Luna tak pernah bermimpi bekerja di dunia hiburan, ia dipaksa pamannya menjadi manajer di perusahaan entertainment ternama.
Ia berusaha menjalani hidup dengan hati-hati, menaati aturan terpenting dalam kontraknya. Larangan menjalin hubungan dengan artis.
Namun segalanya berubah saat ia bertemu Elio, sang visual boy group yang memesona tapi kesepian.
Perlahan, Luna terjebak dalam perasaan yang justru menghidupkan kembali kutukan keluarganya. Kejadian aneh mulai menimpa Elio, seolah cinta mereka memanggil nasib buruk.
Di saat yang sama, Rey teman grup Elio juga diam-diam mencintai Luna. Ia justru membawa keberuntungan bagi gadis itu.
Antara cinta yang terlarang dan takdir yang mengutuknya, Luna harus memilih melawan kutukan atau
menyelamatkan orang yang ia cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawaran Pamanku
Besoknya, Gunawan menjemput Luna. Sepanjang perjalanan, gadis itu hanya diam, pandangannya tertuju pada jendela luar.
Gunawan dan istrinya sesekali meliriknya melalui spion, memperhatikan keheningan di bangku belakang.
Sejak kematian ayahnya, Luna yang dulu periang kini berubah pendiam. Kekosongan itu membuat siapa pun di sekitarnya khawatir, terlebih ibunya.
Saat mobil berhenti di lampu merah, gedung milik pamannya mulai terlihat dari kejauhan menjulang mewah di pusat kota.
Sekilas, mata Luna menangkap layar besar di tepi jalan. Iklan sebuah produk sedang menampilkan beberapa pria muda, wajah-wajah khas idola dari sebuah group boyband.
Dan di antara mereka, pandangannya terpaku pada satu sosok. Laki-laki berambut perak panjang itu berdiri paling menonjol, rambutnya di ikat setengah ke belakang, dengan beberapa helai terjatuh bebas membingkai wajahnya.
Posturnya tinggi, wajahnya tampan sekaligus unik seakan seorang pangeran yang keluar dari dunia lain.
Luna sempat tertegun, seolah waktu berhenti. Namun suara klakson dari mobil lain membuatnya tersentak.
Mobil pun kembali melaju. Ia buru-buru menoleh lagi ke layar itu, tapi iklan sudah berganti dengan tampilan berbeda.
Sesampainya di gedung agensi, Luna nyaris tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Interiornya elegan, rapi, dan modern.
Di sepanjang koridor menuju ruangan pamannya, Luna tak henti-hentinya dibuat kagum. Dindingnya dipenuhi poster-poster artis dunia yang pernah bekerja sama dengan agensi itu.
Senyum kecil tersungging di bibirnya saat matanya berhenti pada sebuah poster lama yaitu gambar dirinya sendiri.
Itu potret saat ia masih remaja sebagai model majalah fashion, dengan dandanan bak peri. Ada sinar polos namun anggun yang terpancar dari wajahnya.
“Paman masih menyimpan ini?” tanyanya pelan dengan senyumnya samar, bercampur malu dan nostalgia.
Gunawan mengangguk, “Tentu saja. Ini berharga bagi kami. Sayang sekali, itu jadi kali pertama sekaligus terakhir kau menjadi model. Apa kau berniat melanjutkan kembali?”
Luna menggeleng mantap. “ Luna tidak tertarik,” jawabnya dengan senyum tipis.
Gunawan sempat menyapa seorang staf, menanyakan keberadaan anggota boy grup yang tadi disebut. Sayangnya, grup itu sedang ada kegiatan di luar.
Akhirnya, setelah berkeliling, mereka memutuskan untuk pulang. Namun baru saja mereka hendak masuk ke mobil, sebuah minibus berhenti tak jauh dari sana.
Beberapa lelaki turun satu per satu, menunduk sopan sambil menyapa mereka. Gunawan membalas ramah. Lalu, seseorang muncul dari pintu mobil, sosok yang membuat Luna tertegun.
Itu dia. Laki-laki tampan, sosok yang dilihat Luna di layar iklan raksasa tadi.
Seakan waktu berhenti, tatapan mereka bertemu. Luna tak bisa memalingkan mata. Dan di sisi lain, laki-laki itu pun menatapnya dengan sorot yang sama.
Lelaki itu tersenyum tipis, menunduk memberi salam. Luna yang tersentak buru-buru mengalihkan pandangan, pipinya terasa panas.
“Itulah mereka yang Paman bicarakan semalam. Mau berbincang sebentar?” tanya Gunawan, memberi kesempatan.
Luna cepat-cepat menggeleng.
“Tidak usah. Cukup tahu saja,” jawabnya dingin.
Ada nada cuek yang sengaja ia selipkan untuk menyembunyikan gejolak di dadanya.
Mereka segera masuk ke mobil, meninggalkan halaman gedung AXL Entertainment itu. Namun dari balik kaca mobil, Luna mencoba melirik sekali lagi. Tatapan laki-laki itu masih terarah pada mobil mereka.
Listi melirik keponakannya. “Bagaimana menurutmu, Luna?” tanyanya penuh selidik. Luna hanya tersenyum samar.
Gunawan ikut menambahkan, “Nama grup mereka Neonix. Kau masih ingat Adrian? Dia leadernya.”
Luna menoleh, matanya berkedip mencoba mengingat. Adrian anak kecil yang dulu ikut training di agensi, datang dari luar negeri. Waktu itu usianya baru sepuluh tahun, paling muda di antara trainee lainnya.
Ia sering dibawa pulang oleh Gunawan, jadi teman bermain Luna dan sepupunya, Axiel.
“Mereka beranggotakan delapan orang,” Listi menimpali, seolah tahu titik lemah keponakannya. Ia sangat hafal Luna menyukai angka itu.
“Angka keberuntungan,” gumam Luna sambil tersenyum kecil. Listi menoleh pada suaminya, keduanya saling pandang penuh harap.
“Luna mau pikir-pikir dulu,” katanya menutup percakapan.
“Baiklah. Kami tunggu sampai besok,” jawab Gunawan, penuh kesabaran.