Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. RUMAH BORDIL
Rindi membuka pintu dengan langkah gemetar. Pandangannya masih kabur oleh sisa air mata yang belum sepenuhnya kering.
Di depan rumah, berdiri Pak Warto bersama dua pria berpakaian rapi dan beberapa warga kampung.
Wajah mereka tampak dingin, tanpa sedikit pun ekspresi simpati.
“Kami datang bukan untuk membuat masalah,” ujar Pak Warto dengan nada berat.
“Tapi rumah ini akan disita oleh pihak bank. Hutang almarhum suamimu belum juga dilunasi.”
Rindi tertegun. Wajahnya pucat seketika.
“Disita? Tapi, Pak… ini satu-satunya tempat yang aku punya. Di sinilah aku dan suamiku tinggal… di sini pula dia menghembuskan napas terakhirnya,” ucap Rindi lirih, suaranya bergetar menahan tangis.
Salah satu pria dari pihak bank menunduk sebentar, lalu berkata datar,
“Kami hanya menjalankan perintah, Bu. Hutangnya sudah menunggak hampir dua tahun. Kami sebenarnya sudah memberi waktu cukup lama, tapi tidak ada pembayaran sama sekali. Selama ini kami sengaja tidak menagih, karena tahu almarhum masih dalam kondisi sakit.”
Rindi menggenggam ujung bajunya erat-erat. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Uang kami… semua sudah habis untuk sekolah anak-anak kami di kota. Suami saya meninggal tanpa sempat melunasinya. Tolong… beri saya waktu, Pak. Saya akan mencari anak-anak saya, mungkin mereka bisa membantu membayar…”
Pria itu hanya menggeleng.
“Kami akan datang lagi 1 bulan ke depan. Tolong kosongkan rumah ini sebelum waktu itu tiba.”
Suara langkah mereka menjauh, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Rindi terjatuh di depan pintu, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Mas… bahkan rumah kita pun akan pergi, seperti kamu…” isaknya parau.
Bu Tuti yang datang tergesa langsung memeluknya.
“Sudah, Nak… sabar. Jangan menyerah. Mungkin ini saatnya kamu pergi ke kota. Temui Rudy dan Melda. Katakan pada mereka, waktunya untuk membalas pengorbanan kalian selama ini.”
Rindi mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, tapi ada sedikit tekad di dalamnya.
“Ya, Bu… aku akan ke kota. Aku harus menemukan mereka, sebelum segalanya benar-benar hilang.”
Siang itu, Rindi berkemas. Ia membawa hanya pakaian secukupnya, foto keluarga, dan sedikit uang sisa penjualan hasil kebun.
Setiap barang yang dimasukkannya ke dalam tas seakan menjadi potongan kenangan — tawa Tony, harapan untuk anak-anak, dan semua perjuangan yang kini terasa hampir sia-sia.
Rindi tak lupa membawa kue kesukaan Rudy dan Melda, berharap kedua anaknya itu akan tersenyum bahagia saat menerima oleh-oleh buatannya.
Sebelum menutup pintu Rindi menatap rumah sederhana yang menyimpan beribu kenangan bersama suaminya.
“Mas… jaga aku dari atas sana. Hari aku akan ke kota. Aku akan menemukan anak-anak kita…”
Angin siang berhembus lembut, seolah menjawab doanya. Bu Tuti mengeluarkan beberapa uang kertas dari balik dasternya dan memasukan kedalam tas Rindi.
Sepanjang perjalanan, banyak pasang mata yang memandang ke arah Rindi — sebagian menatap iba, namun tak sedikit pula yang memandangnya dengan tatapan jijik dan penuh prasangka.
“Pergi, dan jangan pernah kembali lagi! Takutnya, janda sepertimu malah menggoda suami kami!” teriak Ibu Wati dengan suara nyaring, seolah ingin memastikan seluruh warga mendengarnya.
“Betul! Di kota juga banyak pria hidung belang yang suka pada janda seperti kamu!” sahut seorang perempuan lain, menimpali dengan nada sinis.
Bu Tuti mengelus punggung Rindi, yang hanya bisa menunduk diam menahan luka di hati.
“Sabarlah, Nak… jangan dengarkan ucapan mereka,” bisiknya lembut.
Setibanya di jalan utama, sebuah bus berhenti di depan mereka. Bu Tuti memeluk Rindi erat-erat, air mata yang sejak kemarin tertahan akhirnya tumpah juga.
“Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan lupa kabari Ibu kalau sudah sampai dI kota. Ibu harap, kamu bisa menemukan kebahagiaanmu di sana… setelah bertemu Rudy dan Melda,” ucapnya dengan suara bergetar.
Rindi mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Ia menaiki bus dengan langkah berat.
Bus perlahan melaju, meninggalkan Bu Tuti yang masih berdiri di pinggir jalan, menatap kepergian Rindi dengan hati yang berat. Sambil melambaikan tangan.
Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas jam hingga akhirnya Rindi tiba di sebuah terminal besar di kota.
Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tempat yang selama ini hanya ia dengar dari cerita orang-orang. Perasaannya campur aduk — antara takut, cemas.
Seorang pria bertubuh tegap menghampiri Rindi dan menawarkannya tumpangan. Dengan cepat, Rindi menggeleng halus sambil tersenyum kikuk.
“Terima kasih, Pak… keluarga saya sebentar lagi datang menjemput,” ucapnya pelan, berusaha menutupi rasa canggung dan takut.
Pria itu pun berlalu tanpa banyak bicara. Rindi menghela napas lega sambil mengelus dadanya, mencoba menenangkan diri.
Ia kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel tua yang mulai retak di ujung layar. Tangannya bergetar saat menekan nama Rudy di daftar kontak. Panggilan berdering lama, namun tak juga diangkat.
Rindi menarik napas panjang, lalu mencoba menghubungi Melda. Belum sempat berdering lama, panggilan itu malah langsung ditolak.
Rindi mengeluarkan selembar kertas kecil dari dalam tasnya — tulisannya sudah hampir pudar dimakan waktu. Alamat yang pernah dikirimkan Rudy beberapa tahun lalu.
Rindi berjalan keluar dari terminal. Sama seperti sebelumnya, beberapa orang menawarkan tumpangan, namun ia menolak dengan halus. Ia memilih berjalan kaki, meski panas dan debu jalanan mulai menyelimuti tubuhnya.
Hampir tiga puluh menit ia melangkah tanpa arah, hingga akhirnya berhenti di sebuah kedai kecil di pinggir jalan. Ia memesan segelas es teh, mencoba menenangkan diri di tengah lelah dan kebingungan.
Sambil menyeruput perlahan, Rindi menyerahkan kertas kecil itu pada penjaga kedai.
“Pak, maaf… apa Bapak tahu alamat ini? Ini alamat yang dikirim oleh putra saya,” ucap Rindi dengan suara bergetar.
Penjaga kedai itu menatap kertas tersebut lama, lalu menggeleng pelan.
“Maaf, Bu. Alamat ini tidak pernah saya dengar. Saya sudah lama tinggal di sini, jadi mustahil kalau saya tidak tahu wilayah sekitar.”
Rindi terpaku. Hatinya berkecamuk.
Apa mungkin Rudy mengirim alamat palsu? Tidak mungkin… Rudy bukan anak seperti itu, pikirnya sambil menatap kosong kertas yang mulai lembap oleh keringat tangannya.
Ia menarik napas panjang, menatap ke kejauhan. Harapannya seakan sirna. Lama ia terdiam, hingga tiba-tiba matanya berbinar — seolah sebuah harapan terlintas di kepalanya.
Dengan tergesa, Rindi mengeluarkan ponselnya dan mencari satu nama di daftar kontak.
“Sri… mungkin hanya dia yang bisa menolongku sekarang,” gumamnya lirih, sebelum akhirnya menekan tombol panggil dengan tangan gemetar.
Nada sambung terdengar lama hingga akhirnya seseorang menjawab dari seberang.
“Ada apa kau meneleponku?” suara seorang perempuan terdengar ketus di ujung sana.
Rindi menarik napas pelan dan mulai menceritakan kondisinya dengan terbata-bata.
Obrolan itu berlangsung lama dan serius, hingga akhirnya Rindi menutup sambungan telepon dengan wajah yang sulit ditebak, antara lega dan cemas.
Tak lama kemudian, sebuah mobil putih berhenti di depan kedai. Dari dalam mobil, seseorang melambaikan tangan memanggil Rindi. Ia segera membayar es pesanannya, lalu berlari kecil menuju mobil itu.
Begitu pintu mobil dibuka, aroma menyengat langsung menyeruak — campuran alkohol dan parfum yang menusuk hidung. Beberapa botol minuman keras tergeletak di lantai mobil.
“Cepat masuk!” bentak Sri dari balik kemudi.
Rindi hanya mengangguk pelan dan masuk tanpa banyak bicara. Sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Hanya suara mesin mobil dan detak jantung Rindi yang berpacu dengan rasa takut.
Akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan lampu warna-warni berkelap-kelip seperti kafe malam. Musik samar terdengar dari dalam.
“Turun,” perintah Sri dingin.
Rindi menuruti, menatap rumah itu dengan tatapan bingung dan cemas. Ia mengikuti Sri dari belakang. Begitu pintu terbuka, pemandangan di dalam membuat dadanya sesak.
Perempuan berpakaian minim tampak duduk di pangkuan pria-pria yang tertawa keras sambil menenggak minuman. Beberapa pasang mata langsung tertuju padanya — memandang penuh selidik, bahkan ada yang menatap dengan tatapan menggoda.
Seorang pria berjas berdiri dan langsung menghampiri Rindi.
"Malam ini dia milikku."