NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Shaper's Ripples - Burning Vow

Matanya terbuka melebar dan nafasnya tertarik. Hanya mendapatkan bahwa lantai keras dan dingin berganti dengan seprai keputihan dan ruangan sunyi. Nafasnya beradu kencang dan sengau suaranya memecah keheningan. Ia menoleh lurus dengan perasaan kengerian. Tangannya meraup leher miliknya dan menepuknya berkali-kali.

Perasaan itu begitu jelas. Sensasi dimana lehernya setengah terputus. Sensasi dimana arterinya menyemprotkan cairan darah. Menyita kengeriannya sepenuhnya. Ditambah keheranan karena tidak tahu dimana ia sekarang. Ini bukan kamar kecilnya, bahkan kamar tidurnya. Terlebih ia terpekik saat melihat gaun kurang bahannya. Putri macam apa yang menggenakan baju tidur setipis ini?

Ia menggerakkan kakinya, menyentuhkan tumit penuh kehati-hatian ke marmer dan terkejut. Menarik lagi kaki telanjangnya ke atas. Sebelum kamar lain yang tidak dikenalnya terbuka dan menampakkan seorang pria.

Ia terkesiap dan hampir terjungkal.

“Ada apa denganmu?”

Wanita ini menolak tangan yang akan menyentuhnya, tidak menjawab apapun. Matanya bertentangan dan pikirannya kacau balau. Tangannya menarik kain putih tebal dan menariknya ke atas. Hampir seperti anak kecil yang takut untuk diculik.

Di sisi lain lawan jenisnya berhenti mendekat, merasa bingung akan reaksi yang ditampakkan olehnya. Keduanya menatap dalam keheningan, tidak berbicara apapun. Hingga wanita itu membuka mulutnya, menanyakan pertanyaan lain.

“Bukankah seharusnya aku mati? Mengapa aku malah terbangun disini?”

Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Caroline. Tangannya sedikit bergerak, namun kakinya diam di tempat seperti patung. Rasanya dia seperti terkejut, kaku, dan takut? Dia yang menjaga jarak, beberapa detik kemudian tiba-tiba keluar dari kamar.

Caroline menggaruk kepalanya dan mengernyit. Meraba sekali lagi dan menemukan karet kecil melekat di rambut. Mengamati beberapa saat sebelum menyentuh tempat lainnya. Rambutnya kusut sekali, bahkan sudah ada yang rontok di tangannya saat ia selesai meraba-raba.

Lebih rapuh. Tetapi warna rambutnya sama persis. Tidak ada perbedaan yang begitu besar antara tubuh dulunya dan saat ini.

Dia menyebarkan fokusnya ke segala penjuru. Berbagai benda sama sekali tidak dikenal olehnya. Sampai dia mendongak ke atas, terkejut karena penerangan disini justru datang dari benda bulat kecil, bukan lilin.

Saat ia sibuk dengan pikirannya. Lelaki yang tadinya keluar tergesa-gesa sudah masuk lagi. Di tangannya ada makanan, obat, dan air putih. Dia mengaduk bubur, meniup, dan mengulurkannya pada perempuan itu.

“Lin, makan dahulu sebelum meminum obat.”

Hmm… cukup perhatian. Tunggu, panggilan namanya. Sama.

Segala pikiran buruk dan rencana yang akan ia lakukan hangus saat wangi sari ayam dan daun bawang memasuki hidungnya. Perutnya bergemuruh. Terutama bayangan dimana ia kekurangan makan saat di penjara, semakin membuatnya kelaparan. Dia tidak peduli apakah itu beracun atau tidak, ia hanya ingin makan.

Saat Caroline mengambil suapan pertama, matanya berkaca-kaca. Sudah lama sekali semenjak ia makan layak. Masih hangat, tidak berbau amis, bahkan basi. Tidak ada juga tikus yang berkeliaran dan menggerogoti mangkuk makanannya. Perempuan itu menelannya dengan susah payah.

Laki-laki di hadapannya sudah duduk menyamping. Dia memperhatikan Caroline dalam diam dan mengernyitkan keningnya. “Lin?”

Tidak mendengar panggilannya, Caroline menggerakkan tangan dan memasukkan suapan yang lebih besar ke mulutnya. Dia ketagihan dan tidak bisa berhenti. Sebelum menelannya habis, ia sudah mengambil lagi suapan baru dan memakannya sembarang hingga bawah wajahnya dipenuhi sisa bubur.

Tangannya ditahan dan ia melihat pria pembawa bubur itu, menatapnya tenang. “Pelan-pelan,” katanya. “Masih ada sepanci bubur di dapur, aku akan mengambilkannya lagi jika belum kenyang.”

Caroline melihatnya mengambil tisu dan disapu ke wajahnya. Sentuhannya penuh kehati-hatian sampai ia menyadari bahwa jari si lelaki agak gemetaran. Akhirnya Caroline mengambil tisu di wajahnya dan mengelap lebih bersih. “Tanganmu gemetaran.. aku saja sendiri.”

Setelah masalah tisu itu, Caroline sudah jauh lebih tenang. Makannya tetap lahap, namun tidak lagi seperti orang kelaparan tujuh hari tujuh malam. Ia menambah sampai tiga kali, rasanya dengan makan seperti ini, ia sudah mengobati rasa lapar yang ia alami saat dipenjara di kehidupan dulu. Yang pasti, ia baru berhenti meminta lagi saat perutnya terasa begah.

Sadar sepenuhnya, Caroline mulai penasaran dengan pria di depannya. “Namamu..?”

“Pratama,” jawab lelaki itu dan saat bersamaan menyodorkan tiga biji lonjong. “Dua suplemen dan satu obat. Agar kamu.. pulih lebih cepat.”

