Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Manager divisi keluar dari ruangannya tepat saat keributan itu memuncak. Matanya menyapu seluruh ruangan, menatap Jovita, Adam, dan Arum dengan tegas.
Tanpa banyak basa-basi, ia memanggil ketiganya ke ruangannya. Suasana tegang begitu terasa saat mereka melangkah masuk, masing-masing dengan wajah tegang dan napas tertahan.
Di hadapan manager, mereka menerima teguran keras. Suaranya berat, jelas, menekankan bahwa tindakan mereka bukan hanya menciptakan kekacauan, tetapi juga mencoreng nama baik divisi.
Selain teguran, jelas ada sanksi yang menunggu, meski manager belum mengungkapkan secara rinci. Namun satu hal pasti: Jovita yang menjadi sasaran utama kemarahan manager.
“Kamu harusnya profesional. Jangan pernah membawa masalah pribadi ke kantor,” ucapnya tajam, matanya menatap Jovita tanpa kompromi.
“Ini juga alasan saya tidak suka kalau ada karyawan yang menjalin hubungan pribadi di tempat kerja,” tambahnya, nada suaranya berat dan penuh peringatan.
Jovita memang menyesali sedikit tindakannya. Biasanya ia tahu cara menahan emosi dan menyesuaikan diri dengan situasi, tapi apa yang dilihatnya benar-benar tak bisa ia toleransi. Adam telah menghancurkan kepercayaan dan komitmennya.
Begitu keluar dari ruangan manager, Jovita segera meraih tasnya, langkahnya tegas menuju pintu. Suasana hatinya sama sekali tidak memungkinkan untuk bekerja hari itu.
“Jo,” panggil Adam lirih, mencoba meraih tangannya, tapi Jovita hanya menatapnya dengan mata penuh ketajaman, tanpa memberi kesempatan sedikit pun.
Sementara Jovita melangkah meninggalkan kantor, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan yang menatapnya.
Adam berdiri di tempatnya, kemejanya basah dan bernoda kopi, rambut dan wajahnya lengket. Ia tampak canggung, tak tahu harus berbuat apa.
Arum mendecak kesal, lalu pergi ke toilet untuk menenangkan diri. Baru saja ia dipuji karena prototipe yang dicurinya, kini semuanya berantakan. Semua perhatian kini tertuju pada keributan yang dibuat Jovita, meninggalkan Arum dengan rasa kesal dan cemas yang campur aduk.
Di dalam toilet, Arum mencuci tangannya dengan gerakan kasar, air memercik ke mana-mana. Napasnya memburu, menahan ledakan emosi yang nyaris tak terbendung.
“Argh! Jovita, kenapa kamu selalu mengacau, hah?” geramnya dengan suara tertahan namun penuh tekanan. Tangannya mencengkeram sisi wastafel begitu kuat hingga ujung kukunya memutih, sementara matanya memerah, berkilat oleh amarah yang nyaris meledak.
Sementara itu, Sena duduk di mejanya, menundukkan kepala dan menghembuskan napas panjang berulang kali.
“Harusnya kutahan sampai pulang kerja… kenapa aku ngomong sekarang?” gumamnya, suaranya dipenuhi rasa sesal dan frustasi yang tak bisa ia sembunyikan.
Jovita melangkah dengan lesu, pandangannya kosong tak fokus ke mana pun. Ia tidak tahu harus ke mana, tak punya tujuan jelas, hanya membiarkan kakinya bergerak tanpa arah. Hatinya kacau, campur aduk antara marah, kecewa, dan sedih, tak tahu harus bersikap bagaimana sekarang.
Jovita baru saja melangkah melewati sebuah kafe di pinggir jalan, tapi dia sama sekali tak menyadari sudah sejauh apa kakinya melangkah.
Tiba-tiba, seseorang keluar dari kafe dan melewati jalannya. Baru beberapa langkah lewat, orang itu berhenti, melangkah mundur, dan berdiri tepat di hadapan Jovita. Ia memiringkan kepala sedikit, sejajar dengan wajah Jovita.
Jovita tersentak, tapi tatapannya tetap kosong dan datar.
“Ada apa denganmu?” tanya pria itu, Devan Manendra, teman SMA sekaligus rivalnya dulu. “Seperti orang abis kena tipu,” tambahnya, nada suaranya setengah meledek, menyelinap di antara keprihatinan dan ejekan.
Jovita mendesis malas, enggan menanggapi. Ia menggeser tubuhnya pelan dan melanjutkan langkahnya. Devan mengangkat alis, heran dengan sikapnya, lalu memutuskan mengikutinya.
“Karena kita bertemu sekarang, aku mau menagih hutangmu,” ocehnya sambil berjalan di sisi Jovita.
Jovita berhenti seketika, menoleh dengan pandangan heran. “Hutang?” pikirnya. “Sejak kapan aku berhutang sama dia?”
“Jangan bilang kamu lupa,” kata Devan, matanya meneliti wajah Jovita yang jelas tampak bingung. “Minggu lalu… saat reuni.”
