi? Dan membanjiri lorong lantai dua?"
Mata Kiana membulat.
Alea. Dia pernah dengar nama itu. Putri tunggal Gavin Ardiman.
Gosip yang beredar bilang anak itu "spesial" dalam artian nakalnya minta ampun sampai tidak ada sekolah atau pengasuh yang tahan lebih dari sebulan. Istri Gavin meninggal saat melahirkan, jadi Gavin adalah duda.
"Oke, oke! Jangan panggil pemadam kebakaran dulu, nanti masuk berita!" Gavin terdengar sangat kacau sekarang. Citra CEO dinginnya lenyap tak berbekas. "Saya pulang sekarang. Tahan dia. Jangan biarkan dia main korek api lagi!"
Gavin mematikan telepon dengan kasar, lalu dia bersandar di kaca jendela, menghela napas panjang yang terdengar sangat lelah. Untuk sesaat, dia bukan rival bisnis yang menyebalkan. Dia cuma seorang ayah yang kewalahan dan sendirian.
Di balik pilar, otak bisnis Kiana berputar lebih cepat daripada roda conveyor belt.
Gavin butuh pengasuh. Tidak, dia butuh lebih dari itu. Dia butuh sosok ibu untuk anaknya agar dia bisa fokus kerja tanpa diteror telepon dari rumah setiap lima menit.
Dan Kiana... dia butuh suami.
Gavin kaya raya. Hartanya mungkin setara atau bahkan lebih banyak dari Kiana, jadi dia tidak mungkin mengincar warisan Kakek.
Gavin punya reputasi bagus (meski menyebalkan). Tidak ada skandal wanita, tidak ada judi.
Dan yang paling penting... Gavin jelas tidak butuh cinta. Dia terlalu sibuk dan terlalu dingin untuk hal-hal menye-menye itu.
Ini sempurna.
Ini gila, tapi sempurna.
Kiana tersenyum miring. Senyum yang sama seperti saat dia baru saja memenangkan tender besar.
Dia kembali ke mejanya dengan langkah ringan. Sinta yang sedang membereskan berkas menatapnya bingung.
"Bu? Kok senyum-senyum sendiri? Ibu nggak sakit, kan?" tanya Sinta cemas.
Kiana duduk, lalu mengambil tablet Sinta yang masih menyala menampilkan daftar pria-pria tidak berguna tadi.
"Hapus semua daftar sampah ini, Sinta," perintah Kiana tegas.
"Hah? Semuanya? Terus kita cari di mana lagi, Bu? Waktunya mepet banget..." Sinta mulai panik lagi.
Kiana menoleh ke arah pintu keluar ballroom, tempat Gavin baru saja berlari keluar dengan wajah tegang, mengabaikan sapaan rekan bisnis yang lain.
"Saya sudah nemu kandidatnya," ujar Kiana, matanya berbinar licik.
"Siapa, Bu? Anak pejabat mana?"
Kiana mengetuk layar tabletnya, membuka aplikasi pencarian, mengetik satu nama, lalu menyodorkan hasilnya ke muka Sinta. Foto Gavin Ardiman dalam setelan jas terpampang jelas di sana.
"Dia," kata Kiana mantap. "Coret kandidat lain. Aku pilih dia. Siapkan kontraknya."
Mata Sinta nyaris melompat keluar dari rongganya. Mulutnya menganga lebar sampai lalat bisa masuk.
"Ta-tapi Bu!" pekik Sinta, lupa mengecilkan suaranya sampai beberapa orang menoleh. "Ibu sadar kan siapa yang Ibu tunjuk? Itu Pak Gavin! Musuh bebuyutan kita! Orang yang minggu lalu Ibu sumpahin biar kapal kargonya nyasar ke Kutub Utara!"
"Justru itu," Kiana menyeringai, merapikan blazernya dengan anggun. "Siapa bilang pernikahan harus didasari cinta? Dalam bisnis, ini namanya merger strategis. Dan saya pastikan, Ardiman Logistics—dan bosnya yang sombong itu—bakal bertekuk lutut di bawah kontrak saya."
Kiana berdiri, menyambar tasnya. "Ayo. Kita punya calon suami yang harus ditangkap."