Caroline menerimanya dan menelan obat itu dengan air putih. Oke. Jadi dia adalah Pratama. Selesai menelannya, dia bertanya lagi. “Tidak masalah jika kupanggil Pram?”

Pram menggeleng. “Panggil sesukamu.” Selesai merapikan semuanya, ia akan berdiri lagi tetapi ragu. Lalu dia mengajukan pertanyaan berbeda. “Apakah tidak ada pusing? Rasa nyeri?”

“Sedikit pusing..” Ucapannya terhenti karena Pram membetulkan bantal sandarannya. “..agak dingin juga.”

Beberapa detik kemudian, ia mendengar suara aneh dan angin yang menerpa tubuhnya jauh lebih hangat. Caroline tertegun. Apakah angin bisa dikendalikan sejauh itu? Dia kira..

Oke tidak jadi. Pram menambah selimut untuknya. Dia kira akan mendapat tambahan kain atau baju yang lebih tebal atau panjang saja.

“Ada yang lain?” tanyanya lagi tepat setelah memastikan Caroline tidak kedinginan.

Perempuan itu mengeluarkan tangan dan menghembuskan nafas. Agak meringis karena bau aneh dari mulutnya. Kemudian ia baru sadar bahwa badannya juga lengket dengan baju. “Kurasa aku harus membersihkan diri.”

Pratama menatap Caroline sesaat, kemudian mengangguk. "En. Kamar mandi ada disana.” Caroline teringat bahwa pertama melihatnya, lelaki itu keluar dari sana. “Biar kubantu."

Caroline tersentak. "Tidak perlu!" Dia segera menarik tangan dan memeluk dirinya. "Aku bisa sendiri."

Pratama mengangkat satu alisnya, lalu mendesah kecil. Tangannya meletakkan mangkuk ke meja dan tangannya terulur ke Caroline. "Aku bantu sampai ke kamar mandi, takutnya karena baru bangun, langkahmu oleng dan malah jatuh." Ucapannya lebih panjang kali ini tetapi terdengar meyakinkan. Maka perempuan itu agak berlutut di tempat tidurnya sebelum dipapah Pram.

Benar saja, tubuhnya mudah bergoyang kesana-kemari. Rasanya seperti ranting yang patah hanya dengan tiupan kecil. Caroline diam-diam berterima-kasih tetapi tetap saja tubuhnya agak tegang. Rasanya kehangatan di tangannya masih tidak nyata. Posturnya bertambah stabil setelah berjalan beberapa langkah.

Pram membuka pintu, masih menahan Caroline hingga wanita itu bersandar di dinding. Dia menunjuk ke sebelah kanan pintu kamar mandi dengan dagunya. "Handuk bersih ada di almari. Handuk warna merah di baris kedua."

Caroline mengangguk kaku. Setelah Pratama berbalik untuk keluar dari kamar, Caroline baru menyadari masalah barunya.

Dia sama sekali tidak tahu apa yang pertama harus ia lakukan! Dia masih belum melepaskan bajunya karena sudah kebingungan parah dengan kamar mandi ini. Bahkan ia tidak tahu dimana air mandinya berada.

Ini bukan kamar mandi yang dikenalnya. Tidak ada bak air besar atau gayung dari tempurung kelapa. Sebaliknya, ada sebuah kotak kaca ber-embun dan selang besi berkilau. Dia mengamati tombol-tombol yang tidak dikenalnya, mencoba menebak cara kerjanya. Sebelum menyentuh tombol, pintunya diketuk lagi.

“Masuklah.”

Pram masuk dengan mata terpejam. Caroline berbicara lagi, “Aku masih memakai baju, buka saja matamu.”

Pram membuka matanya. Lalu ia menggantung baju ganti secepatnya. “Ini bisa dipakai setelah membersihkan tubuh.” Dia hampir membuka pintu sebelum berhenti di tempat. “Apakah ada masalah?”

Pram merasa bahwa Caroline sama sekali belum membuka pakaiannya setelah ditinggal sepuluh menit. Jelas ada masalah. Tetapi ia berbasa-basi dengan wajah menghadap pintu dan membelakangi perempuan itu.

“Ya, kurasa.” Caroline keluar dari kotak kaca dan bertanya, “Aku lupa cara memakai semua barang disini dan tidak tahu apa yang harus kugunakan untuk membersihkan diri.”

Hening sejenak. Pram berpikir dalam hatinya. Apakah amnesia yang disebutkan dokter sama halnya dengan ini? Tetapi sampai lupa cara menggunakan alat mandi bukankah agak parah?

Berhenti memikirkannya, Pram maju dan mengenalkan shampoo, sabun, pasta gigi, sikat gigi dan letaknya. Membedakan yang mana miliknya dan milik Caroline. Barulah menyebutkan shower, bak mandi, kloset, dan pemanas sekaligus memperagakan cara penggunaannya.

“…Oh.” Caroline mengerti, namun juga kurang mengerti.

Pram mendesah kecil. Mengulangi perkataannya.

"Jadi yang ini untuk rambut, yang ini untuk badan?" Dia menunjuk botol sampo dan sabun cair secara bergantian.

“Terbalik," jawabnya sabar. "Pelan-pelan saja, nanti juga terbiasa."

Dia mengamati ekspresi Caroline yang masih diliputi kebingungan. Perilakunya benar-benar seperti orang yang baru pertama kali melihat benda-benda ini, bukan hanya sekadar lupa. Pram harus bertanya lagi ke dokter nantinya.

"Ini, apakah harus dilakukan setiap hari?" tanya Caroline, tangannya memegang sikat gigi. Di masa lalu, bahkan mandi tidak sampai tiap hari dan tidak ada pembersih sebanyak ini dari atas hingga bawah tubuh.

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!