NovelToon NovelToon
MENIKAHI ANAK BOS ANEH

MENIKAHI ANAK BOS ANEH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:828
Nilai: 5
Nama Author: Tri 2001

Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fitri Balik, Strategi Baru!

Pagi itu suasana di rumah Pak Samingan adem banget. Burung-burung di halaman depan berkicau, Mbok Jum udah sibuk di dapur, dan Bu Wiji lagi nyiram bunga.

Semuanya terasa damai... sampai suara motor belek-belek-belek! berhenti di depan pagar.

“Assalamualaikum!”

Rara yang lagi ngelap meja langsung kaget. Suara itu udah hafal banget — lembut tapi menohok.

“Lho... Fitri!” serunya setengah kaget setengah... males.

Fitri turun dari motor dengan senyum cerah, jilbabnya warna peach, lengkap dengan tote bag bergambar bunga.

“Waalaikumsalam, Mbak Rara! Aku balik, hehe... kangen sama Mas Arifbol.”

Rara spontan ngomong, “Kangen, to? Bukan... rumah iki?”

Fitri nyengir, “Yo loro-lorone lah, Mbak. Omah e karo penghunine.”

Rara cuma bisa senyum kaku, tapi di dalam hati udah mulai nyanyi lagu “Cemburu tanda cinta, cemburu tanda sayang~”.

Arifbol muncul dari ruang tengah, matanya langsung berbinar waktu lihat Fitri.

“Fitri! Kamu balik! Aku kira kamu gak dateng lagi.”

Fitri senyum manis, “Hehe... mana bisa, Mas. Kan aku belum ngajarin surat Ar-Rahman sampai selesai.”

Rara di pojokan langsung nyeletuk pelan, “Surat Ar-Rahman opo surat ancaman iki...”

Bu Wiji keluar dari dapur sambil ngelap tangan.

“Wah, Fitri! Ibu seneng kamu datang lagi. Rara pasti seneng ada temennya, to?”

Rara senyum paksa, “Iya, Bu... seneng banget. Kayak ketemu... rival sejati.”

Bu Wiji nggak nangkep maksudnya, cuma ngangguk sambil senyum.

Siang itu, Rara dan Fitri sama-sama bantu di dapur.

Tapi bukannya kerja bareng, malah kayak lomba siapa paling rajin.

Fitri motong sayur dengan gaya tenang, Rara ngulek sambel sampai uleknya nyiprat kemana-mana.

“Fitri, tolong ambilin garam,” kata Bu Wiji.

“Iya, Bu,” jawab Fitri lembut, cepat banget.

Tapi Rara langsung nyamber duluan. “Biar aku aja, Bu!”

Eh, saking buru-burunya, garamnya malah tumpah setengah kilo ke wajan.

“Ya Allah, Rara! Kok garam kabeh dilebokne, to?” teriak Bu Wiji panik.

Fitri nahan tawa sambil nutup mulut. “Hehehe, ndak papa, Bu. Rara semangat banget soalnya.”

Rara senyum kecut. “Semangat sih, tapi jadi asin kabeh hidupku.”

Sorenya, Arifbol duduk di taman, baca buku tafsir kecil.

Rara dan Fitri sama-sama nyamperin — dari arah berlawanan.

Fitri bawa jus jeruk, Rara bawa pisang goreng.

“Mas, minum dulu,” kata Fitri.

“Mas, makan dulu,” kata Rara.

Arifbol bingung. “Lho... aku disuruh makan apa minum dulu, to?”

Rara nyeletuk cepat, “Makan dulu, Mas! Kan gak sopan minum tanpa makan!”

Fitri balas, “Tapi kalau haus duluan, malah keselek, Mbak!”

Keduanya saling pandang... kayak duel mata-mata di sinetron.

Akhirnya Arifbol bilang, “Aku... makan pisang goreng dulu aja, baru minum jus.”

Rara langsung berseri-seri. “Nah kan, bener to, Mas!”

Fitri senyum lembut. “Iya, tapi jusnya yang nyegerin, Mas. Biar habis makan, manisnya gak ilang.”

Rara membatin, “Manis opo jebakan...”

Selesai sore itu, Rara pulang dengan wajah manyun.

Di perjalanan, Andika nanya dari jok belakang motor,

“Mbak, kok ngelamun? Kalah debat, yo?”

Rara mendesah panjang. “Dik, Fitri balik... dan kayaknya dia datang bukan buat ngajarin ngaji.”

Andika nyeletuk polos, “Oh, jadi buat rebut Mas Arifbol?”

Rara menatap adiknya lama. “Dik, kamu pinter banget, tapi nyakitin hati.”

