Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bangkai hidup
Sinta berjalan menuju ke arah aku yang tengah sibuk menata piring di wastafel. Bersiap untuk di cuci, lalu dia dengan entengnya berdiri di sebelahku. Tau bagaimana keadaan ku saat ini, hanya bisa menahan nafsu sambil sesekali mencuri nafas.
"biar mbak bantu ya," ucapnya yang langsung membuat aku menutup hidung.
Astaga bau sekali, sebenarnya dia di rumah makan apa sih? Bangkai? Ya ampun nafasnya bau sekali.
"jawab dong Laras," ucap ibu yang tengah duduk tak jauh dari kami.
"iya-iya mbak!" sahutku sembari terbata.
Dia dengan cekatan membantuku mencuci piring, sambil sesekali menjawab pertanyaan ibu. Kalau aku tidak usah kalian tanya lagi, rasanya mau pingsan.
Perutku rasanya bergejolak, bahkan nasi dan ayam yang ku makan tadi rasanya mau keluar. Bergegas aku lari menuju kamar mandi, dan memuntahkan di sana.
"hoek... Hoeek...Gila bau banget. Itu orang pakai parfum apa sih, bau bangke banget." ucapku seraya membasuh wajah dengan air.
Setelah agak mendingan aku pun keluar, ternyata sudah ada ibu yang menggantikan ku mencuci piring.Tampak ibu tak bereaksi apapun, bahkan mereka terkesan sangat dekat berdirinya.
"astaga, ada apa dengan diriku." ucapku sembari menatap mereka berdua.
Tawa mereka memenuhi ruangan dapur kecil ini, bahkan mas Rama sampai datang ke dapur.
"loh, kok gak kamu yang cuci piring Ras. Malah ibu." ucapnya seraya duduk di sebelah ku.
" Calon istrimu badannya bau bangke mas, perutku sampai mual" batinku sembari meliriknya.
" ye, di tanya malah ngelamun." ucapnya lagi sembari menoyor kepalaku pelan.
"Laras sakit perut mas, kebanyakan makan jengkol." sahutku asal.
Mas Rama kemudian tersenyum, lalu mengacak rambutku yang panjang sebahu.
"makannya kalau makan itu kira-kira, ini semua mau di telan. Itu piring kalau lunak pasti kamu telan juga kan." ejeknya.
Ku cabikkan bibir ini, dasar kakak sialan. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu, padahal aku begini juga karena calon istrinya bau bangke.
Setelah semua selesai, kami kembali ke ruang tamu, kali ini aku lebih memilih membaringkan tubuh di atas karpet depan tv, sementara mereka duduk di sofa tamu.
"bagaimana buk, ibu setuju kan kalau Rama menikah dengan Sinta?" ucap kakakku yang langsung membuat kepalaku mendongak.
"setuju, lagian kalian juga seperti nya cocok." sahut ibu yang langsung membuat mas Rama menggenggam tangan calon istrinya itu.
"gimana Sinta, kamu sudah siapkan jadi istriku?"
" iya mas." ucapnya malu-malu.
Aku yang berada di bawah, hanya bisa menjadi pendengar setia. Entah keturunan siapa wanita ini hingga bisa memilih aroma tubuh yang bau dan membuat perut mual.
"kami gimana Laras, setuju kan kalau Sinta jadi mbak iparmu?"
Diam, itu yang di respon tubuhku. Bahkan untuk mengangguk saja rasanya leherku tak mampu.
"gimana? Di tanya malah bengong."
"udah, Laras pasti setuju kok. Dia kalau ibu setuju dia pasti setuju. Ya kan, Ras?"
Mau tidak mau aku mengangguk, senyum terpaksa terbit dari bibirku. Entah apa jadinya nanti, tapi yang pasti aku tidak kan membiarkan kakakku menjadi tumbal atau apalah itu.
Setelah cukup lama bercengkrama akhirnya mas Rama pamit untuk mengantarkan Sinta, lagi dan lagi aku harus menahan nafas saat Sinta memelukku. Rasanya ingin ku seret wanita ini ke kamar mandi, ku beri satu botol sampo dan sabun agar bau di tubuhnya itu hilang.
