NovelToon NovelToon
Obsesiku Tawananku

Obsesiku Tawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Playboy / Hamil di luar nikah / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Fantasi Wanita
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi Adra

Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.

Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.

Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.



Ig: deemar38

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

OT 2

Di kamarnya yang remang, Meira melempar tas ke atas kasur. Earphone masih menggantung di lehernya, tapi dentuman lagu Silver Dawn yang barusan ia dengar di konser seakan tak mampu menutupi suara dari luar.

Suara ibunya terdengar jelas, meninggi lalu melunak dengan nada genit. Dari potongan percakapan yang sampai ke telinganya, Meira tahu: janji kencan malam ini dibatalkan. Si pejabat itu tak bisa datang karena besok pagi ada rapat penting dengan menteri.

Tapi masalahnya tidak berhenti di situ. Suara desahan, erangan samar, dan tawa dibuat-buat ibunya menyusul dari ruang tengah, membuat kepala Meira serasa mau pecah. Ia menutup telinga dengan bantal, namun suara itu tetap merembes masuk, menusuk kesadarannya.

“Cukup!” Meira bangkit dengan emosi, menghantam pintu kamarnya hingga terbuka keras. Pandangannya langsung tertuju pada ibunya yang setengah telanjang, dengan ponsel di tangan, wajahnya masih dihiasi senyum menggoda yang menjijikkan di mata Meira.

Darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, Meira meraih ponsel itu dengan kasar.

“Heh b*aya! Lo nggak malu hah, ngelakuin beginian? Dasar laki-laki bang*at!” bentaknya ke seberang telepon, suaranya pecah karena amarah. “Kalau punya istri di rumah, jagain! Jangan buang nafsu lo ke sini!”

Tanpa memberi kesempatan orang itu menjawab, Meira langsung menutup panggilan dan melempar ponsel ke sofa.

Suasana hening sepersekian detik sebelum ibunya menjerit marah. “Kurang ajar lo!” Tangannya melayang, menampar pipi Meira keras sekali.

Meira terhuyung, rahangnya sakit, tapi lebih sakit lagi hatinya. Nafasnya memburu, matanya panas menahan air mata.

“Gue muak sama semua ini...” bisiknya lirih, hampir tidak terdengar.

Dengan penuh kekesalan, ia berlari masuk ke kamar, menyambar tas dan beberapa barang penting. Tanpa menoleh lagi, Meira keluar dari rumah itu, menyalakan mobilnya sendiri, dan melesat ke jalanan malam yang lengang.

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar pergi kabur dari semua kegelapan yang selama ini membelenggunya.

Malam Jakarta berkilau oleh lampu jalanan, tapi bagi Meira, semua cahaya itu terasa buram. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat, matanya panas karena air mata yang tak henti jatuh.

Ia tak tahu harus kemana. Pikiran berkecamuk, marah, kecewa, jijik, semua bercampur jadi satu. Mobilnya terus melaju tanpa arah, sampai akhirnya ia membelokkan kemudi ke sebuah bar yang sudah tak asing lagi baginya.

Bar itu dipenuhi asap rokok, dentuman musik elektronik, dan tawa-tawa palsu yang menutupi kesepian pengunjungnya. Begitu masuk, Meira langsung merasa dadanya semakin sesak, tapi setidaknya di sini... suara bising bisa sedikit menenggelamkan ingatan tentang rumahnya barusan.

Ia duduk di pojok, menunduk, lalu meraih ponselnya. Dengan jari gemetar, ia menekan nomor temannya seseorang yang sudah tahu persis kebiasaannya saat berada di titik terendah.

“Lo dimana?” suara Meira serak, hampir pecah.

“Halo, Mei? Gue lagi di luar. Kenapa?” jawab temannya, sedikit cemas.

“Aku butuh... yang bisa bikin pikiran gue tenang. Malam ini juga,” katanya lirih, berusaha menahan isak.

Ada keheningan sejenak di seberang. Lalu suara itu kembali, mantap tapi pelan.

“Gue ngerti. Oke, gue bakal kasih. Tunggu di situ, jangan kemana-mana.”

Meira menutup telepon, lalu menyandarkan kepalanya ke tembok bar. Musik berdentum kencang, lampu warna-warni berputar, namun bagi Meira dunia terasa gelap.

Ia tahu apa yang akan datang padanya bukanlah jalan keluar, hanya pelarian sementara. Tapi untuk malam ini... hanya itu yang bisa membuatnya tetap bertahan.

Tak berapa lama, seseorang melangkah masuk ke dalam bar. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu menatap ke segala arah dengan gelisah, matanya berputar mencari-cari sosok yang ia kenal. Namanya Agit teman lama Meira yang tahu sisi kelamnya lebih daripada orang lain.

Suasana bar terlalu riuh. Dentuman musik begitu keras, hingga suara panggilannya tak terdengar sama sekali. Agit mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menekan nomor Meira.

“Mei, lo dimana? Gue udah di dalam,” suaranya teredam musik, hampir lenyap. Hanya suara DJ dan tawa orang-orang yang mendominasi.

Meira mengangkat telepon, tapi sama saja nyaris tak ada satu kata pun yang bisa terdengar jelas.

Akhirnya Agit mengalah. Chat aja. Jempolnya mengetik cepat:

Gue udah di bar. Lo dimana?

Tak lama balasan muncul di layar:

Pojok, meja dekat kaca. Ada neon biru di atas kepala gue.

