NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:243
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21: PENCULIKAN

#

Tiga hari sudah Laura di rumah sakit. Tiga hari Julian gak pernah jauh-jauh dari kamar rawatnya—tidur di kursi yang gak nyaman, makan seadanya, cuma pulang untuk mandi sebentar lalu balik lagi. Felix sudah beberapa kali bilang Julian harus istirahat beneran, tapi dia gak peduli.

Gimana bisa dia tidur tenang kalau Laura masih terluka karena kesalahannya?

Pagi itu, hari keempat, kondisi Laura sudah jauh lebih baik. Lukanya mulai mengering, gegar otaknya membaik, dia bahkan bisa duduk dengan bantuan tanpa terlalu pusing. Dokter bilang kalau gak ada komplikasi, besok atau lusa Laura bisa pulang.

Julian sedang duduk di samping tempat tidur Laura, laptop di pangkuannya, mencoba menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Tapi matanya terus melirik ke Laura yang sedang membaca di tablet—buku yang Nia bawain kemarin.

"Kamu gak perlu terus di sini, tau," ujar Laura tiba-tiba tanpa mengangkat mata dari tablet. "Aku yakin kamu punya kerjaan penting."

"Gak ada yang lebih penting dari ini," jawab Julian langsung.

Laura akhirnya menatapnya, alis terangkat. "Julian, serius. Aku udah baikan. Kamu gak perlu—"

"Aku perlu," potong Julian, nada nya gak memberi ruang untuk debat. "Aku perlu ada di sini. Butuh tau kamu aman."

Tatapan mereka bertemu dan bertahan lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu di mata Julian yang bikin dada Laura sesak—campuran khawatir, bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam yang Laura gak berani beri nama.

Moment itu terpecah saat pintu kamar terbuka. Perawat masuk dengan senyum ramah.

"Miss Laura, saya perlu check vital signs sebentar. Dan dokter minta tes darah ulang untuk pastiin hemoglobin udah naik."

"Oh, okay."

"Mungkin bapak bisa tunggu di luar sebentar?" perawat menatap Julian. "Prosedurnya sekitar lima belas menit."

Julian ragu, tapi Laura mengangguk padanya. "Gue baik-baik aja. Mungkin kamu bisa beli kopi atau apa. Kamu kelihatan butuh kafein."

Akhirnya Julian mengangguk, mengambil jacket-nya. "Aku akan di cafeteria. Kalau ada apa-apa—"

"Aku akan telepon," potong Laura dengan senyum kecil.

Julian pergi dengan berat hati, melirik ke belakang sekali sebelum pintu tertutup. Ada perasaan aneh yang mengganjal—semacam kecemasan yang gak bisa dia jelasin.

Tapi dia mengabaikannya. Ini rumah sakit. Laura aman di sini.

***

Sepuluh menit kemudian.

Julian baru beli kopi dari cafeteria, baru mau balik ke kamar Laura, saat ponselnya berdering. Adrian. Aneh—kenapa Adrian telepon sekarang?

"Boss, kita ada masalah." Suara Adrian terdengar urgent. "Tim keamanan di parkiran basement bilang ada mobilmu—BMW hitam itu—baru keluar dari basement dengan kecepatan tinggi. Tapi kamu kan di dalam gedung?"

Darah Julian membeku. "Apa maksudmu mobilku keluar? Kunci mobilku ada di saku—" dia merogoh dan menemukan kunci masih ada.

"Kemungkinan ada yang cloning kunci boss. Kami lagi cek CCTV sekarang—"

Julian gak mendengar sisanya. Dia sudah berlari ke arah lift, jantungnya berdetak gila-gilaan. Sesuatu gak beres. Sesuatu sangat gak beres.

Lift naik dengan lambat yang menyiksa—setiap detik terasa seperti jam. Julian mencoba telepon kamar Laura. Gak diangkat. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

"Jawab, kumohon jawab," gumamnya panik.

Lift terbuka di lantai tiga. Julian berlari di koridor, mengabaikan teriakan perawat yang bilang jangan lari di rumah sakit. Dia sampai di kamar 308 dan mendorong pintu dengan keras—

Kosong.

