Kisah menakjubkan tentang perpindahan Jiwa seorang Ratu Mafia ke dalam Tubuh seorang Gadis Cupu yang diabaikan dan direndahkan oleh keluarganya.
Gadis Cupu itu terus-menerus dianggap tidak berarti oleh keluarganya.
Namun semua hinaan dan pandangan meremehkan itu tak pernah mempu mematahkan semangat nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrinsesAna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Setelah mereka pergi, Ara kembali duduk dan melihat Manda yang masih dalam pelukan Nabila.
"Man, lo nggak apa-apa kan?" tanya Ara cemas, merasa khawatir. Manda pun menoleh ke arah Ara sambil tersenyum.
"Gue nggak apa-apa kok. Makasih ya udah belain gue," ucap Manda lembut, menatap Ara.
"Gue yang harusnya makasih. Lo udah belain gue, tapi malah jadi ditampar sama itu bocah," balas Ara dengan nada penuh rasa bersalah. Ia menatap Manda yang ternyata bibirnya robek, mengeluarkan darah. Melihat itu, emosi Ara kembali memuncak—dia paling nggak suka melihat orang terdekatnya terluka.
Ara langsung berdiri dan berjalan cepat menuju meja kelompok geng Bruiser dengan amarah yang meluap. Teman-teman lain yang sadar akan kemarahannya buru-buru menyusul. Ara sudah sampai di meja geng Bruiser dan segera menarik kerah baju Arga, yang saat itu sedang mengelap darah di hidungnya. Arga pun terkejut dan terlihat ketakutan menghadapi amarah Ara.
"Brengsek! Gara-gara lo, sahabat gue terluka!" geram Ara dengan suara penuh kemarahan, tangannya masih mencengkeram kerah baju Arga.
Vania, ingin mencari perhatian, maju ke depan dan memegang tangan Ara sambil menangis tersedu-sedu.
"Kak, hiks... hiks... jangan sakiti Bang Arga. Maafin Nia yang udah bikin Kakak marah," ujar Vania dengan suara terisak. Tangannya gemetar memegang tangan Ara, menampilkan ekspresi menyedihkan yang sengaja diperlihatkan.
"Oh, ya? Atau lo aja yang gantiin abang lo ini? Gimana, hemm?" balas Ara dingin sambil menatap Vania dengan seringai menyerupai iblis.
Vania menggigil ketakutan melihat seringai Ara.
Plak.
Gavin menampar wajah Ara hingga kepalanya terputar ke samping dan pegangannya pada kerah baju Arga terlepas.
"Apa lagi sekarang, ha? Belum puas lo nyakitin adik lo sendiri, terus sekarang kakak lo juga lo ganggu, ha?" teriak Gavin dengan nada penuh amarah kepada Ara.
"Kurang ajar! Berani lo nampar adik gue, ha?!" seru Darren, emosinya tersulut melihat Ara diperlakukan seperti itu oleh Gavin.
Bug!
Bug!
Bug!
Tanpa memberi Gavin kesempatan untuk membalas, Darren memukulnya secara brutal hingga Gavin terduduk tak berdaya di lantai.
"Berani-beraninya kalian sentuh adik gue, bahkan ujung kukunya pun, gue bakal bunuh kalian! Gue nggak peduli kamu kakak kandung Ara sekalipun. Ngerti?!" ucap Darren dengan napasnya yang memburu, dadanya naik turun karena emosi.
Ara hanya berdiri kaku dengan tubuh berguncang, air matanya terus mengalir. "Puas kakak mukulin Bang Arga sama Bang Gavin? Hiks… Kenapa kakak tega sama kami? Kami ini keluarga kakak… hiks hiks…" rintih Ara dengan suara bergetar.
Saat Darren hendak menarik Ara menjauh, Vania sengaja menjatuhkan dirinya seolah didorong oleh Darren.
Darren berbalik dan memandang tajam ke arah Vania. "Gue peringatkan lo ya, perempuan jalang. Jangan pernah sentuh atau ganggu adik gue lagi, atau gue bakal bunuh lo. Vania Clarista Davinchi," bisiknya dingin tepat di telinga Vania sebelum membalikkan badannya.
Ucapan itu membuat wajah Vania seketika pucat pasi karena ketakutan.
Darren lalu menggendong Ara seperti gaya koala dan melangkah keluar dari kantin, diikuti oleh sahabat-sahabat Ara.
"Makanya jangan macam-macam. Gue udah bilang, lo belum tau siapa sebenarnya Ara," ucap Jessika sambil melirik sinis Vania dan teman-temannya sebelum berjalan pergi mengejar Darren bersama Manda. Bahkan Manda sempat menatap Vania penuh cibiran.
Vania masih terduduk di tempatnya, wajahnya tetap pucat karena terus memikirkan ancaman Darren barusan.
"Sial… apa mereka sudah tahu rahasia gue? Ini nggak bisa dibiarkan. Gue harus bicara sama Mama tentang semua ini," gumam Vania dalam hati dengan ketegangan yang meliputinya.
Sementara itu, Gio bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kantin. Dia merasa marah karena Gavin berani menampar Ara. Bukan karena dia tidak peduli dengan sahabatnya, tetapi mereka memang salah karena sudah mengganggu ketenangan Ara.
