Akira, cinta masa kecil dan satu-satunya cinta di hati Elio. Ketika gadis itu menerimanya semua terasa hangat dan indah, layaknya senja yang mempesona. Namun, di satu senja nan indah, Akira pergi. Dia tidak perna lagi muncul sejak itu. Elio patah hati, sakit tak berperih. Dia tidak lagi mengagumi senja. Tenggelam dalam pekerjaan dan mabuk-mabukan. Selama tiga tahun, Elio berubah, teman-temannya merasa dia telah menjadi orang lain. Bahkan Elio sendiri seolah tidak mengenali dirinya. Semua bermula sejak hari itu, hari Akira tanpa kata tanpa kabar.
3 tahun berlalu, orag tua dan para tetua memintanya segera menikah sebelum mewarisi tanah pertanian milik keluarga, menggantikan ayahnya menjadi tuan tanah.Dengan berat hati, Elio setuju melamar Zakiya, sepupunya yang cantik, kalem dan lembut. Namun, Akira kembali.Kedatangan Akira menggoyahkan hati Elio.Dia bimbang, kerajut kembali kasih dengan Akira yang perna meninggalkannya atau tetap menikahi sepupu kecilnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mia Lamakkara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wajah Lama di Tahun Baru
Malam tahun baru, desa kecil itu meledak dalam riang. Kembang api mewarnai langit, suara petasan pecah beruntun, dan warga tumpah ruah di jalan, merayakan detik-detik pergantian tahun. Di antara kerumunan, Akira berdiri dengan adiknya, Elice menikmati semarak yang tak biasa dirasakan sejak lama.
Akira pulang dua hari lalu, setelah merawat Wang Siensen selama setahun di Kaohsiung, Taiwan. Kontraknya seharusnya berakhir Maret, tapi dia memilih pulang lebih awal. Keluarga Wang tetap membayar gaji penuh sampai akhir kontrak, sebagai tanda terima kasih atas perawatan yang tulus.
Akira sendiri butuh jeda, butuh kembali ke akar, ke desa yang membesarkannya. Orang tua Akira menyambutnya dengan tangan terbuka, lega melihat anak mereka yang dulu pergi dengan luka, kini kembali dengan senyum lebih tenang.
Tiga tahun lalu, mereka memaksa Akira menikah dengan pria jauh lebih tua untuk mempererat tali kekeluargaan dengan sanak jauh ayahnya. Perjodohan itu mengikuti tradisi yang telah berlaku sejak lama di tanah ini. Akira menentang perjodohan itu dengan pergi jauh ke tanah rantau seberang sekaligus menyelesaikan pendidikan yang tertunda. Sekarang, Akira telah mengantongi ijasah diploma, dengan menmpuh pendidikan jarak jauh selama di Taiwan. Tindakan Akira menggebrak tradisi yang sudah mengakar. Orang tuanya-pun menyadari kekeliruan mereka melihat zaman. Anak gadis mereka bukan lagi alat untuk mempererat kekeluargaan, negosiasi atau pembayaran utang. Anak gadis punya hak yang sama, menempuh pendidikan, memiliki pekerjaan dan memilih pasangan hidup.
Mereka berjanji pada diri sendiri, takkan lagi menjodohkan anak-anak dengan tradisi kuno itu.
Kepulangan Akira dirahasiakan, demi menghindari gosip dan kegaduhan. Akira tahu, desanya kecil, berita cepat menyebar. Dari mulut ceriwis Elice, Akira tahu, Elio akan menikah dengan Zakiya dalam tiga bulan lagi. Ibu sedikit gusar dan merasa sangat bersalah. Kalau bukan karena perjodohan 3 tahun lalu, dua kekasih itu masih akan bersama. Sekarang, Kesalahan mereka menyakiti keduanya. Dia tidak meyalahkan Elio berpaling dari anaknya, pemuda itu menapaki hari-hari selama 3 tahun dengan luka patah hati.Kini, giliran anaknya yang akan sakit hati melihat kekasihnya bersanding dengan gadis lain di pelaminan.
"Jangan menangis lagi, bu. Anggap aja kami memang nggak berjodoh."Pelan suara Akira makin menyayat hati ibunya.
"Ini bukan kesalahan siap-siapa." Semua diam.
"Setelah beberapa hari istirahat, Akira berencana mencari kerja di luar kota." Kata Akira lagi sambl tersenyum.
Dia akan pergi jauh untuk sementara menjauh dari kecanggungan dan tatapan curiga warga. Menepi bersama lukanya. Bohong kalau dia mengatakan tidak sakit melihat Elio menikah dengan gadis lain. Mendengar kabarnya saja sudah menikam jantungnya dan mencabik-cabik hatinya. sakit....sakit sekali. Namun, dia enggan bersedih di depan keluarganya.Tidak mau rasa bersalah menggerogoti sukma orang tuanya. Biarkan dia bersedih dalam diam. terluka dalam sunyi. Akira membiarkan kesedihan itu mengendap, menyimpannya dibali senyum tipis.
Saat Akira dan Elice asyik bermain di pinggir jalan, sorot mata Elio tiba-tiba menangkap mereka. Dia berdiri di balik kerumunan, tak percaya.