Jovita memicingkan matanya, mencoba menelusuri ingatan tentang apa yang dimaksud Devan. Beberapa detik berlalu, lalu kilasan memori itu muncul, membuatnya terdiam sejenak.
Minggu lalu, mereka menghadiri reuni SMA. Jovita datang bersama Adam. Saat itu, Jovita memesan makanan dan berjanji pada Adam akan membayarnya, karena dialah yang mengajaknya ke sana. Namun ketika saatnya membayar, dompetnya tertinggal di rumah dan ponselnya mati, tak ada cara lain untuk membayar.
Devan baru saja tiba, dan Jovita segera menghentikannya, memohon untuk meminjamkan uang. Untungnya, Devan bersedia meski dengan sedikit paksaan. Masalah itu pun akhirnya terselesaikan dengan cepat.
“Jangan coba-coba kabur, tiga ratus ribu yang kamu pakai cuma buat makan sekali,” ujar Devan lagi, nada suaranya setengah serius, setengah meledek.
Jovita menghela napas panjang, malas. Suasana hatinya sudah buruk, dan kini harus berhadapan dengan orang ini… sambil ditagih hutang pula.
“Oke, nanti kubayar.” Suaranya pelan, datar, seolah semua energi di tubuhnya sudah habis. Tanpa menunggu tanggapan, ia melangkah lagi
.
Devan yakin ada sesuatu yang tidak beres. Sejauh yang ia tahu, Jovita yang ia kenal dulu bukan tipe yang diam dan murung seperti itu. Dia biasanya banyak bicara, cerewet, dan selalu punya komentar untuk segala hal. Tapi sekarang? Sungguh berbeda, seolah sebagian cahayanya padam.
“Dia kerasukan apa gimana? Kok diem banget…” gumamnya pelan, keningnya berkerut heran. Karena rasa penasaran yang makin besar, Devan akhirnya memutuskan untuk mengikutinya diam-diam dari belakang.
Langkah Jovita terus membawanya tanpa arah yang jelas, sampai akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang sepi. Ia menjatuhkan diri di bangku panjang, menatap kosong ke depan, seolah pikirannya melayang entah ke mana.
Tanpa suara, Devan ikut duduk di sampingnya. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Jovita menoleh kaget.
“Kenapa ngikutin?” tanyanya, nada suaranya terdengar kesal tapi lemah.
“Wajahmu aneh. Aku kira kamu kerasukan,” sahut Devan santai. Jovita hanya menghela napas panjang. Lelah.
Mereka terdiam cukup lama. Pandangannya Jovita kosong, sementara dadanya terasa sesak menahan sesuatu yang ingin pecah.
Devan, di sisi lain, hanya duduk diam. Sesekali matanya melirik ke arah Jovita, penuh rasa ingin tahu, tapi juga bingung harus berbuat apa. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi memilih menahan diri.
Sebenarnya Jovita sangat ingin menangis. Tenggorokannya tercekat, matanya panas. Namun gengsi menahannya. Sejak dulu, dia tidak pernah mau terlihat lemah di depan Devan. Apalagi sampai menangis. Karena yang dia tahu, lelaki itu pasti akan menertawakannya tanpa ampun.
Namun apa daya. Semua rasa kecewa, marah, dan sesak di dadanya seolah pecah bersamaan. Ia tak lagi sanggup menahannya. Isak kecil lolos begitu saja dari bibirnya, diikuti tetes air mata yang mengalir pelan di pipinya. Bahunya bergetar halus, menandakan betapa keras ia berusaha menahan tangis itu.
Devan yang duduk di sampingnya sontak menoleh. Alisnya berkerut, matanya melebar sedikit. Ia tidak menyangka, Jovita yang selama ini keras kepala dan penuh percaya diri, kini duduk di sebelahnya sambil menangis tanpa suara.
“Kenapa nangis tiba-tiba?” tanyanya bingung. Ia merendahkan sedikit wajahnya, mengintip Jovita dari samping.
Namun Jovita tetap diam, isakannya justru kian keras seiring luapan emosi yang menumpuk. Tangannya mengepal erat di pangkuannya, menahan semua yang ingin ia lepaskan. Devan masih bingung, tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi satu hal jelas: sesuatu yang berat telah menimpa Jovita.
Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan dan perlahan menepuk punggungnya, ragu tapi penuh perhatian.
Matahari kian terik, taman mulai sepi. Setelah tangisnya reda, Jovita mengangkat kepala, matanya masih sembap. Devan hanya diam di sampingnya, memilih tak bertanya apa pun. Akhirnya, tanpa banyak kata, ia menawarkan untuk mengantar Jovita pulang. Mereka pun berjalan pelan di bawah panas siang, dalam diam yang anehnya terasa tenang.
Setelah mengantar Jovita pulang, Devan kembali ke rutinitasnya. Ia menuju Pengadilan Negeri, tempatnya bertugas sebagai jaksa. Siang itu jadwal sidangnya padat. Begitu tiba di ruang sidang, ia mengenakan jubah hitam khas jaksa, wajahnya kembali serius. Ruangan sudah dipenuhi para pihak dan pengunjung, hanya tinggal menunggu hakim memasuki ruangan untuk memulai persidangan.
