NovelToon NovelToon
Bintangku 2

Bintangku 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Cintapertama / Keluarga / Cintamanis
Popularitas:182
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Setelah Cerita Itu

Bio tidak langsung bicara setelah Bintang selesai bercerita.

Mereka duduk berhadapan di kedai kopi milik Bio—tempat yang masih berbau kayu baru dan kopi yang baru digiling. Di luar, sore merambat pelan. Lampu jalan mulai menyala satu per satu, memantulkan cahaya hangat ke kaca jendela.

Bintang baru saja menyelesaikan ceritanya tentang Inggris.

Tentang musim dingin.

Tentang kuliah.

Tentang Satya.

Nada suara Bintang datar, tidak berlebihan. Seperti sedang menceritakan potongan hidup yang sudah lama ia simpan di rak paling belakang ingatan. Tidak ada nada rindu. Tidak ada getar yang aneh.

Tapi Bio tetap merasakannya.

Bukan karena apa yang Bintang katakan—melainkan karena apa yang tidak ia katakan.

Bio mengaduk kopinya perlahan. Sendok kecil beradu dengan dinding cangkir, bunyinya pelan, tapi cukup untuk menahan keheningan agar tidak terasa terlalu berat.

“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Bintang mengangkat wajah. “Kamu capek?” tanyanya lembut.

Bio menggeleng cepat. “Enggak.”

Bohong kecil.

Ia lelah—tapi bukan secara fisik.

Ia lelah menata pikirannya sendiri.

Cerita itu sederhana. Tidak ada bagian yang seharusnya membuatnya cemburu berlebihan. Satya hadir sebagai teman. Sebagai sosok yang ada di saat Bintang sendirian di negeri orang.

Bio tahu itu masuk akal.

Tapi justru di situlah dadanya terasa sesak.

Karena ia tidak ada di sana.

Ia tidak ada di musim dingin itu.

Tidak ada di bangku kampus bersalju.

Tidak ada di malam-malam sepi yang Bintang lalui jauh darinya.

Dan untuk pertama kalinya, Bio benar-benar menyadari:

Ia tidak mengenal seluruh hidup Bintang.

Ia menyesap kopinya, pahitnya menyentuh lidah. Tangannya sedikit gemetar—nyaris tak terlihat.

“Kamu nggak marah, kan?” Bintang bertanya lagi, kali ini lebih pelan.

Bio mendongak. Mata mereka bertemu.

Marah?

Ia ingin tertawa kecil, tapi tidak keluar suara.

“Enggak,” jawabnya jujur. “Aku cuma… lagi mikir.”

“Mikir apa?”

Bio menghela napas panjang. Ia ingin mengatakan banyak hal. Tentang perasaan tertinggal. Tentang rasa takut kehilangan. Tentang nama Satya yang terasa terlalu sering muncul belakangan ini.

Tapi kata-kata itu berhenti di tenggorokan.

Ia takut.

Takut kalau kejujurannya terdengar seperti tuduhan.

Takut kalau kecemburuannya terlihat seperti ketidakpercayaan.

Takut kalau Bintang akan merasa ia dikekang.

“Enggak apa-apa,” katanya akhirnya. “Cerita kamu… ya masuk akal.”

Bintang tersenyum kecil. Tapi senyum itu tidak sepenuhnya tenang.

“Kamu yakin?” tanyanya.

Bio mengangguk. Lalu, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri, ia menambahkan, “Aku percaya kamu.”

Kalimat itu terasa berat.

Bukan karena ia tidak percaya—melainkan karena ia sedang belajar untuk benar-benar melakukannya.

Bintang berdiri dari kursinya, berjalan mengitari meja kecil itu, lalu berhenti tepat di depan Bio. Tangannya menyentuh bahu Bio, hangat dan pelan.

“Kamu tahu kan,” ucap Bintang lirih, “kalau pulang ke sini… aku pulang buat kamu juga.”

Bio menatap wajahnya. Wajah yang terlalu ia cintai untuk disakiti oleh ketakutannya sendiri.

Ia menarik Bintang ke dalam pelukan, dahi mereka bersentuhan. Aroma sampo Bintang bercampur dengan wangi kopi memenuhi napasnya.

“Aku tahu,” bisiknya. “Aku cuma… takut bodoh.”

Bintang tersenyum, lalu mencium keningnya singkat. “Takut itu nggak bodoh.”

Malam datang tanpa suara.

Bintang pulang lebih dulu karena esok harus bekerja di perusahaan Oma. Bio berdiri di depan kedainya, menatap punggung Bintang yang menjauh.

Ia tidak memanggilnya.

Tidak menahan.

Tidak bertanya lebih jauh.

Tapi begitu pintu kedai tertutup dan ia sendirian, perasaan itu kembali datang.

Nama Satya berputar di kepalanya.

Bukan sebagai ancaman yang nyata—melainkan sebagai bayangan. Sebagai pengingat bahwa Bintang memiliki dunia lain yang tidak selalu bisa ia masuki.

Bio duduk di kursi bar, menatap mesin kopi yang baru ia beli dengan sisa tabungan. Mesin itu mengilap, modern, berdiri seperti simbol awal hidup barunya.

Ia tersenyum pahit.

Ia sedang membangun hidup dari nol.

Sementara Bintang sudah berjalan jauh.

Malam itu, sebelum menutup kedai, Bio mengambil ponselnya. Mengetik pesan untuk Bintang.

> *Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan.*

Ia menatap layar beberapa detik sebelum menekan kirim.

Pesan sederhana. Aman. Tidak membuka apa pun yang belum siap ia hadapi.

Bio meletakkan ponsel kembali ke saku.

Di luar, lampu kota berpendar. Di dalam dadanya, ketakutan itu masih ada—diam, belum terucap, menunggu.

Karena mencintai, ternyata juga berarti belajar menerima bagian hidup seseorang yang tidak pernah kita lalui bersama.

Dan Bio belum tahu…

apakah ia cukup kuat untuk itu.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!