NovelToon NovelToon
Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Satu wanita banyak pria / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mega Biru

Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.

Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.

Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Setelah perjalanan panjang yang bikin phanthat terasa gepeng, akhirnya roda pesawat ini nyentuh tanah China.

“Ya ampun aku di luar negeri beneran!” jantungku langsung deg-degan.

Begitu pintu pesawat kebuka, angin dingin menyambutku. Serius, dingin banget sampai alisku hampir beku.

“Ih, jadi gini rasanya angin China?”

Aku melangkah keluar pesawat. Di depan sana, bandara China terlihat kayak dunia modern. Gedungnya tinggi, mewah, kaca di mana-mana, lantainya kinclong, orang-orangnya pun pada mirip aktor dracin.

“Tuh kan, aku beneran di bandara Guangzhou. Kak Deti gak mungkin bawa aku ke Kamboja,” gumamku puas.

“Cica!” Suara itu terdengar di tengah riuh bandara yang penuh suara koper diseret.

“Cica!” panggilnya lagi.

Aku menoleh cepat. Suara itu familiar, tapi terdengar lebih lembut dan jernih daripada terakhir kali kudengar lewat voice note. Di sana, di antara lautan manusia, seorang wanita melambaikan tangan.

Aku terpaku. “Kak Deti?”

Dia berjalan mendekat, rambut panjangnya jatuh rapi dengan gelombang natural, riasannya tipis tapi bikin wajahnya bersinar, outfit-nya pun modis banget, penampilannya beda jauh dari yang kuingat dulu.

“Ca, akhirnya kamu datang juga!” serunya, begitu sampai di depanku.

“Kak Deti!”

Kami langsung berpelukan. Pelukan yang hangat, lama, dan penuh rasa lega. Seolah ini bukan sekadar temu kangen, tapi penyatuan kembali dua sahabat yang sempat terpisah jauh.

“Kamu udah gede aja, Ca.”

Aku menjauh sedikit, mataku menyapu wajahnya dari atas sampai bawah. “Kamu yang tambah gede, Kak. Cantik banget malah. Aku mah gini-gini aja.”

“Tapi kamu beneran cantik, Ca. Masih natural aja udah secantik ini, apalagi udah dimodif kayak aku?”

“Ah, kamu bisa aja, Kak.”

Aku menatapnya sekali lagi. Jauh di lubuk hati, ada rasa takjub bercampur bangga. Tapi mostly, aku lega. Lega karena sosok yang kucari, kupercaya, dan kubela dari omongan tetangga, ternyata benaran ada. Dan yang lebih melegakan, aku gak dibawa ke Kamboja.

Deti menggenggam tanganku. “Ca, ayok. Kita ke pesawat berikutnya.”

Aku langsung membeku. “Pesawat berikutnya? Maksudnya, Kak?”

“Iya. China ini luas banget, Ca. Guangzhou itu cuma tempat turun internasional. Kota tempat kerja kamu tuh jauh di dalam. Harus pakai connecting flight.”

Aku kaget, tapi bukan kaget curiga, lebih ke kaget bego.

“Oh, jadi kalau kerja di luar negeri tuh gini ya, Kak?”

Deti tersenyum manis. “Iya, Ca. Biasa banget. Semua TKI juga gitu. Tenang, semua tiket udah aku urusin. Kamu tinggal ikut aku aja.”

Dia narik tanganku yang masih loading. Kami jalan ke gate domestik. Bandara ini gede banget sampai rasanya kayak masuk lima mall sekaligus. Tiap belokan ada eskalator, tiap eskalator berakhir di toko yang bikin aku minder secara finansial.

“Cepet, Ca. Boarding sebentar lagi.” Deti menarikku dengan langkah semakin cepat.

“Kak, jadi kota majikannya jauh banget ya sampai harus naik pesawat lagi? Kakak gak nipu aku, kan? Kakak gak akan bawa aku ke Kamboja, kan?”

