Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Yang terputus dan Ancaman yang Tak Terucap.
Valeria berlari menyusuri koridor, pikirannya fokus pada tempat sunyi yang Kian maksud. Ia berharap Revan ada di sana dan mau mendengarkannya. Dari kejauhan, di ujung lorong yang lain, Damian sedang berjalan santai bersama teman-temannya.
"Eh, Damian, itu bukannya Valeria? Ngapain dia lari-lari? Ada apa ya?" celetuk salah satu teman Damian, Rio, sambil menunjuk ke arah Valeria.
Damian mengikuti arah telunjuk Rio. Ia melihat Valeria dengan kening berkerut, merasa penasaran. "Iya, Valeria. Tumben lari begitu," gumamnya. Ada sesuatu dalam raut wajah Valeria yang membuatnya tertarik. Tanpa banyak bicara, Damian berbalik arah, meninggalkan teman-temannya yang heran, dan berjalan mengikuti Valeria dari kejauhan.
Di sebuah persimpangan koridor, Valeria terus berlari lurus, tidak menyadari bahwa Damian mengambil jalan yang berlawanan. Damian mempercepat langkahnya, mengambil jalan pintas yang ia tahu akan membawanya memotong jalur Valeria. Tepat di ujung persimpangan berikutnya, Damian muncul tiba-tiba.
...Hanya ilustrasi gambar....
Valeria yang sedang berlari kencang dan menunduk, terkejut bukan main melihat Damian sudah berdiri tepat di depannya. Ia hampir saja menabrak Damian jika tidak mengerem langkahnya dengan refleks. Debu dari sepatu Valeria sedikit mengepul di lantai saat ia berhenti mendadak, jantungnya berdebar kencang karena terkejut.
"Valeria? Kamu kenapa lari-lari seperti dikejar hantu?" tanya Damian, dengan nada pura-pura khawatir namun matanya menunjukkan ketertarikan yang besar.
"Bukan urusan lo! Awas!" desak Valeria, napasnya masih terengah-engah.
"Awas, Mian!" tambahnya lagi, dengan nada semakin tidak sabar.
Damian tersenyum, tidak bergeming dari tempatnya. "Nama gue Damian, bukan Mian," koreksinya santai.
"Bodo amat! Mau nama lo Damian, Mian, atau Minion, gue nggak peduli! Jangan halangi jalan gue!" balas Valeria, menatapnya dengan kesal.
Damian mengangkat bahu. "Jalanan ini luas, Valeria."
Valeria menatap lorong di sekelilingnya, dan sebuah kesadaran kecil muncul. "Iya juga, ya? Kan gue bisa lewat sampingnya," gumamnya sangat pelan, namun Damian bisa mendengarnya.
Saat Valeria mencoba melangkah ke samping, Damian dengan cepat menggeser posisinya, kembali menghalangi. Valeria bergeser lagi, tapi Damian lagi-lagi menghalanginya, seolah ini adalah permainan kucing-kucingan. Kesabarannya habis. Dengan napas yang memburu, Valeria mengambil ancang-ancang dan menendang kaki Damian sekuat tenaga.
"Aduh!" ringis Damian, memegangi kakinya yang terasa nyeri. Ia berlutut sejenak.
...Hanya ilustrasi gambar....
Valeria tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tanpa menoleh atau peduli, ia langsung berlari kencang, meninggalkan Damian yang masih meringis kesakitan di tengah koridor.
Setelah kepergian Valeria, Damian masih berlutut, memegangi kakinya sambil meringis. Teman-temannya, Rio dan yang lain, akhirnya menghampirinya dengan raut wajah keheranan.
"Gila, Val, ganas juga," ujar Rio, takjub. "Lo kenapa, Dam?"
"Kena tendang Valeria," jawab Damian, suaranya terdengar kesal. "Dia nendang gue kayak lagi nendang bola."
"Hahaha, itu balasan lo karena ngehalangin dia," sahut teman lainnya. "Makanya, jangan cari gara-gara sama cewek kalau lagi marah."
Damian mencoba bangkit, dibantu oleh teman-temannya. Ia menatap ke arah koridor tempat Valeria menghilang, raut wajahnya berubah dari meringis kesakitan menjadi senyuman tipis. Senyum itu bukan senyum kekalahan, melainkan senyum puas karena ia berhasil membuat Valeria terpancing. Tujuannya tercapai.
