NovelToon NovelToon
Under The Same Sky

Under The Same Sky

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Playboy / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Model / Mantan / Orang Disabilitas
Popularitas:680
Nilai: 5
Nama Author: CHRESTEA

Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.

Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Work day 1

Luna mengeliatkan tubuhnya saat alarm di ponselnya berbunyi. Ini kali pertama setelah berbulan-bulan, dia tidur dengan rasa penuh ancaman. Tapi hari ini semua terasa berbeda.

Luna mematikan alarm, lalu bangun perlahan. Dia berjalan keluar kamar, matanya sibuk mencari Damian. Sepertinya pria itu belum pulang dari rumah sakit.

Luna berjalan menuju dapur, dapur di rumah itu tidak sebesar di apartemennya. Tapi terasa nyaman dan bersih. Semua tertata rapi,bahkan jauh rapi di banding dapurnya dulu.

Luna membuka kulkas untuk mencari bahan makanan. Kulkas itu tidak terlalu besar, tapi Damian mengisinya dengan sempurna. Banyak buah, sayur bahkan daging tersimpan rapi disana.

"Wow, sepertinya dia suka memasak. Kulkasnya penuh."

Saat Luna tengah memilih-milih bahan, suara kunci pintu terbuka. "Sudah bangun." ucap Damian yang baru pulang.

"Iya kak. Eh,kak boleh aku pakai bahan-bahan di kulkas?" tanya Luna.

"Pakai saja. Aku membelinya hanya untuk jaga-jaga saja. Sebenarnya aku tidak bisa memasak, biasa aku meminta para perawat senior memasak."

"Ooh..aku pikir kak Dami."

"Tentu saja bukan. Kalau kamu mau pakai, silakan."

"Baik kak."

"Kalau begitu aku keatas ya, aku ngantuk sekali."

Damian kemudian berjalan naik lantai 2. Sementara Luna, masih sibuk di dapur membuat sarapan. Aroma harum dari masakan Luna, menyebar cepat ke seluruh ruangan.

Luna tersenyum puas saat melihat hasil masakannya. Meskipun sudah lama tidak memasak, ilmu yang mamanya berikan masih tersimpan dengan baik.

Dia meletakan sandwich buatannya di atas meja, memotongnya menjadi empat bagian. Tak lupa membuat dia gelas kopi. Setah menyantap sarapannya, Luna mulai bersiap-siap.

Jam sudah menunjukan pukul 8.30 pagi. Luna buru-buru mengambil Sandwich buatannya, memasukan kedalam kotak makan. Membawanya ke rumah sakit.

Hari itu Luna yang bersemangat, lupa tidak memakai masker dan kacamata. Untung saja orang-orang disana tidak terlalu menggenalnya. Sedangkan untuk para perawat mereka hanya berani tersenyum kecil untuk menyapa.

Rupanya semalam, Damian sudah memberi tahu semua perawat, untuk tidak heboh saat melihat Luna. Karena, Luna sedang bekerja.

"Selamat lagi." sapa Luna sopan.

"Selamat lagi." jawab beberapa perawat di resepsionis.

"Semoga anda betah membantu kita disini. Orion cukup sulit untuk di tangani."

"Iya, terimakasih."

Luna merapikan rambutnya, mengenakan sweater abu-abu dan celana hitam panjang. Tidak glamor, tapi cukup rapi untuk seseorang yang mulai hidup baru.

“Pagi,” sapa Luna pelan.

Orion yang tengah terbaring di atas kasur dan menoleh. "Kamu benar-benar datang lagi."

Luna tersenyum kecil. Dia berjalan masuk, mengambil kursk duduk tak jauh dari kasur Orion.

"Kamu sudah makan?" tanya Luna pada Orion.

Pria itu menggeleng, "Aku gak laper ."

"Yah.." seru Luna dengan wajah sedikit kecewa.

Orion yang melihatnya, menatapnya tajam. "Kenapa? Kenapa responmu begitu?"

"Padahal aku bawain kamu Sandwich, tapi kamu gak mau." ucap Luna.

"Kamu bahkan gak kasih ke aku."

"Oh iya, belum ya. Maaf aku salah."

Berarti tempat ini cocok buatmu,” ucap Damian sambil menutup map. “Ayo, kita jalan. Orion nggak suka kalau aku telat.”

Luna tersenyum tipis. “Kedengarannya kamu takut sama pasienmu sendiri.”

“Nggak takut, cuma realistis,” jawab Damian santai sambil mengambil jaketnya.

Jalan setapak dari tempat tinggal menuju rumah sakit masih basah karena hujan semalam.