Deti ketawa pelan. “Ya enggak lah, Ca. Aku gak akan bawa kamu ke Kamboja. Kama bakal benar-benar kerja di China. Rumah majikan kamu itu di daerah pedesaan. Tapi tenang, rumah majikan kamu nyaman, kok. Orang China kalau tinggal di desa bukan berarti miskin.”

Aku hanya manggut-manggut. Lagipula aku baru pertama kali ke luar negeri, siapa aku bisa sok pintar soal geografi China?

Kami sampai di gate besar yang ada tulisan Mandarin panjang, diikuti angka dan kode penerbangan yang jujur, bikin aku pusing.

“Kak, itu bunyinya apa?” tanyaku polos.

“Itu nama kotanya.”

Aku percaya.

Iya, dong. Aku bahkan nggak tau cara baca hurufnya.

“Ayo, Ca. Ini pesawat kita.”

Aku masih deg-degan. “Kak, serius? Naik pesawat lagi?” Perasaanku jadi gak enak.

Deti merangkul bahuku sambil tersenyum. “Iya, Ca. Percaya sama aku. Setelah ini hidup kamu bakal berubah lebih baik.”

Begitu aku duduk di kursi pesawat, rasanya beda. Perutku mules, tangan dingin, jantung deg-degan, tapi bukan bahagia kayak sebelumnya. Melainkan ngerasa ada yang gak beres.

Aku ngecek tiket di layar kecil di depan kursi. Tulisan Mandarinnya bikin aku gak ngerti, tapi ada satu kata bahasa Inggris kecil yang kebaca.

“LHASA.”

Aku nggak tahu itu apa. Tapi entah kenapa, bikin aku merinding seitwil-itwil.

Lekas aku nengok ke Deti yang sibuk sama ponsel. “Kak? kita tuh sebenarnya mau ke mana, sih?”

Deti menurunkan ponsel, kepalanya mendongak pelan, aku tahu ada yang aneh dari cara dia narik napas.

“Ke tempat kerja kamu, Ca,” jawabnya.

“Rumah majikan Kak Deti juga di sana?”

“Iya.”

Namun aku jadi semakin curiga, soalnya bisa-bisanya kerja ke luar negri tanpa agen resmi. Duh, goblok banget aku ini.

“Kak?” Aku menggenggam lengannya. “Kamu jujur sama aku. Aku bakal dibawa buat kerja beneran, kan?”

Deti terdiam, matanya gak langsung menatapku. Dan itu semakin bikin aku panas dingin.

“Kak? Kamu gak nipu aku, kan?”

Deti akhirnya menoleh, memandangku lama. Tapi rautnya seperti menyimpan rahasia.

“Ca …,” suara Deti pelan.

“Hm?“ jawabku berdebar.

“Maafin aku, ya.”

Jantungku berhenti sepersekian detik. “Kenapa?”

“Aku … sebenarnya aku bawa kamu bukan buat kerja.”

Darahku rasanya turun ke kaki. “Maksudnya?”

“Aku nggak punya pilihan, Ca. Aku butuh uang. Aku mau kasih kamu ke seseorang.”

Tanganku meremas sabuk pengaman. “Kak? Kamu mau jual aku?” Debaran jantungku seperti akan pecah.

“Iya.”

Dunia rasanya berhenti. Suara penumpang, Pilot yang lagi ngomong safety instruction, dingin AC, dan semuanya mendadak hilang. Yang tersisa cuma suara jantungku sendiri yang memukul kuat.

“Kak? Kamu gila?!“ sentakku, sampai penumpang lain menoleh.

“Maaf.“ Deti merapatkan tangan tanda minta maaf.

“Udah sejauh ini, Kak! Aku udah percaya sama kamu!”