"Dia bakal nemuin Revan," gumam Damian pelan. "Dan kita lihat, apa yang bakal terjadi selanjutnya."
Valeria akhirnya sampai di tempat yang dimaksud. Ia mencari di sekelilingnya, dan dari kejauhan, ia melihat sosok yang dikenalnya terbaring di atas rerumputan. Itu Revan, tertidur dengan tenang.
"Revan!" panggil Valeria, tetapi suaranya terlalu jauh. Revan tidak bergerak.
Valeria memanggilnya sekali lagi, "Revan!" namun suaranya tetap tak terdengar. Akhirnya, Valeria memutuskan untuk menghampirinya. Ia berjalan perlahan, lalu berhenti dan berdiri sedikit jauh di samping Revan.
...Hanya ilustrasi gambar....
Ia kemudian berjongkok di dekat kepala Revan yang sedang berbaring, mencondongkan tubuh, membiarkan rambutnya sedikit tertiup angin. Valeria melihat mata Revan terpejam, dan ia memanggil dengan suara yang lebih dekat.
...Hanya ilustrasi gambar....
"Revan," panggilnya lembut.
Perlahan, mata Revan terbuka. Ia terkejut bukan main ketika melihat wajah Valeria tepat berada di atas wajahnya. Revan refleks hendak bangun, namun Valeria dengan cepat menarik tubuhnya menjauh.
...Hanya ilustrasi gambar....
Revan akhirnya duduk tegak, menatap Valeria dengan tatapan bingung. Valeria pun ikut duduk di sampingnya, menjaga jarak. Suasana hening dan canggung.
"Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" tanya Revan, suaranya pelan. Ia tidak menyangka ada orang yang bisa menemukan tempat persembunyiannya.
Valeria tersenyum tipis. "Rahasia," jawabnya singkat, tanpa menoleh.
Ia tidak ingin membuang-buang waktu. Ia datang ke sini untuk mencari jawaban.
"Apa yang terjadi di kantin?" tanya Valeria, suaranya terdengar tegas. "Kenapa kamu marah-marah seperti itu? Aku... aku malu."
Revan masih tidak bergeming. Ia seolah tidak mendengar Valeria.
"Aku tahu kamu bukan orang yang suka ribut," lanjut Valeria, kini dengan nada yang lebih lembut. "Jadi, kenapa? Apa yang Damian bilang?"
Perlahan, Revan mengangkat wajahnya. Matanya yang biasanya terlihat tenang kini dipenuhi dengan gejolak emosi yang sulit dimengerti. Ia menatap Valeria lekat-lekat, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Itu tidak ada hubungannya dengan kamu," kata Revan, suaranya serak.
"Lalu apa?" tanya Valeria, menuntut. "Kenapa itu menjadi tidak ada hubungannya denganku?"
"Aku di sana! Aku yang melihat kalian ribut! Aku yang harus merasa malu!"
Revan menunduk. "Aku tahu," jawabnya, nada suaranya terdengar menyesal. "Tapi itu bukan..."
"Bukan apa?! Bukan salahku?! Bukan urusanku?!" potong Valeria cepat, tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak bisa lagi menahan perasaannya. "Lalu kenapa kamu marah-marah seperti itu? Kenapa kamu sampai memukulnya?"
Valeria mencengkeram rumput di sampingnya, matanya menatap tajam ke arah Revan. "Kalau itu bukan karenaku, lalu karena siapa?!"
Revan terdiam. Ia mengepalkan tangannya di atas rumput, matanya terpejam sejenak, seolah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang berat. Ia tahu setelah ini, semuanya tidak akan sama lagi.
"Ini bukan tentang kamu, Valeria," kata Revan, suaranya sangat pelan. Ia menatap Valeria yang penuh tanda tanya, lalu menghela napas panjang.
"Ini tentang dia dan mantan pacarnya."
Valeria menatap Revan dengan dahi berkerut, semakin bingung. "Mantan pacarnya? Ada apa dengan mantan pacarnya? Kenapa itu malah jadi masalah antara kamu dan Damian? Maksudnya bagaimana sih?"
Revan menghela napas, terlihat lelah. "Aku tidak bisa menjelaskannya, itu sudah berlalu," katanya, lalu menatap Valeria dengan tatapan serius.
