NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:336
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelarian Menuju Kabut

Kabut turun lebih cepat dari perkiraan, seolah-olah langit sengaja merendah untuk menyembunyikan puncak bukit dari pandangan dunia luar.

Elara menyandarkan keningnya pada kaca mobil yang dingin. Di luar sana, pepohonan pinus melesat lewat seperti bayangan hantu yang terburu-buru. Sudah dua jam mereka meninggalkan hiruk-pikuk kota, dan semakin tinggi mobil mendaki, semakin pudar pula sinyal di ponselnya.

"Masih pusing, El?"

Suara bariton yang lembut itu menarik Elara dari lamunannya. Ia menoleh ke arah kursi pengemudi. Rian menatapnya sekilas lewat spion tengah. Tatapan laki-laki itu, seperti biasa, memiliki semacam gravitasi yang membuat Elara merasa aman sekaligus gelisah di saat bersamaan.

"Sedikit," jawab Elara pelan, memijat pelipisnya.

"Mungkin karena jalanannya terlalu berkelok."

"Tenang, Tuan Putri," sahut suara cempreng dari kursi belakang. Bobi, dengan mulut penuh keripik kentang, mencondongkan tubuh ke depan di antara jok depan. "Sopir kita ini kan mantan pembalap liar... di game dingdong. Jadi aman lah."

Elara tertawa kecil. Itu tawa pertamanya hari ini. Bobi memang punya bakat alami untuk merusak suasana melankolis, sesuatu yang sangat dibutuhkan Elara saat ini. Di sebelah Bobi, Sarah yang sejak tadi sibuk dengan tabletnya, mendesis kesal.

"Bobi, remahan keripik lo jatoh ke karpet mobil Rian semua tuh. Dan bisa diam sebentar nggak? Gue lagi cek rute. GPS-nya mulai ngaco," omel Sarah sambil membetulkan letak kacamatanya, matanya tak lepas dari layar yang berkedip.

"GPS ngaco itu tanda alam, Sar," balas Bobi santai, tak peduli pada serpihan keripik di celananya. "Di film-film, ini momen di mana kita harusnya putar balik. Tapi karena kita adalah karakter yang sok berani, kita bakal tetep lanjut dan..."

"Dan sampai di villa mewah yang sudah gue booking tiga bulan lalu dengan harga diskon teman," potong Sarah tajam. "Jadi diam dan nikmati liburannya."

Elara kembali menatap keluar jendela, mengabaikan perdebatan kecil itu. Liburan. Kata itu terasa asing di lidahnya. Sejujurnya, gadis itu ikut perjalanan ini bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk lari.

Naskah novel terbarunya macet total selama enam bulan. Editor sudah meneror lewat email, dan dia butuh tempat di mana internet tidak bisa menjangkau, di mana ia bisa memaksakan otaknya untuk kembali bekerja.

Villa Edelweiss. Nama itu terdengar cantik, namun juga menyiratkan kesendirian yang angkuh. Bunga abadi yang tumbuh di tempat yang tak terjangkau.

"Elara," panggil Rian lagi.

Kali ini laki-laki itu menjulurkan tangan kirinya ke belakang tanpa menoleh, menyodorkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah dibukakan. "Minum dulu. Pucat banget muka kamu."

Jantung Elara berdesir halus. Hal-hal kecil seperti ini, tutup botol yang sudah dibuka, suhu AC yang diam-diam dinaikkan Rian saat Elara memeluk lengan, tatapan cemas di spion, adalah alasan kenapa menulis kisah cinta di novelnya selalu terasa sulit. Karena standar romansa di dunia nyata sudah dipatok terlalu tinggi oleh laki-laki yang duduk di kursi pengemudi ini. Laki-laki yang sayangnya hanya menganggap Elara sebagai "sahabat yang perlu dijaga".

"Makasih, Yan," ucap Elara, menerima botol itu.

Jemari mereka bersentuhan sekilas. Hangat.

Mobil berbelok tajam ke kiri, memasuki jalan setapak yang lebih sempit. Aspal mulus berganti dengan jalanan berbatu yang dipadati dedaunan basah. Pepohonan di kiri dan kanan kini merapat, dahan-dahannya saling bertaut di atas membentuk terowongan alami yang gelap. Cahaya sore yang tersisa seakan enggan masuk ke celah itu.

"Gila, ini tempat terpencil banget," komentar Bobi, nadanya kali ini terdengar sedikit kagum, atau mungkin waspada. "Kalau kita teriak minta tolong, yang denger cuma tupai sama genderuwo kali ya."

"Jangan mulai deh, Bob," tegur Elara.

"Serius, El. Lihat tuh." Bobi menunjuk ke luar, ke arah depan.

Di ujung jalan yang menanjak, kabut perlahan tersibak seperti tirai panggung, memperlihatkan tujuan mereka.