Gavin dan Arga kemudian dibantu oleh Lucas, Alvin, dan Ryan untuk dibawa ke UKS agar luka-luka mereka bisa diobati.
Di sisi lain, Ara dan sahabat-sahabatnya sedang duduk di atap sekolah. Hari itu mereka membolos karena malas masuk kelas, apalagi mood Ara sedang hancur.
"Man, obatin dulu luka di bibir lo sama Jessika," ujar Azka sambil menyerahkan kotak P3K kepada Jessika.
"Iya, sini gue obatin," kata Jessika sambil mempersiapkan perban, sementara Manda bergeser untuk duduk lebih dekat dengannya.
"Is, pelan-pelan dong, Jess. Perih banget tahu," keluh Manda sambil meringis menahan sakit.
"Udah ini pelan banget, Man. Sabar bentar," jawab Jessika tanpa menghentikan tangannya yang terampil mengobati luka Manda.
"Tadi aja gaya sok kuat bilang 'gak apa-apa', sekarang malah ngeluh. Hahaha," seloroh El sambil tertawa menggoda Manda.
"Sialan lo, El!" balas Manda sambil menatap tajam ke arah El.
"Oh iya, tadi Bang Darren bisikin apa ke Vania sampai dia pucat begitu?" tanya Manda setelah selesai diobati oleh Jessika.
Sementara itu, Darren sedang mengobati luka Ara.
"Iya Bang, abang bisikin apa ke Vania tadi? Aku juga penasaran," tanya Ara sambil melirik ke Darren.
"Nanti abang jelasin ya," ujar Darren singkat setelah selesai merawat luka Ara.
"Varo, jelasin soal yang kemarin kita bahas," kata Darren, memberikan kode pada Varo untuk menggantikan dirinya menjelaskan.
Darren memang dikenal malas berbicara panjang lebar, sehingga lebih memilih menyerahkan tugas tersebut kepada Varo.
"Ckckck, tadi katanya mau jelasin sendiri, sekarang malah nyuruh Varo," cibir Ara sambil mendecak kesal. Darren hanya terkekeh kecil lalu mengusap kepala Ara perlahan.
Varo menerima kode dari Darren dan mulai berbicara, "Jadi gini, kemarin lo kan minta gue buat menyelidiki soal adik pungut lo itu. Gue sudah cari semua informasi tentang dia."
Varo melanjutkan, "Ternyata dia masih punya orang tua. Ayahnya memang sudah meninggal, tapi ibunya masih hidup. Vania ini berasal dari keluarga Davinchi. Dari hasil penyelidikan gue, ternyata ibu Vania adalah sahabat orang tua lo, Ra. Jadi gini, dulu ibunya Vania itu suka sama ayah lo. Tapi ayah lo malah nikah sama bunda lo. Setelah kejadian itu, si ibu Vania ini lama gak ada kabarnya, sampai akhirnya gue tahu kalau dia menikah dengan Devan Davinchi. Tapi gak lama setelah itu, Devan meninggal karena kecelakaan."
Sambil menarik napas sebentar, Varo melanjutkan penjelasannya, "Banyak yang bilang mereka belum punya anak. Tapi ternyata Vania itu adalah anak mereka. Kayaknya keluarga mereka udah ngerencanain supaya Vania bisa masuk ke keluarga lo, Ra. Tapi sampai sekarang gue belum nemu info soal apa motif di balik rencana itu."
Semua yang mendengar penjelasan dari Varo tampak terkejut, mencoba mencerna informasi tersebut.
"Oh iya, satu lagi," sambung Varo dengan nada serius. "Gue juga dapat info kalau Vania sering datang ke club Starlight. Dan gak cuma itu, dia juga jadi simpenan pengusaha yang udah punya istri sama anak."
Mendengar itu, ekspresi Jessika dan Nabila berubah menjadi senyum sinis. Penjelasan tersebut hanya memperkuat dugaan yang selama ini mereka miliki.
"Gila banget sih, udah punya keluarga sendiri, tapi masih mau masuk ke keluarga orang lain," ujar Manda dengan nada kesal terhadap Vania.
"Apalagi jadi simpenan suami orang, lagaknya sok polos. Eh, ternyata aslinya licik juga," timpal Jessika sambil menyunggingkan senyum sinis.
"Bang, bisa nggak kita minta salah satu orang mafios buat ikutin Vania? Kayaknya dia bakal ke rumah ibunya bang, soalnya tadi dia terlihat seperti dapat firasat kalau kita tahu sesuatu," kata Ara yang sebelumnya hanya diam setelah mendengarkan penjelasan Varo.
"Oke, nanti abang atur," balas Darren singkat.
"Tunggu, maksudnya apa sih 'mafios,' Ra? Gue nggak paham," tanya Manda penasaran kepada Ara.
"Nanti malam gue jelasin semuanya sama lo. Malam ini semua kumpul di markas, lo juga Man. Gue bakal jelasin biar jelas," jawab Ara sambil menatap Manda. Dirinya hanya mengangguk pelan, tanda ia mengerti meski masih penasaran dengan maksud istilah 'mafios' dan soal markas tersebut.
"Udah santai aja, Man. Nanti malam Ara pasti jelasin semuanya," kata Jessika sambil menepuk pundak Manda, yang kemudian dibalas dengan anggukan pelan tanpa sepatah kata.