"Yang penting, kamu harus menjauh dari Damian. Aku rasa Damian mendekatimu pasti ada maksud tersembunyi. Kamu harus hati-hati sama dia, Valeria."
Valeria menatap Revan tak percaya, ekspresi bingung tergambar jelas di wajahnya. "Hah? Tapi Revan..."
Revan menghela napas, menatapnya dengan tatapan serius. "Aku tidak bisa memberitahu lebih banyak, Valeria. Dan itu sudah berlalu. Yang penting, kamu harus hati-hati," katanya.
Revan kemudian bangkit dari duduknya, lalu mengulurkan kedua tangannya ke arah Valeria. Valeria menyambutnya, dan Revan membantunya bangkit.
Mereka berdiri dalam keheningan, hanya ada tatapan Revan yang penuh kekhawatiran. Ucapan Revan terus terngiang di telinga Valeria, menanamkan benih keraguan yang dalam di hatinya. Mengapa Damian melakukan ini? Apa sebenarnya motif tersembunyi yang ia miliki?
Valeria tahu, ia tidak bisa hanya diam. Ia membutuhkan jawaban, dan ia tahu hanya satu orang yang bisa memberikannya: Damian.
Revan menarik napas dalam, seolah mengakhiri pembicaraan mereka. "Ayo kuantar ke kelas," katanya sambil melangkah. "Bel akan segera berbunyi."
Mereka berjalan beriringan. Saat sampai di depan kelas, Damian sudah duduk di bangkunya, tatapannya langsung terpaku pada Revan. Revan merasakan tatapan itu. Ia menoleh, dan mata mereka bertemu. Ada ketegangan yang pekat di antara keduanya, bahasa tubuh mereka dipenuhi ancaman tanpa kata.
Valeria menyadari ketegangan itu. Dengan cepat, ia berbalik ke arah Revan, lalu membalikkan tubuhnya agar menghadap pintu kelas. "Jalan dan masuk kelas kamu, Revan," katanya tegas.
Revan menoleh sedikit ke arah Valeria, lalu melirik Damian dengan pandangan tajam, seolah memberi peringatan untuk tidak macam-macam. Ia akhirnya melangkah masuk, meninggalkan Valeria di depan pintu.
Sementara itu, Damian diliputi rasa penasaran. Ia bertanya-tanya apa yang dibicarakan Revan dan Valeria. Valeria pun berjalan menuju bangkunya di barisan depan. Saat ia duduk, Damian melihat kursi di samping Valeria kosong. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan melenggang santai, lalu duduk di kursi kosong itu, tepat di samping Valeria.
Valeria menoleh ke samping, terkejut melihat Damian sudah duduk di sebelahnya. Di belakang mereka, salah satu teman Valeria terdiam, matanya membelalak kaget melihat keberanian Damian yang terang-terangan pindah bangku.
Valeria menatap Damian dengan kesal. "Apa-apaan sih?" tanyanya pelan, namun penuh penekanan. "Ngapain kamu pindah ke sini?"
Valeria menatap tajam ke arah Damian. "Damian, ini bukan tempat duduk kamu."
Damian menyandarkan punggungnya di kursi dengan santai, menatap Valeria dengan senyum tipis. "Mulai sekarang jadi tempat duduk gue," jawabnya. "Lagian, tempat ini kosong, kan?"
Valeria menggeleng. "Tapi ini tempat Tania. Sebentar lagi dia datang ke kelas."
Damian menunjuk ke arah barisan belakang, di mana sebuah bangku kosong di samping seorang siswi bernama Sari. "Masih ada tempat duduk lain tuh," katanya acuh tak acuh. "Dia bisa duduk sama Sari, karena teman sebangkunya, lagi tidak masuk."
Valeria terdiam, tidak bisa membantah. Alasan Damian memang masuk akal, tetapi ia tahu ada lebih dari sekadar alasan logis di balik tindakan Damian. Dia sengaja melakukan ini.
"Sekarang, kita bisa ngobrol santai, kan?" tanya Damian, suaranya pelan dan penuh makna.
Valeria menatapnya dingin. "Nggak," jawabnya singkat.
Damian tersenyum tipis, tidak terpengaruh sedikit pun. "Kenapa?" tanyanya, suaranya pelan dan menusuk. "Kamu takut sama aku? Atau... takut aku tahu apa yang kamu bicarakan sama Revan di padang rumput tadi?"
Valeria terdiam sejenak, memikirkan perkataan Damian. Matanya menatap lurus, ia menyadari ini adalah kesempatannya untuk mendapatkan jawaban.
"Baiklah," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Aku mau tanya sama kamu. Ada masalah apa antara kamu, Revan, dan mantan pacar kamu? Sebenarnya ada apa di antara kalian bertiga?"
Seketika, senyum Damian memudar. Ia menatap Valeria dengan pandangan sedikit tajam.
"Bukan urusan kamu," jawabnya dingin." Dan nggak semua hal kamu harus tahu."
Valeria mendengus kesal. "Hah, oke, terserah lo," jawabnya, membuang muka.
Tepat saat itu, suara bel berdering nyaring, menandakan pelajaran akan segera dimulai.
...Kring...! Krring...! Krriiingng...!...
Semua siswa yang masih berada di luar segera masuk dan menuju bangku mereka masing-masing. Begitu pula Tania. Ia masuk ke dalam kelas, dan matanya langsung membelalak melihat tempat duduknya sudah diduduki oleh Damian.
Dengan langkah cepat, ia menghampiri Damian yang duduk di samping Valeria, melipat kedua tangannya di dada.
Murid-murid lain, termasuk teman-teman Valeria dan Damian, hanya bisa melihat mereka.
Tania menatap Damian dengan kesal. "Damian, kamu ngapain di sini? Ini tempat duduk aku," katanya. Namun, Damian tidak peduli, hanya bersandar santai di kursinya.
Tepat saat ketegangan itu memuncak, Ibu Guru masuk ke kelas. "Ada apa ini, Tania? Kenapa kamu masih berdiri?" tanyanya.
"Ini, Bu," jawab Tania. "Damian duduk di kursi aku, padahal tempat duduknya bukan di sini, di belakang sama teman-temannya."
Ibu Guru mengangguk, lalu menatap seluruh kelas. "Baiklah, sebenarnya hari ini Ibu memang akan mengatur tempat duduk kalian, anak-anak. Selama ini kalian itu terkadang duduknya selalu berpindah-pindah, dan termasuk itu kamu, Damian," katanya sambil menunjuk ke arah Damian.
"Jadi, Ibu sebagai wali kelas kalian akan mengatur tempat duduknya. Ibu mohon, setelah Ibu mengaturnya, kalian jangan berpindah-pindah lagi. Harus tetap di situ sampai Ibu yang mengatur kalian lagi."
Para murid yang mendengar itu tampak kesal dan sedikit kecewa. Beberapa di antaranya berujar, "Yah, Ibu, jangan Bu..." ucap Salah satu murid .
" Iya bu, kita udah nyaman gini. " sahut Salah satu murid lainnya.
Ibu Guru mengangkat tangannya. "Sssstt! Diam, tenang kalian semua! Selain itu, Ibu akan mengatur tempat duduk kalian juga menjadi perempuan dan laki-laki," lanjutnya.
Seketika, semua murid wanita berteriak "Apa?! Nggak mau Bu. Jangan! " sementara para murid laki-laki ada yang senang dan ada pula yang tidak senang dan terlihat pasrah. Ibu Guru kemudian melihat ke arah Damian, seolah ingin memulai dari situ.
"Jadi, Damian..." katanya, menunggu Damian membalas tatapannya.
Ibu Guru menatap Damian. "Jadi, kamu mau tetap duduk di situ, di samping Valeria, atau tidak?"
"Iya, Bu," jawab Damian, tanpa ragu sedikit pun.
Ibu Guru kemudian beralih menatap Valeria. "Valeria, bagaimana dengan kamu?"
Valeria membuka mulutnya, "Aku..."
Belum sempat Valeria melanjutkan perkataannya, Damian dengan cepat menyahut. "Dia mau kok, Bu. Iya, kan, Valeria?" Damian menoleh ke arah Valeria, senyumnya tipis tapi penuh ancaman.
Valeria hendak membantah, "Bo..." namun kata-katanya terpotong. Damian dengan cepat meraih kepalanya dari samping dan mengangguk-anggukkannya, seolah Valeria setuju. Valeria terkejut, matanya membelalak kaget.