Villa Edelweiss berdiri angkuh di atas bukit batu. Bangunannya tua, bergaya kolonial Belanda dengan jendela-jendela tinggi yang besar. Dindingnya terbuat dari batu alam yang warnanya mulai menggelap dimakan lumut dan waktu. Atapnya tinggi runcing, khas bangunan Eropa lama, dengan cerobong asap yang menyembul kaku menantang langit kelabu.

Indah. Sangat indah, tapi ada sesuatu yang salah.

Bagi mata Elara yang sensitif, bangunan itu tidak terlihat "menyambut". Ia terlihat seperti sedang mengawasi. Seperti raksasa tua yang terbangun dari tidur panjang karena terganggu oleh kedatangan semut-semut kecil.

Rian memarkirkan mobil di halaman depan yang luas. Begitu mesin dimatikan, keheningan langsung menyergap. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada kicau burung. Hanya suara angin yang mendesau melewati celah-celah pilar villa, menciptakan nada rendah yang menyedihkan.

Mereka turun satu per satu. Udara di sini jauh lebih dingin dari perkiraan. Dingin yang tidak wajar, seolah-olah musim dingin tinggal menetap di halaman ini sepanjang tahun. Elara merapatkan jaket tebalnya, tapi rasa dingin itu seakan bisa menembus kain dan menyentuh kulitnya langsung.

"Wow," gumam Sarah, akhirnya menurunkan tabletnya. "Oke, di foto memang bagus. Tapi aslinya... megah banget."

"Dan serem banget," tambah Bobi sambil menurunkan koper dari bagasi. "Gue mencium bau-bau orang kaya lama yang punya rahasia gelap."

"Bobi, tolong angkatin koper Elara," perintah Rian sambil menyampirkan tas ransel besar di punggungnya. Sifat kepemimpinannya langsung mengambil alih.

"Siap, Bos. Apa sih yang enggak buat Tuan Putri," canda Bobi, menyambar koper Elara dengan gaya berlebihan ala pelayan hotel.

Elara berjalan mendekati pintu depan, meninggalkan teman-temannya di belakang. Pintu itu terbuat dari kayu jati tebal yang kokoh, dengan pegangan pintu dari kuningan berbentuk kepala singa yang sudah berkarat. Di atas pintu, terukir tulisan samar: VILLA EDELWEISS - 1928.

Saat tangan Elara terulur hendak menyentuh pegangan pintu itu, ia merasakan sensasi aneh. Ujung jarinya kesemutan hebat. Ada dorongan kuat, hampir seperti kepanikan, di dalam dadanya untuk berbalik, lari ke mobil, dan memaksa Rian menyetir pulang sekarang juga.

Jangan masuk.

Bisikan itu terdengar di kepalanya. Sangat jelas, seolah ada seseorang yang meniupkan kata-kata itu tepat di telinganya. Elara tersentak dan menoleh cepat ke belakang.

"El? Kenapa?"

Rian sudah berdiri tepat di belakangnya. Tubuh tegap pria itu menghalangi angin dingin yang menerpa punggung Elara.

"Ah, nggak," Elara menggeleng cepat, mencoba mengusir paranoidnya. Mungkin itu hanya imajinasi penulisnya yang terlalu aktif karena kelelahan.

"Cuma... perasaanku saja, atau tempat ini memang sunyi sekali?"

Rian tersenyum tipis, senyum yang selalu bisa menenangkan badai di kepala Elara. "Kan itu yang kamu cari? Ketenangan buat nulis?"

Pria itu melangkah maju, lalu meletakkan tangannya di atas pegangan pintu yang dingin itu, tepat di bekas sentuhan Elara tadi. "Yuk, masuk. Kita hangatkan tempat ini."

Rian memutar kuncinya. Terdengar bunyi klik yang berat, diikuti derit engsel yang panjang dan menyayat telinga saat pintu terbuka.

Kriiiiieet...

Aroma debu tua, kayu lapuk, dan samar-samar wangi bunga melati kering menyeruak keluar menyambut mereka. Gelap menyelimuti lorong masuk, seolah cahaya matahari dari luar tidak berani melangkah masuk melewati ambang pintu.

"Permisi..." seru Bobi dari belakang Rian, suaranya memantul di dinding-dinding kosong, terdengar hampa.

Mereka melangkah masuk. Dan saat kaki Elara memijak lantai marmer dingin di ruang tamu, pintu utama di belakang mereka tertutup perlahan oleh angin, menimbulkan suara debum yang berat dan final.

Elara menelan ludah, menatap pintu yang kini tertutup rapat itu. Liburan mereka baru saja dimulai, tapi entah kenapa, rasanya mereka baru saja melangkah masuk ke dalam perut seekor binatang buas yang sedang lapar....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!