Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Meskipun jauh orang yang dikhawatirkan Amara tetap Shaka
Di sebuah rumah yang tenang milik keluarga Marvionne di pinggiran kota, suasana sore tampak hening. Angin laut berembus lembut menyingkap tirai putih yang bergoyang pelan di ruang tengah. Aroma teh melati tercium samar dari cangkir porselen di atas meja.
Amara duduk di kursi rotan, menatap keluar jendela. Perutnya yang mulai membesar terlihat dari balutan gaun santai berwarna lembut. Tangannya sesekali mengelus lembut bagian itu, sementara pikirannya melayang entah ke mana.
Langkah seseorang terdengar mendekat. Pintu terbuka pelan. Zico masuk membawa map cokelat di tangannya. Wajahnya lelah, seolah baru saja melalui perjalanan panjang.
“Nona,” suaranya pelan namun tegas. “Aku baru kembali dari Jakarta.”
Amara menoleh perlahan, ekspresinya tenang tapi matanya menyimpan tanya. “Bagaimana?”
Zico menatap wanita itu sejenak, lalu menurunkan pandangannya. “Kapten Shaka … selamat.”
Amara tidak langsung menjawab. Tangan yang tadi mengelus perutnya kini berhenti di udara, menggantung tanpa gerak. Beberapa detik hening, hanya terdengar detik jam di dinding.
“Siapa yang menolongnya?” tanya Amara akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Zico tersenyum kecil, “Aku, Nona.”
Amara menatap pria itu tajam. “Kenapa?”
“Karena kalau dia mati, Nona tidak akan tenang,” jawab Zico tanpa ragu. “Dan aku tidak mau melihat Nona dihantui penyesalan seumur hidup.”
Amara terdiam, matanya menatap jauh keluar jendela, seolah mencoba menyembunyikan getaran di hatinya.
“Dia masih sama,” ucap Amara lirih. “Masih menyalahkan aku untuk hal yang tak ku lakukan … masih menolak mendengarkan siapa pun.”
“Dia terluka, Nona,” jawab Zico lembut. “Tapi luka itu dia buat sendiri.”
Amara menarik napas panjang, lalu menatap Zico. “Apakah dia tahu kamu yang menolongnya?”
“Ya,” jawab Zico. “Dan dia tahu aku datang atas nama Nona. Tapi aku tidak bilang apapun tentang keberadaan Nona.”
Amara mengangguk pelan, lalu menatap kembali ke arah laut. “Bagus, biarkan begitu. Aku sudah tidak ingin lagi ada kaitan dengannya.”
Zico menunduk hormat. “Baik, Nona.”
Namun sebelum ia berbalik, suara Amara kembali terdengar pelan tapi dingin.
“Zico … pastikan semua kerja sama dengan keluarga Wirantara benar-benar ditutup. Aku tidak ingin satu pun celah mereka menyentuh hidupku lagi.”
Zico menatap Amara sesaat, lalu menjawab pelan,
“Perintah Nona akan segera aku laksanakan.”
Saat Zico melangkah pergi, Amara menatap laut yang berkilau di kejauhan. Tangannya kembali menyentuh perutnya, lembut sekali, seolah bicara dengan janin di dalamnya.
“Maafkan Mama…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kamu akan tumbuh tanpa tahu siapa ayahmu. Tapi itu lebih baik … daripada hidup di sisi pria yang tidak pernah tahu cara mencintai dengan benar.”
Cahaya senja memantul di matanya yang basah, sementara angin membawa suara deburan ombak yang terdengar seperti kenangan yang menolak mati.
Pagi itu, suasana di gedung pusat Wirantara Air jauh dari kata normal. Para staf berlarian di lorong-lorong, telepon berdering tanpa henti, dan ruang rapat utama penuh dengan tumpukan dokumen yang belum tersentuh.
Di ruangan CEO, Haris berdiri di depan layar besar yang menampilkan grafik penurunan saham dan pembatalan kerja sama dari berbagai negara. Wajahnya tegang, mata merah karena kurang tidur.
“Laporan terakhir dari tim keuangan, investor luar negeri menarik diri, dan tiga maskapai rekanan membatalkan kontrak distribusi jalur,” ucap Haris dengan nada berat.
Salah satu manajer menunduk dalam, menambahkan lirih, “Kalau ini berlanjut, izin operasi bisa dibekukan.”
Haris menekan pelipisnya kuat-kuat. “Sial ... semua ini terjadi setelah jalur itu dibuka.”
Pintu terbuka keras, Karina masuk dengan pakaian rapi, menenteng map dan senyum percaya diri tapi jelas matanya menatap liar mencari perhatian.
“Aku sudah bilang, kalian tidak bisa terus memakai cara lama,” katanya lantang. “Biarkan aku yang tangani investor Eropa. Mereka percaya padaku, mungkin kita bisa selamatkan satu-dua kontrak dulu.”
Haris menatapnya datar dari balik meja. “Anda bahkan gagal menenangkan tim humas, Nona Karina. Berita soal penyerangan Kapten Shaka dan keruntuhan sistem keamanan sudah tersebar di media. Apa yang bisa Anda perbaiki sekarang?”
Karina menegakkan bahunya. “Setidaknya aku mencoba! Tidak seperti kalian yang hanya duduk dan memandangi layar!”
Beberapa staf saling pandang, suasana menegang. Haris tersenyum miring dingin, lelah, tapi sarkastik.
“Percuma Anda lulusan luar negeri kalau hanya bisa bicara,” katanya, mencondongkan tubuh ke depan. “Kalau ini saja Anda tidak bisa selesaikan, apa gunanya semua gelar dan koneksi yang Anda banggakan?”
Ucapan itu menampar harga diri Karina keras-keras. Wajahnya memucat, tangan di sisi tubuhnya mengepal kuat.
“Aku hanya ingin membantu Mas Shaka,” katanya parau, menahan air mata.
“Kalau benar Anda ingin membantu Kapten Shaka,” balas Haris dingin, “maka berhentilah membuat masalah di perusahaannya.”
Ruangan itu kembali hening. Karina berdiri kaku, lalu menatap layar besar di belakang Haris menampilkan logo Wirantara Air yang kini disertai label Under Investigation. Senyumnya pudar, di matanya ada campuran marah dan ketakutan.
“Kapten Shaka … bahkan kamu pun akan kehilangan segalanya kalau ini terus berlanjut,” bisiknya pelan.
Namun, Haris menatap layar dengan rahang mengeras. “Kalau dia kehilangan semuanya, itu karena dia memilih sisi yang salah.”
Lampu ruangan berkedip pelan menandai betapa rapuhnya kekaisaran besar yang dulu dibanggakan keluarga Wirantara.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya