Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam yang indah
Asap rokok mengepul pelan di balkon lantai dua rumah itu. Arsen berdiri bersandar pada pagar besi, menatap kosong ke langit malam yang bertabur bintang. Wajahnya datar, tapi pikirannya ribut bukan main.
Suara pintu depan rumah yang terbuka samar-samar terdengar dari bawah.
Refleks, Arsen menegang.
Ia segera mematikan rokok di asbak kecil, menginjaknya hingga benar-benar padam. Tangannya sedikit gemetar—bukan karena nikotin, tapi karena satu kemungkinan yang langsung terlintas di kepalanya.
Papa.
Arsen menarik napas panjang, lalu membuka pintu kamarnya perlahan. Langkah kakinya terhenti begitu ia melihat sosok yang berdiri di sana.
Elara.
Gadis itu berdiri dengan senyum manisnya yang khas, rambutnya tergerai rapi, matanya berbinar seolah membawa cahaya ke dalam ruangan yang selama ini terasa gelap.
Arsen terpaku.
Gue halu atau El beneran ada di depan gue?
“Hai, Nio,” sapa Elara ceria, membuyarkan lamunan Arsen.
Arsen berkedip beberapa kali sebelum akhirnya sadar. “El… kamu ngapain malam-malam ke sini?”
Nada suaranya terdengar heran, bercampur khawatir.
Elara langsung manyun. “Gak boleh ya, aku ada disini?”
“Bukan gitu maksudnya gini” Arsen buru-buru mengoreksi. "kamu....gak biasanya datang ke rumah aku apalagi malam-malam gini.”
Tanpa sadar, tangannya meraih tangan Elara dan menggenggamnya lembut, lalu menuntunnya ke arah balkon. Elara menurut saja, seolah itu hal paling natural di dunia.
“Aku tadi habis nganterin brownies buatan Mama ke Papa kamu,” ucap Elara.
“Oh…” Arsen mengangguk kecil.
Elara menoleh, memperhatikan wajah Arsen yang terlihat lebih lelah dari biasanya. “Tumben kamu gak nongkrong sama Ezra dan yang lain.”
Biasanya, rumah ini hampir tak pernah sepi. Selalu ada tawa, suara motor, atau musik dari kafe kecil yang sering mereka datangi untuk mengusir penat.
“Aku baru aja dimarahin,” jawab Arsen pelan.
Elara berhenti melangkah.
“Nilai ulangan aku… gak cukup memuaskan buat Papa.”
Nada Arsen datar, tapi Elara bisa menangkap luka di balik kata-kata itu.
“Katanya…” Arsen terdiam sejenak, rahangnya mengeras. “Katanya aku gak pantas jadi penerus perusahaan kalau otak aku aja di bawah rata-rata.”
Elara menoleh cepat. “Nio…”
Ia langsung menggeleng kecil. “Hush, gak boleh ngomong gitu.”
Elara berdiri tepat di hadapan Arsen, menatapnya dengan serius—bukan menghakimi, bukan mengasihani.
“Kamu tuh bisa. Banget,” ucapnya pelan tapi tegas. “Cuma jangan maksa diri kamu buat ngerti semuanya sekaligus.”
Arsen menatapnya, diam.
“Belajar itu pelan-pelan, Nio,” lanjut Elara. “Satu-satu. Biar otak kamu adaptasi. Dari yang kecil dulu ke yang lebih sulit. Kalau kamu maksa semuanya masuk sekaligus, ya kamu stres.”
Kata-kata itu keluar begitu saja dari Elara, tanpa dibuat-buat. Tulus.
Arsen menelan ludah. Dadanya terasa sesak—bukan karena sedih, tapi karena lega.
“Makasih..." ucap Arsen lirih. “Kamu selalu ada buat aku, disaat aku kesepian."
Tangannya terangkat, mengusap rambut Elara dengan lembut. Gerakan yang penuh kebiasaan, penuh rasa aman.
“Hummm,” gumam Elara sambil mengangguk kecil, membiarkan.
Malam terasa sunyi. Angin berembus pelan.
“El…” suara Arsen terdengar lebih rendah dari sebelumnya. “aku mau ngomong sesuatu.”
Ada keraguan di matanya. Ada sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
“Apa?” tanya Elara, menoleh sedikit.
Namun tiba-tiba matanya membesar. “Eh, Nio! Lihat!”
Arsen mengikuti arah pandang Elara.
Sebuah garis cahaya melesat cepat di langit.
“Bintang jatuh,” ujar Elara antusias. “Ayo, buat permohonan!”
Ia menutup mata, kedua tangannya terkatup.
Arsen hanya tersenyum tipis. Kata-kata yang ingin ia ucapkan kembali tertelan. Ia memilih diam, membiarkan momen itu lewat.
Gue harap… batin Elara, persahabatan kita semua gak akan retak. Sampai kita tua. Sampai kakek-nenek.
Elara membuka matanya dan menoleh ke Arsen. “Kamu minta apa?”
“Rahasia,” bisik Arsen singkat.
Elara mendengus kecil. “Peliiit, banget sih tinggal kasih tau”
Arsen terkekeh pelan. “Udah larut. Kamu mau pulang?”
“Ehh iya,” Elara terkesiap. “Keasikan ngobrol sama kamu, lupa waktu.”
“Ayo, aku anterin,” ucap Arsen sambil mengambil jaketnya.
Elara menggeleng. “Gak perlu. Sopir Papa masih nunggu di depan. Lagi ngobrol sama satpam kamu.”
Arsen terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kamu di sini aja istirahat yang cukup.”
Elara mendekat, mengelus rambut Arsen pelan. “Jangan begadang. Jangan mikir yang berat-berat.”
Lalu ia berbalik dan melangkah pergi.
Arsen berdiri di tempat, menatap punggung Elara hingga menghilang dari kamarnya. Ia melangkah ke balkon, memastikan gadis itu benar-benar pulang.
Di bawah, Elara berjalan menuju mobil. Entah kenapa, ia merasa ada yang memperhatikannya.
Ia menoleh ke atas.
Mata mereka bertemu.
Elara tersenyum kecil dan melambaikan tangannya pelan—sebuah perpisahan sederhana, tapi penuh makna.
Arsen membalas dengan senyum tipis.
Di bawah langit yang sama, mereka berdiri di dua tempat berbeda, tapi hati mereka terasa lebih dekat dari sebelumnya.