Malam itu, setelah insiden jus dan pisang goreng sore tadi, Rara duduk di teras kontrakan sambil ngelamun.

Andika, adiknya, baru pulang ngaji, langsung ngeledek,

“Mbak, kok ndomblong koyok pitek kate golek pakan? Mikirin Mas Bol, to?”

Rara melempar bantal kecil ke Andika. “Halah, Dik! Jangan ngomong seenaknya! Aku ini lagi... mikir strategi.”

Andika duduk di sebelahnya. “Strategi opo? Arep sabun Fitri Yo ben lunyu terus kepleset?”

Rara menatap adiknya serius, “Enggak, Dik. Aku mau main lembut. Fitri boleh cantik, tapi aku punya... rasa tulus!”

Andika manggut-manggut pura-pura serius. “Iyo Mbak, tapi rasa tulus tok kadang kalah karo rasa jus jeruk dingin.”

“Wah, lambemu, Dik, mulai koyok Fitri nih!”

Keesokan harinya, Rara berangkat ke rumah Pak Samingan dengan senyum penuh semangat.

Dia bawa kotak bekal yang diisi nasi goreng buatan sendiri. Tapi kali ini dia bener-bener belajar dari YouTube dulu, biar gak tumpah garam lagi.

Begitu nyampe, Mbok Jum langsung nyeletuk,

“Lho, Mbak Rara! Kok bawa bekal? Mau piknik, to?”

Rara nyengir, “Hehehe, piknik batin, Mbok. Buat Mas Arifbol.”

“Lha, Fitri udah nyiapin sarapan juga, loh. Bawa nasi uduk.”

Rara langsung freeze sejenak, terus ngomong pelan, “Oh... yo bagus... jadi Mas Bol bisa bandingin mana yang lebih enak, hehe.”

Arifbol duduk di meja makan, di depan dua nasi: nasi goreng Rara dan nasi uduk Fitri.

Wajahnya polos, tapi matanya bingung.

“Aku... makan yang mana dulu, ya?”

Rara tersenyum manis tapi matanya tajam, “Yang dimasak pakai cinta, Mas.”

Fitri juga senyum lembut, “Yang dimasak dengan doa, Mas.”

Arifbol bingung tambah parah, “Cinta sama doa itu sama-sama bagus, lho…”

Bu Wiji lewat sambil ketawa kecil, “Waduh, Ibu ini kok kayak jadi juri MasterChef Syariah ya, semua masakan niatnya mulia.”

Akhirnya Arifbol mencicip dua-duanya.

Begitu makan nasi goreng buatan Rara, dia langsung senyum. “Ini... enak banget! Gurihnya pas!”

Fitri pura-pura santai tapi senyumnya kaku.

Arifbol lanjut nyicip nasi uduk Fitri. “Ini juga enak, tapi agak... asin.”

Fitri langsung nyengir malu, “Hehe, kebanyakan bawang goreng kali, Mas.”

Rara langsung nyeletuk, “Gak papa, Fit, yang penting gak kebanyakan rasa ingin memiliki.”

Fitri menatapnya sekilas, “Hehehe, iya, Mbak. Tapi kadang kalau udah sayang, pengin memiliki itu wajar, kan?”

Suasana langsung clingggg kayak film romantis Korea.

Bu Wiji nyenggol suaminya, “Pak, iki anak-anak ngono lho, saingan alus tapi rasane panas.”

Pak Samingan cuma garuk kepala. “Selama Arifbol ora kejang gara-gara rebutan cinta, yo wes, tak umbar ae.”

Sore harinya, Rara duduk di taman belakang sambil ngelap kaca jendela mushola.

Arifbol datang bawa Al-Qur’an kecil.

“Rara, kamu mau bantu aku ngulang surat kemarin?”

“Wah, boleh banget, Mas!”

Rara duduk di sampingnya. Tapi kali ini, dia gak grogi kayak dulu.

Bacanya pelan, rapi, walau kadang salah tajwid dikit, tapi niatnya tulus banget.

Arifbol senyum. “Kamu udah makin lancar. Aku bangga, Rara.”

Deg!

Jantung Rara langsung kayak habis disetrum 220 volt.

“Makasih, Mas... kalau Mas bangga, aku juga bahagia banget.”

Mereka saling pandang sebentar. Suasana tenang banget, cuma suara jangkrik dan adzan maghrib yang pelan terdengar dari kejauhan.

Dan entah kenapa, malam itu Rara ngerasa... hatinya makin yakin.

Mas Arifbol, aku gak mau kalah, tapi bukan buat saingan. Aku mau nemeninmu, bukan rebutanmu...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!