Damian mendekat, berbisik pelan ke telinga Valeria. "Kalau lo nggak mau duduk sama gue, gue akan membuat Revan babak belur," ancamnya.
Valeria terdiam, membeku di tempatnya. Ancaman Damian begitu nyata, menusuk telinganya. Matanya yang membelalak menatap Damian, yang kini menarik diri dengan senyum kemenangan yang kejam. Valeria tahu, dia tidak punya pilihan. Kekesalannya seketika digantikan oleh ketakutan yang mencekam.
Ibu Guru, yang tidak menyadari drama yang baru saja terjadi, mengangguk puas. "Baiklah. Kalau begitu, Tania, kamu bisa duduk di bangku belakang, ya," katanya.
Tania yang masih kesal akhirnya pasrah dan berjalan menuju bangku yang ditunjuk Ibu Guru. Ibu Guru pun mulai mengatur tempat duduk siswa lainnya, satu per satu, memasangkan mereka secara acak. Suasana kelas kembali gaduh dengan bisik-bisik, tetapi Valeria tidak mendengarnya. Pikirannya hanya terisi oleh satu hal: keselamatan Revan.
Damian di sampingnya sesekali tersenyum tipis, menikmati kemenangannya. Valeria mencoba menjauhkan badannya, menempel pada sisi meja yang berlawanan dari Damian, seolah jarak fisik bisa menjauhkan ancamannya. Ia memandang ke depan, berpura-pura mendengarkan pelajaran, namun otaknya terus bekerja. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan Damian. Ia harus melindungi Revan.
Ibu guru pun mulai mengakhiri pelajaran, suaranya mengalun lembut di telinga Valeria yang tidak benar-benar mendengarkan. Sementara itu, Damian di sampingnya duduk dengan santai, terkadang melirik ke arahnya dengan senyum tipis yang penuh makna.
"Baik, anak-anak. Sampai di sini pelajaran kita hari ini. Jangan lupa pekerjaan rumahnya dikerjakan," kata Ibu Guru, lalu beranjak keluar kelas.
Para siswa mulai bersiap-siap, mengemasi buku mereka dan berbisik-bisik, menandakan kegembiraan karena sekolah akan usai. Namun, bagi Valeria, tidak ada kelegaan. Ia merasakan tatapan Damian, yang kini beralih menatapnya lurus.
"Valeria," panggilnya pelan. "Ayo ikut aku sebentar. Kita belum selesai bicara."
Valeria menelan ludah, dadanya berdebar kencang. "Aku... aku mau langsung pulang," jawabnya, suaranya bergetar.
Damian tidak bergeming, senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi yang tajam. "Jangan coba-coba lari. Aku tidak suka main-main."
Suara bel pulang sekolah berbunyi nyaring, memecah keheningan di antara mereka. Damian bangkit dari kursinya, dan menatap Valeria. "Ayo."
Valeria mencengkeram tasnya erat. "Ke mana?" tanyanya, suaranya pelan dan bergetar.
Damian tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap Valeria dengan tatapan tajam, lalu melirik ke arah pintu kelas, seolah mengatakan bahwa ia tidak akan menerima penolakan. Tanpa menunggu persetujuan Valeria, Damian berbalik dan mulai berjalan keluar.
Valeria terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Pikirannya dipenuhi bayangan Revan yang babak belur. Dengan berat hati, ia bangkit dari bangkunya, lalu mengikuti Damian keluar dari kelas, melewati murid-murid lain yang juga bergegas pulang.
Sementara itu, di kejauhan, Revan, Liam, dan Kian sudah keluar dari kelas dan berjalan menuju parkiran. Tawa dan obrolan mereka terhenti saat Revan melihat sepasang siluet berjalan di depannya. Itu Valeria, yang berjalan mengikuti Damian.
Ekspresi Revan seketika berubah. Senyumnya menghilang, digantikan oleh kerutan tajam di keningnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik arah dan mulai mengikuti mereka.
"Eh, Revan? Mau ke mana?" tanya Liam, bingung.
"Kok tiba-tiba balik arah?" timpal Kian.