Devan menatap lurus ke depan, tapi pikirannya sama sekali tidak di ruang sidang itu. Pulpen di tangannya terus berputar, menjadi pelampiasan diam dari pikirannya yang gelisah. Ia masih memikirkan Jovita. Tangisnya, wajahnya yang terlihat begitu hancur. Ada perasaan asing yang mengganggu dadanya, campuran antara iba dan tak nyaman yang sulit dijelaskan.
Sesaat kemudian Devan menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikirannya sendiri. "Apa yang kupikirkan? Itu bukan urusanku," batinnya. Ia menegakkan tubuh, memperbaiki posisi duduknya. Tak lama, tiga orang majelis hakim memasuki ruangan. Seketika suasana menjadi hening. Devan pun menepikan semua pikirannya tentang Jovita, kembali menjadi sosok jaksa yang tegas dan fokus pada tugasnya.
Baik Devan maupun Jovita tidak pernah tahu, bahkan takkan pernah membayangkan, bahwa kejadian hari itu akan menjadi awal dari sesuatu yang mengubah hidup mereka berdua.
Langit mulai berwarna keemasan, matahari yang tadi terik kini meredup hangat. Jovita terbaring miring di atas kasur, matanya sembab dan merah. Pandangannya tertuju pada cincin tunangan di jemarinya. Saat itu, ponselnya berdering pelan. Dengan gerakan malas, ia merogoh tasnya, panggilan dari butik tempat ia dan Adam memesan baju pernikahan.
Mereka memberitahu jadwal fitting baju untuk hari Sabtu nanti. Jovita terdiam lama, pikirannya berputar kacau. Ia menatap cincin di jarinya sekali lagi, lalu dengan suara pelan namun tegas ia berkata, “Nggak perlu fitting.”
Pihak butik tentu saja terkejut mendengarnya. Mereka sempat menanyakan alasannya, karena fitting sangat penting agar gaun terlihat sempurna saat dipakai nanti.
Namun Jovita menjawab dengan suara parau, “Aku nggak bakal nikah sama dia. Jadi batalin aja gaunnya.”
Tanpa menunggu tanggapan, ia langsung menutup telepon dan terdiam, menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya.
Jovita terdiam cukup lama sebelum akhirnya bangkit dan mengambil tasnya. Namun langkahnya langsung terhenti di ambang pintu ketika melihat Adam sudah duduk di ruang tamu. Seorang wanita paruh baya, asisten rumah tangga, buru-buru menghampiri.
“Baru aja saya mau panggil Mbak,” bisiknya pelan, tapi cukup keras untuk terdengar oleh Adam.
Jovita menarik napas panjang, menahan kesal yang mulai mendidih. “Kita bicara di luar,” ucapnya datar, lalu melangkah lebih dulu keluar rumah, meninggalkan Adam yang segera menyusul di belakangnya.
Mereka berdiri di taman kecil depan rumah, dekat pagar yang diteduhi pohon mangga tua. Udara sore terasa berat. Jovita memalingkan wajah, enggan menatap Adam sedikit pun, rasa kecewanya terlalu dalam untuk memberi ruang pada tatapan itu.
“Jo, aku gak…”
“Masih punya muka dateng ke sini?” tanya Jovita, memotong ucapan Adam dengan cepat.
“Bukan begitu, aku cuman…”
“Cuman?” Jovita menatapnya tajam, lalu terkekeh getir. “Kita hampir mau nikah, tapi kamu melakukan itu dengan perempuan lain, dan kamu bilang ‘cuman’?”
Suara Jovita bergetar, tapi tatapannya tetap menusuk. Setiap kata terasa seperti pisau yang diarahkan tepat ke dada Adam.
Adam menundukkan kepala, tak sanggup menatap mata Jovita. Jauh di lubuk hatinya, penyesalan menggumpal. Ia memang mencintai Jovita, tapi juga terlalu lemah untuk melawan hasratnya sendiri. Ia selalu berusaha menghormatinya, tak pernah melewati batas, namun justru alasan itulah yang membuatnya mencari pelampiasan di tempat lain.
“Mari kita akhiri aja. Gak ada gunanya,” ucap Jovita datar, namun setiap katanya menusuk tajam.
Adam terdiam, matanya bergetar, napasnya tersendat di tenggorokan. Tanpa sedikit pun ragu, Jovita menatap lurus ke arahnya, lalu melepas cincin di jarinya dan melemparkannya tepat ke wajah Adam.
“Aku udah bilang ke butik buat batalin baju pernikahan kita. Kamu urus sisanya,” lanjutnya dingin.
Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari arah pagar. Spontan Jovita dan Adam menoleh bersamaan. Napas keduanya seolah tertahan saat melihat sosok berdiri di sana, menatap mereka dengan wajah tak terbaca.
To be continued