Tempat tidur kosong. Tablet Laura tergeletak di lantai. Infus tercabut, selangnya masih menetes darah. Kursi terbalik. Tanda-tanda perlawanan.

"Tidak. Tidak, tidak, tidak." Julian merasakan dunianya runtuh. Dia keluar kamar, meraih perawat yang lewat dengan panik. "Pasien di kamar 308—Laura Christina—dimana dia?!"

Perawat itu menatapnya bingung. "Saya baru shift, pak. Saya gak—"

Julian sudah berlari ke nurse station. "LAURA CHRISTINA DI KAMAR 308! DIMANA DIA?!"

Suster jaga menatap komputer dengan cepat. "Miss Laura sedang di-check sama perawat kami untuk tes—"

"Perawat mana?! Yang tadi masuk jam berapa?!"

"Jam... sembilan tiga puluh."

"Ciri-cirinya gimana?!"

Suster itu makin bingung dengan panic Julian. "Wanita, sekitar tiga puluhan, berambut pendek—"

Julian merasakan kepalanya berputar. Perawat tadi—dia gak pernah lihat perawat itu sebelumnya. Dan sekarang Laura hilang.

Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal.

Dengan tangan gemetar, Julian mengangkat.

"Julian Mahardika." Suara Leon—dingin, penuh kemenangan. "Kangen gak sama suaraku?"

"Dimana dia," Julian berbicara dengan nada yang gak pernah dia pakai sebelumnya—nada yang dipenuhi ancaman mematikan. "Dimana Laura."

"Aman. Untuk sekarang." Terdengar suara tertawa. "Kamu tahu, tadinya aku cuma mau data. Tapi setelah dipikir-pikir, ambil orangnya langsung lebih... efektif."

"Kalau kamu berani sakiti dia—"

"Kamu akan apa?" Leon memotong dengan nada mengejek. "Laporkan polisi? Mereka gak akan bisa trace aku sebelum Laura kehabisan waktu. Nyerang aku? Kamu gak tau dimana aku."

Julian menutup matanya, mencoba tetap tenang meski panic menggerogoti setiap sel tubuhnya. "Apa maumu."

"Simpel. Data proyek Henderson. Semua—tidak ada yang di-encrypt, tidak ada yang dihapus. Dan kamu datang sendiri—sendirian—bawa data itu ke alamat yang akan aku kirim. Kamu punya dua jam."

"Aku mau bukti Laura masih hidup."

Hening sejenak. Lalu terdengar suara lain—suara Laura, lemah tapi jelas.

"Julian, jangan—jangan datang. Dia akan—"

Suara terputus. Terdengar bunyi tamparan dan Laura merintih kesakitan.

"LEON!" Julian berteriak, tapi sambungan sudah terputus.

Detik berikutnya, SMS masuk dengan alamat: Gudang tua di kawasan Marunda, Cilincing.

Julian berdiri di tengah koridor rumah sakit dengan tubuh gemetar—bukan karena takut, tapi karena kemarahan yang gak pernah dia rasakan sebelumnya. Leon berani menyentuh Laura. Berani menyakiti dia.

Dan sekarang Julian harus membuat pilihan: data yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan banyak nyawa, atau satu nyawa yang lebih berharga dari apapun baginya.

Tapi buat Julian, gak ada pilihan.

Dia sudah telepon Adrian sebelum sampai parkiran. "Kumpulin tim sekarang. Semua yang available. Full gear. Kita ada operasi rescue."

"Boss, polisi—"

"Gak ada waktu untuk polisi," potong Julian. "Leon kasih dua jam. Dalam dua jam itu, aku akan bawa Laura pulang. Atau aku mati mencoba."

Dia sampai di parkiran, masuk ke mobil backup—fortuner hitam yang selalu standby. Tangannya gemetar saat menyalakan mesin, bukan karena takut tapi karena membayangkan Laura sendirian di tangan Leon.

Laura yang terluka, yang lemah, yang baru saja mulai pulih.

"Bertahanlah," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. "Kumohon, bertahanlah. Aku akan datang. Aku janji."

Dia menginjak gas, melaju keluar parkiran dengan kecepatan yang berbahaya. Di belakang, dua mobil hitam mengikuti—tim Adrian yang sudah standby.