Agit mendongak, matanya menyapu ruangan, hingga akhirnya menemukan Meira yang duduk sendirian di pojok, wajahnya sayu, rambut terikat asal, berantakan. Di atasnya, lampu neon biru berkelap-kelip, persis seperti yang ia tuliskan.

Ia menarik napas panjang, lalu berjalan menghampiri, menyembunyikan sesuatu di balik jaketnya.

Agit menepuk pundak Meira pelan ketika akhirnya berhasil menemukannya di sudut bar yang agak redup. Meja kecil di depannya sudah penuh dengan botol kosong dan gelas yang basah oleh sisa buih minuman. Meira menoleh, senyumnya miring, matanya sayu.

“Ini yang lo minta,” kata Agit singkat, menyerahkan bungkus kecil yang disembunyikan dalam genggaman. Gerakannya cepat, tapi tetap hati-hati.

Meira mengambilnya tanpa banyak bicara, lalu menaruhnya di pangkuan sambil memainkan gelas cocktailnya dengan jari telunjuk. Bunyi dentingan halus terdengar saat ia memutar-mutar es batu di dalamnya.

“Muka lo kacau amat, Mei,” ujar Agit, menatap lekat wajah sahabatnya yang terlihat lelah sekaligus acuh tak acuh. “Seriusan, lo kayak abis perang.”

Meira terkekeh pendek, nyengir sambil meneguk sisa minumannya. Bibirnya melengkung tipis, seakan meledek.

“Kayak lo nggak pernah tau aja... emak gue,” katanya datar, tapi getir.

Suasana hening sejenak, hanya diisi dentuman musik keras dari panggung bar. Agit menatap Meira lama, mencoba membaca lebih jauh isi kepalanya. Namun Meira sudah lebih dulu menunduk, menatap cairan bening di gelasnya.

Agit menyandarkan punggungnya di kursi bar, matanya tak lepas dari Meira yang wajahnya makin kusut. Sambil memainkan botol kosong, ia mendesah pelan.

“Mei, lo beneran nggak bisa terus-terusan begini. Cari tempat tinggal baru aja, jauh dari semua drama itu,” ucapnya agak serius.

Meira hanya mendengus, matanya setengah sayup karena alkohol yang sudah terlalu banyak masuk ke tubuhnya.

Obrolan makin buyar saat kepalanya mulai tertunduk. Tangannya yang tadi sibuk memainkan gelas kini terkulai di meja. Agit menggeleng, lalu berdiri.

“Udah, cukup. Gue bawa lo ke mobil,” katanya sambil menahan lengan Meira.

Dengan susah payah, ia menggiring Meira keluar bar, membopongnya masuk ke kursi penumpang mobil. Meira sudah setengah tak sadar, hanya bergumam tak jelas sebelum akhirnya terlelap.

Agit menutup pintu mobil pelan, lalu duduk sebentar di kursi depan. Ia menarik napas panjang sebelum menulis pesan di ponselnya:

Mei, gue bawa lo ke mobil. Lo mabok parah, jadi istirahat aja dulu. Kunci mobil lo gue taro di laci dashboard. Tidur yang nyenyak, ya. Inget jangan maksain nyetir kalo lo belum kuat. Dunia nggak akan runtuh cuma karena hari ini berantakan.

Pesan itu dikirim. Sesaat ia menatap Meira yang terlelap, wajahnya masih menyimpan sisa kekacauan malam ini. Kaca mobil ia turunin sedikit biar ada celah udara, lalu dengan helaan napas berat, Agit keluar membiarkan dinginnya malam menenangkan pikiran Meira.

1
Aquarius97 🕊️
Meira kah vin.? jika iya, hmm...diam2 kamu memperhatikan yaa
Aquarius97 🕊️
yaiyalah mei... lu siapa emangnya wkwk
Aksara_Dee
periksa sama aku aja, rahasia aman 😅
Aksara_Dee
emang kalau udah penyakit hati susah ya
Aksara_Dee
semoga bukan kevin ya
Aksara_Dee
tapii... crush nya Kenji naksirnya kamu, Kev
Aksara_Dee: ❤️❤️❤️❤️
total 8 replies
D. A. Rara
kalo Kevin aku rasa dia mau ngk tau Kenji
Aquarius97 🕊️
wah parah juga lu Mei...
Aquarius97 🕊️
tahan Meira, jangan ngamuk yaa 🤣
Aksara_Dee
like plus mawar untuk kaka
Dee: yeeeaa... makasih Kakak🥰
total 1 replies
Aksara_Dee
yups mantap kata²nya cukup menampol bibir kenji
Aksara_Dee
owalaahh aku gemess sama Kenji
Aksara_Dee
kenji pengen bgt tampil nih kayaknya
Aksara_Dee
duuhh dia capek banget itu, pengen peluk kevin 🥺
Dee: Merasa tertekan
total 1 replies
Aksara_Dee
diam-diam dia ingin tampil sebagai tokoh di head line
Dee: Mulai ketauan aslinya
total 1 replies
Aksara_Dee
jeli bangen si wartawan
Aquarius97 🕊️
tabok dulu wajah kau mei hhh
Aquarius97 🕊️
selmattt Meiraa 💪😵
Aquarius97 🕊️
apal bgttt.. orang si kevin dunia meira
Aquarius97 🕊️
wuahhh.. kalau aku jadi Meira bakalan kayang trus jungkir balik tuh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!