Deti cepat-cepat meraih tanganku. “Ca, aku tau. Aku tau aku salah, tapi udah terlanjur. Pesawat udah setengah jalan. Aku cuma bisa bilang, kamu gak bakal nyesel. Mereka keluarga baik-baik dan bakal meratukan kamu.”

Aku narik tanganku secepat mungkin. “Meratukan? Meratukan apa maksudnya?! Sebenarnya kamu mau kasih aku ke siapa?!“

“Ssstt, jangan berisik, Ca. Ini pesawat. Sebentar lagi kita sampai.”

Mataku panas, tenggorokanku tercekat. “YA MAU KE MANA?!“

“Ke Tibet.”

“Tibet,” suaraku merendah. “Di mana itu Tibet?”

“Kamu akan tahu karena sebentar lagi kita sampai. Di sana kamu akan menikah.”

Bagai tersambar petir di ubun-ubun. “Hah?”

“Iya, di sana kamu bakal nikah,” ulangnya.

“Kamu siapa nyuruh aku nikah?!” Mataku melotot. “Nikah sama siapa?!”

“Sama keluarga Tibet.”

“Keluarga? Maksudnya?”

“Kamu bakal dipersunting 3 saudara laki-laki sekaligus, Ca.”

Mataku membeliak. “Tiga laki-laki?”

“Ya.”

“Maksudmu aku bakal dijadiin istri rame-rame?”

“Iya, Ca. Tapi itu normal di sana. Namanya pernikahan persaudaraan Tibet. Budayanya memang gitu. Satu perempuan dinikahi beberapa kakak-beradik supaya harta keluarga gak pecah. Aku gak bohong, itu tradisi lama mereka.”

“Deti, itu bukan tradisi! Itu jual orang!”

“Aku tau, Ca. Maaf aku udah bawa kamu demi uang. Tapi aku gak punya pilihan. Aku punya hutang 2 milyar lebih. Kebetulan mereka lagi butuh perempuan muda dari luar negeri buat dinikahkan sama tiga anak laki-lakinya. Kalau aku nyari orang lain, bisa lama. Dan kamu, Ca. kamu polos banget. Kamu percaya sama aku.”

Aku ingin nangis mendengarnya. “Jadi karena aku tol ol, ya? Karena aku gampang percaya? Makanya kamu pilih aku?”

“Bukan gitu juga, Ca. Aku juga care sama kamu. Kamu teman kecilku. Justru karena itu aku yakin kamu bakal diperlakukan baik di sana. Keluarga itu beneran kaya. Kamu bakal hidup nyaman di sana. Mereka bukan orang jahat.”

Aku ingin teriak sekeras-kerasnya. Tapi hanya bisa menggenggam kursi kuat-kuat. “Kenapa gak bilang dari awal?!”

Deti mengelus lenganku, mencoba menenangkan. “Kalau aku bilang, kamu pasti gak mau. Kalau kamu gak mau. Aku bisa mati, Ca. Beneran mati.”

Aku menatapnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat Deti ketakutan. Tapi tetap saja, itu bukan alasan yang cukup untuk menghancurkan seseorang.

“Terus aku harus ngapain di sana? Jadi istri rumah tangga? Masak? Bersih-bersih?”

“Enggak. Mereka punya pembantu. Kamu cuma jadi istri 3 putranya aja.”

Aku menggertakkan gigi. “Harus disoghok 3 suami juga?”

Deti mengangguk.

“DETI!!!” sentakku jengkel.

Deti menggenggam tanganku erat. “Ca, aku berani sumpah. Mereka ganteng-ganteng semua. Kamu bakal hidup nyaman sama mereka. Kamu gak bakal hidup susah seperti dulu lagi.”

“Kalau gitu, kenapa gak kamu aja yang nikah sama mereka biar hidup enak! Kenapa harus aku, hah?!”

Deti menggeleng. “Aku gak tertarik, Ca. Aku takut fefekku jebol!”

Mataku membelalak. “Aku juga takut fefekku jebol, Det!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!