Perjalanan dari rumah sakit ke Marunda biasanya satu jam lebih. Tapi Julian melakukannya dalam empat puluh menit, mengabaikan semua lampu merah, memotong jalur dengan gila-gilaan.

Di tengah perjalanan, ponselnya berdering lagi. Kali ini, Maudy.

"Julian, aku dengar dari Felix tentang Laura. Dia—"

"Aku gak bisa bicara sekarang, Maudy." Suara Julian datar, fokus penuh pada jalanan.

"Aku tau. Aku cuma mau bilang—" Maudy berhenti sejenak. "Selamatkan dia. Apapun yang terjadi, selamatkan dia. Karena aku tau sekarang—aku tau kamu gak pernah benar-benar mencintaiku. Gak seperti cara kamu mencintai dia."

Julian terdiam, gak menyangkal.

"Dan itu oke," lanjut Maudy, suaranya bergetar tapi tulus. "Karena cinta seperti itu—cinta yang bikin kamu rela mati untuk seseorang—itu langka. Dan Laura beruntung punya itu. Jadi pergi. Bawa dia pulang."

"Terima kasih, Maudy," bisik Julian, suaranya penuh emosi.

Sambungan terputus. Dan Julian menginjak gas lebih dalam, melaju dengan satu tujuan: bawa Laura pulang. Hidup atau mati.

***

Kawasan Marunda adalah daerah industri yang sebagian besar sudah ditinggalkan. Gudang-gudang tua berdiri seperti hantu—berkarat, rusak, berbahaya.

Julian parkir di jarak aman dari gudang yang Leon sebutin—bangunan tiga lantai dengan cat yang mengelupas dan jendela pecah. Dua mobil timnya parkir di belakang.

Adrian turun dengan enam orang security, semua bersenjata lengkap. "Boss, ini trap. Leon pasti udah siap."

"Aku tau," jawab Julian, memasang earpiece komunikasi. "Tapi kita gak punya pilihan. Laura di dalem sana."

Dia menatap gedung dengan mata yang dingin—mata yang dulu dia punya saat masih di militer. Mata yang udah lama dia kubur tapi sekarang muncul lagi karena orang yang dia cintai dalam bahaya.

"Plan-nya simpel," ujarnya dengan nada komando. "Adrian, kamu dan tiga orang masuk dari belakang. Silent approach. Cari Laura dan bawa dia keluar secepatnya. Aku akan masuk dari depan—bikin distraksi, tarik perhatian Leon."

"Boss, itu bunuh diri—"

"Itu perintah," potong Julian dengan nada yang gak bisa dibantah. "Prioritas adalah Laura. Keselamatan dia di atas segalanya. Termasuk keselamatanku."

Adrian menatapnya dengan tatapan yang penuh kekhawatiran, tapi akhirnya mengangguk. "Understood."

Tim berpencar. Julian berjalan sendirian ke pintu depan gudang, tangan di saku jaketnya menyentuh pistol yang dia sembunyiin di sana. Dia gak pengen harus pake itu, tapi kalau terpaksa—

Pintu gudang terbuka sebelum Julian sempat mengetuk. Tiga orang besar keluar, mengapit Julian dan menggeledah tubuhnya dengan kasar. Mereka nemuin pistol dan earpiece, menyitanya.

"Masuk," ujar salah satunya dengan kasar.

Julian masuk ke gudang yang gelap, hanya diterangi lampu-lampu gantung yang bergoyang. Dan di tengah ruangan, di kursi yang dikelilingi lima orang bersenjata—

Laura.

Tangan dan kakinya diikat ke kursi. Mata kirinya membiru—bekas pukulan. Bibir pecah. Baju rumah sakitnya robek di beberapa bagian. Tapi matanya—matanya masih menyala dengan api perlawanan yang bikin dada Julian sesak dengan bangga dan marah sekaligus.

"Laura," bisiknya, hampir melangkah maju tapi laras senjata langsung diarahkan ke kepalanya.

"Jangan gerak," ujar Leon yang keluar dari bayangan. Pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajah, mata dingin yang penuh kebencian. "Atau otak kamu akan berceceran di lantai ini sebelum kamu sempat sentuh dia."

Julian memaksa dirinya berdiri diam, tangan mengepal dengan kuat. "Aku udah datang. Sendirian. Sekarang lepas dia."

"Data-nya mana?"

"Di mobilku. Aku akan kasih setelah kamu lepas Laura."

Leon tertawa—tertawa yang bikin bulu kuduk berdiri. "Kamu pikir aku bodoh? Kamu akan kasih data setelah aku lepas dia, terus kalian kabur dan aku dapet apa? Gak ada deal."

"Lalu gimana?"

"Gini," Leon melangkah lebih dekat, pistol di tangannya main-main diarahin ke Julian. "Kamu kasih data sekarang. Aku verify data itu asli dan lengkap. Kalau iya, aku pertimbangkan untuk lepas dia. Kalau gak—" dia mengarahkan pistol ke Laura "—aku tembak dia di depan matamu. Pilih."

Julian menatap Laura yang menggelengkan kepala dengan desperate, air mata mulai mengalir.

"Jangan," bisik Laura, suaranya serak. "Julian, jangan kasih dia apapun. Aku gak—gak sebanding dengan semua nyawa yang akan—"

PLAK!

Leon menampar Laura dengan keras sampai kepala wanita itu terlempar ke samping. "DIAM!"

Sesuatu di dalam Julian patah. Semua kontrol, semua logika, semua perhitungan—hilang begitu aja saat melihat Laura kena pukul lagi.

Dia meledak.

Dalam sekejap, Julian menyerang orang terdekat, merebut senjata, dan menembak lampu terdekat—menciptakan kegelapan parsial. Kekacauan meledak. Tembakan bersahutan. Teriakan memenuhi gudang.

Dan di tengah chaos itu, Julian punya satu tujuan: sampai ke Laura.

***

Di bagian belakang gedung, Adrian dan timnya berhasil masuk lewat jendela lantai dua yang rusak. Mereka bergerak silent, mengikuti bunyi kekacauan dari lantai bawah.

"Boss bikin distraksi," bisik Adrian lewat komunikasi internal tim. "Kita punya waktu terbatas. Cari target."

Mereka turun tangga dengan hati-hati, senjata teracung, mata waspada. Dan di lantai bawah—

Mereka lihat Julian bertarung habis-habisan dengan tiga orang sekaligus, tubuhnya udah penuh luka tapi masih bergerak dengan ketepatan mematikan yang cuma dimiliki orang dengan training militer.

Dan di sudut, Laura masih terikat di kursi, berteriak nama Julian dengan desperate.

"Cover Boss!" Adrian berteriak, timnya langsung tembak orang-orang Leon yang mengepung Julian.

Dalam hitungan menit yang terasa seperti jam, gudang berubah jadi medan perang. Tapi akhirnya, satu per satu orang Leon jatuh—ada yang terluka, ada yang lari.

Dan Leon sendiri—Leon sudah kabur lewat pintu belakang saat situasi berubah gak menguntungkan baginya.

Julian, dengan napas terengah-engah dan darah mengalir dari luka di dahi, akhirnya sampai ke Laura. Tangannya gemetar saat membuka ikatan di tangan dan kaki Laura.

"Maafkan aku," bisiknya, suaranya pecah. "Maafkan aku karena—"

Laura langsung memeluknya begitu tangan dan kakinya bebas, tubuhnya bergetar hebat dengan tangisan yang gak bisa dia tahan lagi. "Kamu datang. Kamu benar-benar datang."

"Aku janji akan selalu datang," bisik Julian, memeluk Laura dengan erat meski tubuhnya sendiri sakit di mana-mana. "Selalu."

Sirene polisi mulai terdengar dari kejauhan—sepertinya Adrian tetap hubungi mereka meski Julian bilang jangan.

Tapi Julian gak peduli. Yang penting sekarang, Laura aman di pelukannya. Hidup. Bernapas. Masih bersamanya.

"Ayo kita pulang," bisiknya, mengangkat Laura dengan hati-hati meski tubuhnya sendiri hampir kolaps.

Dan Laura, dengan kepala bersandar di dada Julian, mendengar detak jantungnya yang berpacu cepat, akhirnya merasa—untuk pertama kalinya dalam hidupnya—benar-benar aman.

---

*

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!