"terimakasih atas jamuan nya ibu dan Laras." ucapnya sopan.
" sama-sama sayang, lain kali main sini lagi ya."
Dia mengangguk, dan tak lama motor pun menyala mereka pun hilang dalam pandangan mata.
"huuuffff."
"dia cantik kan Ras, cocok dengan Rama." ucap ibu sembari mendaratkan bokongnya di sofa.
"cantik sih, tapi bau." ucapku sembari membuang nafas dengan kasar.
Tampak ibu mengerutkan dahi nya, seolah tak percaya dengan apa yang barusan ku katakan.
"bau dari mana? Orang wangi begitu."
Aku yang tak percaya, seketika menoleh pada ibu. Kali ini gantian aku yang mengerutkan dahi.
"ibu yakin gak mencium aroma bangkai dari tubuh Sinta?" tanyaku serius.
Ibu menggelengkan kepalanya dengan cepat, aku bahkan sampai menutup mulut karena nya.
"jangan bilang kamu nyium yang aneh-aneh lagi."
" iya buk, bahkan tadi saat cuci piring, ibu lihat sendiri kan kalau Laras masuk ke kamar mandi. Laras itu muntah buk, sangking gak tahannya bau dari badannya Sinta."
Ibu seketika terdiam, tampak wajahnya yang masih terlihat cantik seperti tengah memikirkan sesuatu.
"kau pasti salah Laras, ibu tidak mencium apapun loh. Nanti hidung mu yang bermasalah."
Aku menggeleng cepat, kali ini aku tak Mungin salah. Walaupun awalnya iya, namun siapa sangka aroma itu terus ada di tubuh Sinta.
Tak lama berselang, mas Rama sudah kembali pulang. Wajahnya di selimuti rasa bahagia, bahkan ibu juga turut bahagia melihatnya.
"gimana buk, pilihan Rama mantap kan?"
" iya." jawab ibu sembari melihat ku.
"kalau kau gimana Laras, pastinya senang dong punya calon mbak ipar cantik seperti itu." ucapnya seraya menarik turun kan alisnya.
Ku tatap saudara ku satu-satunya itu, tak tega rasanya jika memisahkan dia dari orang yang di cintainya tapi jika nanti akhirnya membahayakan nyawanya mau tidak mau aku harus bertindak.
"senang mas, tapi boleh aku bertanya sesuatu?" ucapku seraya melirik ibu yang kebetulan melirikku juga.
"apa menurut mas, ada yang aneh dengan mbak Sinta?"
" maksudnya?"
" sesuatu yang mengganjal gitu di depan mata." ucapku berusaha menjelaskan selembut mungkin.
Gak mungkin kan, aku bilang calon istrimu bau bangke. Kan gak etis rasanya, siapa tau ada yang mencurigakan bisa jadi itu sebagai pertanda.
"hmmm, gak ada sih yang aneh. Tapi, ada sih kebiasaan yang menurut mas agak sedikit aneh, tapi katanya dia sih wajar gitu."
" apa?" ucapku tak sabar, bahkan wajah ibu juga kelihatan tegang.
"Sinta itu pecinta bunga bangkai. Bahkan kata ibunya, dia pernah memakan mentah-mentah bunga bau itu."
hening, tak ada suara di antara kami. Jangan-jangan karena makan bunga bangkai itu makanya tubuhnya Sinta jadi bau bangkai. Tapi, aku juga baru dengar kalau ada orang yang suka makan bunga langka itu, bahkan mentah lagi.
Logikanya gak masuk akal sih menurutku, tapi gak ada salahnya ku ikuti saja dulu alurnya. Jika sudah kena gong nya, maka bisa di simpulkan apa nanti akhirnya.
"kenapa tanya-tanya begitu, apa da yang aneh daripada Sinta?" ucap mas Rema seraya melihatku dan ibu.
"iya mas, aku seperti mencium aroma aneh dari tubuh mbak Sinta. Awalnya aku tidak percaya, tapi setelah beberapa saat ternyata indra penciuman ku tidak salah."