Udara pagi terasa segar, dan dari kejauhan terdengar suara kendaraan kota yang mulai ramai.

“Kalau kamu capek, bilang aja,” kata Damian di tengah langkah.

“Aku kuat kok,” balas Luna ringan. “Aku udah terbiasa syuting seharian tanpa tidur.”

Damian meliriknya sekilas. “Aku lupa kamu dulu artis besar.”

Luna tertawa pendek. “Dulu, ya.”

“Masih sampai sekarang.”

“Nggak juga. Sekarang cuma seseorang yang lagi belajar mulai dari awal.”

Damian menatapnya lama sebelum berkata, “Kadang, orang paling kuat adalah mereka yang berani mulai dari nol.”

Mereka tiba di lantai tiga — ruang rehabilitasi pribadi Orion Delvano.

Damian membuka pintu pelan, tapi tetap mengetuk dua kali.

“Pagi,” sapanya.

Orion hanya melirik sekilas. “Kalian telat.”

Damian tersenyum tipis. “Dua menit bukan telat.”

“Untukku itu banyak.”

“Untukku, itu pertanda kamu masih bisa ngeluh,” jawab Damian ringan sambil menulis sesuatu di berkas.

Luna berdiri di belakang Damian, menahan senyum. Orion sekilas menatapnya, lalu berpaling lagi.

“Kamu datang lagi,” katanya datar.

“Iya,” jawab Luna singkat.

“Kamu nggak takut bosan?”

“Belum,” jawab Luna, lalu menaruh termos kopi di meja kecil di samping kursi roda Orion.

“Aku nggak minum kopi.”

“Bukan buat kamu,” balas Luna cepat. “Buat aku.”

Damian hampir tertawa melihat ekspresi Orion yang tak menyangka dapat jawaban seperti itu.

“Kalian berdua kayak adu dingin,” gumam Damian pelan. “Tapi menarik.”

Sesi fisioterapi hari itu berjalan lebih baik dari biasanya.

Orion masih keras kepala, tapi setidaknya tidak menolak untuk digerakkan.

Luna duduk di kursinya, memperhatikan dari jauh. Sesekali ia bicara hal ringan — tentang cuaca, tentang burung yang ia lihat di taman belakang.

Orion tidak menanggapi, tapi Damian memperhatikan sesuatu: setiap kali Luna bicara, Orion berhenti menghindari pandangan orang.

Ia tidak sadar kalau tubuhnya sedikit lebih rileks.

“Cukup untuk hari ini,” ucap Damian setelah hampir satu jam.

Ia menatap Luna. “Bisa bantu antar Orion ke taman belakang? Dia butuh udara segar.”

Orion langsung menatapnya sinis. “Aku bisa sendiri.”

“Tentu bisa,” balas Damian santai. “Tapi lebih cepat kalau ada yang bantu dorong.”

Luna tanpa bicara langsung berdiri dan mengambil pegangan kursi roda Orion.

“Ayo, aku nggak gigit kok.”

Orion mendengus, tapi tidak melawan.

Di taman belakang rumah sakit, udara terasa lebih sejuk.

Pohon maple berbaris rapi di sisi jalur batu, dan angin tipis membawa aroma tanah basah.

“Tempat ini tenang banget,” kata Luna sambil mendorong kursi Orion pelan.

“Tenang itu bukan berarti damai,” jawab Orion tanpa menoleh.

“Iya, tapi kalau kamu berhenti lari dari dunia, mungkin kamu bisa dengar hal-hal kecil yang damai di dalamnya.”

Orion menoleh pelan ke arah Luna, ekspresinya datar tapi matanya sedikit berubah — lembut, hanya sesaat.

“Kamu selalu ngomong kayak gitu ke semua orang?”

“Nggak. Hanya ke orang yang aku pikir bisa dengar.”

Damian memperhatikan dari jauh, lewat jendela ruang dokter di lantai dua.

Dua orang itu duduk diam di bawah pohon, tak banyak bicara, tapi suasananya berbeda.

Tidak lagi seperti pasien dan pengunjung, tapi seperti dua orang yang — tanpa sadar — mulai saling mengisi kesunyian satu sama lain.

Saat mereka kembali ke kamar sore itu, Orion menatap Luna sekilas sebelum dia keluar.

“Terima kasih.”

Suara itu pelan, hampir tak terdengar. Tapi bagi Luna, itu cukup untuk membuat dadanya terasa hangat.

“Sama-sama,” jawabnya lembut.

Begitu pintu tertutup, Orion bersandar di kursinya.

Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa lelah — tapi bukan karena sakit. Karena ada sesuatu yang berubah, meski ia belum tahu apa.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!