Revan tidak menjawab, langkah kakinya semakin cepat. Melihat keseriusan di wajah Revan, Liam dan Kian saling pandang, lalu tanpa pikir panjang, mereka pun menyusul di belakangnya. Mereka berjalan dengan jarak aman, memastikan Damian dan Valeria tidak menyadari kehadiran mereka.
Damian membawa Valeria ke area taman belakang sekolah yang jarang dilalui murid. Tempat itu sunyi, hanya dihiasi bangku-bangku tua dan beberapa pot bunga yang dibiarkan begitu saja. Valeria berdiri di hadapannya, napasnya sedikit memburu, bukan karena lelah, melainkan karena rasa cemas yang semakin menjadi.
"Jadi, apa yang kamu mau?" tanya Valeria, mencoba menyembunyikan getaran dalam suaranya.
Damian tersenyum sinis, lalu mendekat. "Santai saja, Valeria," bisiknya. "Aku hanya ingin bicara."
Di balik semak-semak yang rimbun, Revan, Liam, dan Kian bersembunyi. Mereka mengamati setiap gerakan Damian, wajah Revan tampak tegang. Ia mengepalkan tangannya, siap melompat kapan saja jika Damian melakukan hal yang tidak-tidak.
Damian menatap Valeria, senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi serius. "Aku tahu kamu penasaran, kan? Kenapa aku tiba-tiba bersikap seperti ini?" ucapnya.
Valeria terdiam, tidak membalas.
"Aku hanya ingin bilang," lanjut Damian, suaranya pelan tapi penuh ancaman. "Aku tidak suka kalau ada orang yang mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."
Valeria mengerutkan keningnya, semakin bingung dan cemas. "Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti," tanyanya, suaranya terdengar cemas.
Damian tersenyum sinis. Ia melangkah satu langkah lebih dekat, membuat Valeria refleks mundur. "Maksudku..." bisiknya, suaranya pelan tapi menusuk. "Aku tidak suka kalau ada orang yang mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."
Ia menatap Valeria dari atas ke bawah, seolah menilai sebuah benda. "Seperti kamu," lanjutnya, dengan nada penuh kepemilikan. "Kamu seharusnya jadi milikku."
Valeria terkejut, matanya membelalak tak percaya. Jantungnya berdebar kencang, bukan lagi karena takut, melainkan karena jijik. "Apa-apaan sih?" desisnya. "Lo gila ya?!"
Di balik semak-semak, Revan mengepalkan tangannya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya menyala marah. Ia menoleh ke arah Liam dan Kian, yang juga tampak terkejut.
"Dia sudah keterlaluan," bisik Revan. "Gue nggak bisa diam saja."
Revan mengepalkan tangannya, siap untuk melompat keluar dari persembunyian. Namun, sebelum ia sempat bergerak, Kian dengan cepat menahan lengannya.
"Tenang, Revan, kita dengerin dulu sebentar," bisik Kian, suaranya pelan dan tegas.
Revan menoleh, matanya menyiratkan kemarahan, tapi ia mengangguk. Mereka kembali mengamati, sementara Damian kembali mendekati Valeria.
" Lo kenapa? Lo setres? Nggak waras lo, ngaco. " tanya Valeria, suaranya bergetar marah dan kesal.
Damian tersenyum, kali ini senyumnya tidak terlihat manis sama sekali. "Aku serius, Valeria. Aku bisa mendapatkan apa pun yang aku mau. Dan sekarang, aku menginginkanmu," katanya, nadanya penuh dengan otoritas. "Kalau kamu tidak mau menurut, Revan tidak akan selamat. Aku bisa membuatnya babak belur, kapan saja."
Valeria terdiam sesaat, napasnya memburu. Namun, alih-alih takut, matanya kini dipenuhi amarah. Ia menatap Damian tajam, tidak lagi bergetar.
"Lo Aneh! Jadi maksud lo, lo ngancam gue gitu?!" desisnya. "Emang gue cewek apaan?! Gue bukan cewek yang bisa lo jadiin alat buat balas dendam lo! Yang bermasalah itu kalian berdua! Jangan bawa-bawa gue ke dalam masalah kalian, lo dan dia atau siapapun wanita yang katanya itu mantan lo!" sambil menunjuk kearah damian.
Damian terdiam, terkejut melihat perlawanan Valeria. Senyum sinisnya memudar, digantikan oleh ekspresi yang semakin gelap.