"Akira..... "Nama itu tersangkut di tenggorokannya. Elio merasa napasnya terhenti, jantung berdetak kencang. Tiga tahun, dan dia masih belum siap. Akira, yang tak menyadari tatapan itu, tertawa melihat Elice mengejar anak-anak lain, bermain petasan. Senyumnya cerah, tapi ada kesedihan samar di balik mata. Dia tak tahu Elio ada di sana, melihatnya..
Keluarga Elio dan teman-temannya segera menyadari perubahan pada Elio. Langkahnya yang tadinya santai, kini kaku. Matanya membayangi Akira, yang kini hanya beberapa meter jauhnya. Seperti undangan yang tak terucap.
Akira sangat ingin cepat berbalik, kembali ke rumahnya tapi kakinya kaku, tidak bisa digerakkan seolah ada yang menahan dan membiarkannya tetap berdiri di sana. Membiarkan Elio menemukannya.
Hatinya menjerit, dia belum siap bertemu. Sebaiknya tidak bertemu. Dia tidak yakin akan tegar melihat prianya akan bersanding dengan wanita lain. Sebaiknya tidak ada lagi pertemuan. Biarkan perpisahan ini selamanya
Tissa berbisik pada Enni, "Apa itu... Akira? aku seperti melihat Akira"
Enni mengikuti arah pandang Tissa, rahangnya mengerat. "Mana? mungkin kamu berhalusinasi."
"Mungkin juga...tapi terlihat nyata."
"Mungkin orang yang mirip."
Kedua teman itu berdebat. Hanya Amalia yang terlihat kikuk. Dia tahu Akira sudah kembali dan perna menemuinya.
Suasana riang tahun baru seketika berubah bagi Elio. Keputusan menikah yang tadinya bulat, kini goyah. Akira ada di depan, nyata, dan semua kenangan yang dia coba kubur kembali berdesir. Elio menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi tatapan Akira tak sengaja bertemu dengannya—dan untuk sekian detik, waktu berhenti. Akira merasa ada yang menusuk hatinya. Elio, dengan ekspresi tak terbaca, menatapnya. Dia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan keguncangan.
Elice, yang berlari kembali, menarik tangan Akira. "Ira, ayo ikut main kembang api!" Akira mengangguk, membiarkan dirinya ditarik masuk kerumunan, menjauh dari Elio.
Tapi tatapan itu tak hilang. Elio tetap berdiri, seperti terpaku, hingga keluarga dan teman-temannya menyeretnya masuk pesta, mencoba mengembalikan kegembiraan. Di sudut jalan, Akira membungkuk, napasnya tak beraturan. "Kenapa harus sekarang?" bisiknya. Elice memeluknya. "Ira, kamu kuat. Aku ada di sini."
"Mungkin sebaiknya, aku pergi secepatnya." Guman Akira, berjalan kembali ke rumahnya. Di belakang, Elice menatap punggung kakaknya.
"Kenapa cinta itu rumit dan kehidupan orang dewasa sangat sulit."
"Kemana kamu akan pergi? ke kota mana? bekerja apa?." Akira bergelut lagi dengan batinnya. Ingatannya kembali di malam itu.
Desember dengan petir menyambar. Keluarga Wang siensen berkumpul.
Malam tahun baru cukup cerah. Bintang-bintang mengerling genit di langit Kaohsiung. Rumah besar yang biasanya sepi mendadak meriah dengan kedatangan sejumlah tamu. Ibu Wang siensen datang berkunjung untuk merayakan natal. Meski Wang siensen sendiri mengikuti kebajikan sang buddha, ibunya pengikut yesus.
Akira menepi di kamar, membiarkan Wang siensen menikmati pesta bersama keluarganya.
"Ila...sini!." Cece datang memanggil.
"Acara sudah selesai. Ayo...gabung makan-makan." Anak bungsu Wang siensen itu menarik Akira ke lantai dua.
"Ilaa aaa...datang... datang."Thai-thai melambai gembira. "Makan sini. Nggak ada babi. Semua aman."
Ada banyak piring tertata diatas meja.
"Nggak perlu khawatir. Kami tahu kamu muslim tidak makan babi. Makan saja pelan-pelan." Nenek Lee. ibu Wang siensen menepuk lembut bahu Akira.
"Terima kasih sudah menjaga anakku baik-baik. Kerja kamu sangat baik." Puji nenek Lee.
"Kalau kamu tidak mau ikut kami ke Amerika, kamu bisa tetap disini menjaga rumah."
"Saya memilih pulang nyonya. Tidak ada yang menemani orang tuaku di rumah karena adikku akan keluar kota sekolah."
"Sayang sekali...." Nyonya lee menggeleng tak berdaya
"Mungkin sekarang kamu akan pulang. Bila beberapa tahun kemudian kamu berubah pikiran, jangan segan menghubungi kami. Kami akan mengupayakan agar kamu kembali bekerja untuk keluarga kami."Kata Thai-thai, istri Wang siensen.
"Iya, benar.Kabari kami." Sambung Wag siensen.
"Apa aku harus kembali ke Taiwan lagi?." Pikir Akira.
Tahun baru itu jadi malam yang berbeda bagi mereka. Wajah lama, luka lama, dan pertanyaan yang tak terjawab: apa yang akan terjadi selanjutnya?
Konsisten dan tetap percaya