Di balik semak-semak, Revan menatap Valeria dengan takjub, sekaligus semakin khawatir. Gadis itu sangat berani, tapi ia baru saja membuat Damian semakin marah. Revan tahu, ia tidak bisa lagi diam saja.
Damian melangkah mendekat, pandangan matanya begitu dingin. "Kalau begitu, kita lihat saja. Kamu pikir aku cuma main-main?"
Valeria pun tertawa,
"Ha hahaha, " Tawa Valeria dan berkata, Lo pikir gue takut sama lo, Mion!" bentak Valeria, matanya berapi-api.
Kata-kata itu memecah keheningan, tetapi tidak dengan cara yang Damian harapkan.
Di balik semak-semak, Revan, Liam, dan Kian yang tegang seketika terdiam. Mereka saling pandang, mencoba mencerna nama panggilan aneh itu. Detik berikutnya, Liam tidak bisa menahan diri. Ia membekap mulut, bahunya bergetar, lalu tawanya meledak.
"Mion... hahaha, Mion!" bisik Liam di sela-sela tawanya, "dia bilang Mion!"
Liam tertawa terpingkal-pingkal, sampai ia harus memegangi perutnya. Revan dan Kian awalnya mencoba menahan, tapi melihat tingkah Liam, tawa mereka pun pecah.
"Diam, Li!" bisik Revan, tapi ia sendiri tidak bisa berhenti terkekeh.
Tawa mereka yang pecah dan terbahak-bahak itu akhirnya terdengar jelas oleh Damian dan Valeria. Keduanya seketika menoleh ke arah sumber suara, raut wajah mereka sama-sama kaget dan bingung. Damian terlihat sangat kesal, sementara Valeria sedikit malu.
Mendengar tawa itu, Damian menoleh ke arah semak-semak dengan tatapan penuh amarah. Ia melihat Revan dan teman-temannya di sana. Wajahnya merah padam karena malu dan kesal. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Damian berbalik dan pergi meninggalkan Valeria sendirian.
Tawa Revan seketika terhenti. Melihat Damian pergi, ia tidak menyia-nyiakan waktu. Revan melihat ekspresi wajah Valeria yang masih terkejut dan sedikit ketakutan. Tanpa pikir panjang, ia langsung keluar dari persembunyiannya dan berlari menghampiri Valeria.
Liam dan Kian juga ikut keluar, tetapi mereka menjaga jarak, memberi ruang untuk Revan dan Valeria.
"Val, kamu tidak apa-apa?" tanya Revan, napasnya sedikit terengah-engah. Ia berdiri di hadapan Valeria, menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
"Iya," jawab Valeria, suaranya terdengar terlalu cepat dan dipaksakan. Ia berusaha tersenyum, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Di dalam benaknya, ia tahu ia tidak bisa mengatakan apa pun tentang ancaman Damian. Menceritakannya hanya akan membuat Revan semakin dalam masalah.
Revan mengerutkan keningnya, tidak percaya. "Jangan bohong. Aku lihat semuanya, Val. Apa yang dia katakan padamu?" desaknya, suaranya penuh kekhawatiran.
Valeria menunduk sejenak, menghindari tatapan mata Revan. Ia berpikir cepat, mencari alasan yang paling masuk akal.
"Tidak ada apa-apa, Revan," jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan. "Dia... dia hanya menggangguku. Seperti biasa."
Valeria menatap Revan dengan tergesa-gesa. "Yaudah, aku mau pulang. Aku mau ke depan, takut Pak Edi nunggu lama."
Tanpa menunggu jawaban Revan, Valeria langsung berbalik badan dan berjalan cepat meninggalkan mereka bertiga. Revan menatap punggung Valeria yang menjauh dengan tatapan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Ia tahu Valeria berbohong.
Liam dan Kian, yang berdiri di belakang, akhirnya menghampiri. "Ada apa, Revan?" tanya Liam. "Valeria kenapa?"
Revan hanya menggelengkan kepala, matanya masih menatap ke arah Valeria yang sudah menghilang di balik tikungan koridor. "Aku tidak tahu. Tapi dia menyembunyikan sesuatu," gumamnya, suaranya terdengar serius. "Dan aku harus mencari tahu apa itu."
Bersambung....