Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Keluarga Richard Wijaya.
Cia turun dari kamarnya dengan penampilan formal yang sangat elegan. Tangan kanan gadis berusia dua puluh lima tahun itu menjinjing sebuah tas bermerk, dengan harga puluhan juta.
Menjadi anak gadis satu - satunya di tengah keluarga Wijaya, Cia sangat di manjakan oleh semua orang - orang terkasihnya. Tidak hanya mendapat kasih sayang dari papi Richard dan mami Renatta, namun juga ayah Dirga dan ibu Gista sangat menyayangi Cia.
Terlebih Gyan. Pemuda itu sangat memanjakan dan selalu menuruti keinginannya.
“Selamat pagi semuanya.” Ucap Cia ketika masuk ke dalam ruang makan.
Sang papi telah menempati kursi kepala keluarga. Mami Renatta tengah mengisi piring dengan makanan, sementara Raymond Orlando duduk di salah satu kursi sembari bermain ponsel.
Cia mencium satu persatu pipi orang tuanya.
“Akhirnya calon Manager keuangan Wijaya Group datang juga. Aku hampir pingsan menunggu kakak turun.” Ucap Raymond sembari menyimpan ponsel di dalam saku jaket yang ia gunakan.
“Berlebihan sekali.” Cibir Cia. Gadis itu duduk di samping sang papi.
“Bukankah aku benar? Kakak akan menjadi calon Manager keuangan ‘kan?” Tanya Raymond lagi,
“Aku hanya magang untuk mengisi waktu luang.” Jawab Cia asal.
Raymond menganga mendengar ucapan sang kakak. “Papi, apa benar yang kakak katakan? Dia hanya magang?”
“Jangan dengarkan ucapan kakakmu.” Jawab papi Richard.
Pria berusia enam puluh enam tahun itu menatap putra dan putrinya secara bergantian.
“Kamu juga persiapkan diri. Belajar yang benar, karena kamu adalah calon wakil direktur utama yang akan menggantikan ayah Dirga nanti.” Imbuh papi Richard kemudian.
“Aku?” Raymond menunjuk dirinya tak percaya.
“Pi, ‘kan ada si kembar. Kenapa harus aku?” Imbuh pemuda itu.
“Memang seperti itu, Ray.” Mami Renatta menjawab pertanyaan sang putra sembari meletakkan piring berisi mie goreng kesukaan pemuda itu.
“Sudah tradisi di keluarga besar kita. Kursi kepemimpinan di tempati oleh masing - masing anak laki - laki tertua, dari papi dan ayah kalian.” Imbuh wanita paruh baya berusia empat puluh delapan tahun itu.
Raymond tersenyum kecut. Ia sama sekali tidak tertarik menjadi pimpinan perusahaan.
“Dengar itu.” Cia menertawakan sang adik.
“Kenapa tidak kakak saja? Kan sama - sama cucu pertama.” Raymond kembali berpendapat.
“Karena suatu hari nanti aku akan menikah, dan ikut dengan suamiku.” Jawab Cia dengan santai.
Raymond pun mendengus pelan.
“Sudah. Berhenti bicara, dan nikmati sarapan kalian.” Potong papi Richard dengan tegas.
Cia dan Raymond pun mengangguk patuh. Mereka sarapan dengan tenang.
“Kakak ke kantor menggunakan mobil yang mana?” Tanya Raymond saat pemuda itu selesai sarapan.
Papi Richard telah memberikan mobil pribadi untuk kedua anaknya. Tetapi, Raymond sangat suka menukar kendaraannya dengan mobil mungil milik sang kakak.
“Kamu bawa saja. Aku berangkat dengan Gyan.” Ucap Cia setelah meneguk air minumnya.
Raymond tersenyum senang. Pemuda itu kemudian bangkit dan mengecup pipi sang kakak.
“Kakak yang terbaik.” Ucapnya kemudian.
Raymond pun berpamitan pada kedua orang tuanya.
“Kenapa tidak berangkat dengan papi saja? Kasihan ‘kan Gyan harus bolak - balik.” Ucap mami Renatta.
“Tidak apa - apa, mi. Aku tidak keberatan sama sekali.” Pemuda yang di bicarakan pun muncul. Menjawab ucapan Renatta sebelum Cia membuka mulutnya.
“Tuh mommy dengar langsung dari orangnya.” Celetuk Cia.
Gyan menyapa papi Richard dan mami Renatta. Kemudian duduk di samping Cia.
“Kamu sudah sarapan?” Tanya mami Renatta kemudian.
“Sudah, mom.”
“Baiklah. Kalau begitu, kita berangkat sekarang. Papi akan mengenalkan kalian pada Manager dan Direktur yang lain.” Ucap papi Richard kemudian.
Gyan dan Cia mengangguk bersamaan.
“Papi ikut dengan kita saja.” Gyan memberikan tawaran.
“Tidak. Papi berangkat dengan sopir saja.” Papi Richard kemudian bangkit.
Renatta pun mengikuti. Mengantar hingga pintu utama.
“Kenapa firasatku mengatakan ada yang berbeda dengan sikap Gyan pada Cia?” Gumam mami Renatta saat melihat perlakuan manis Gyan yang membukakan pintu mobil untuk Cia.
“Tidak. Mereka sudah bersama sejak kecil. Wajar jika Gyan memanjakan Cia.” Imbuh wanita paruh baya itu lagi.
\~\~\~
Gyan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Jam kantor baru akan di mulai satu jam lagi. Jadi, mereka masih memiliki banyak waktu untuk bersama.
“Apa ada yang aneh dengan penampilanku?” Tanya Cia ketika menyadari Gyan yang selalu melirik ke arahnya.
Setelah lulus S2, ini untuk pertama kalinya mereka akan bekerja di kantor. Tentu Cia sebisa mungkin memaksimalkan penampilannya.
“Kamu selalu sempurna, Cia.” Ucap Gyan. Ia kembali melirik gadis yang duduk di samping kirinya itu.
Andai tidak ada batas tak kasat mata di antara mereka, Gyan sudah sangat ingin menyatakan perasaan yang ia miliki pada Cia.
“Lalu kenapa kamu selalu melirik aku, Gy?”
Gyan menyunggingkan sudut bibirnya. Ternyata, Cia menyadari jika sejak tadi ia tak berhenti melirik gadis itu.
Bagaimana Gyan bisa mengalihkan pandangannya? Jika ada bidadari cantik duduk di sampingnya.
“Apa kamu gugup?” Tanya Gyan kemudian. Ia tidak mau menjawab pertanyaan Cia.
“Sedikit. Lagi pula, aku hanya akan magang di departemen keuangan. Bukan di lantai atas seperti kamu.” Ucap Cia sedikit terkekeh.
“Kenapa tidak ikut denganku saja?” Gyan bicara dengan nada memelas.
“Memangnya kamu bisa mengajari aku? Kamu juga belum memiliki pengalaman kerja.” Cibir Cia.
“Apa kamu lupa? Aku sudah membantu papi dan ayah sejak mulai kuliah. Hanya saja aku bekerja dari rumah.” Tukas Gyan.
“Ah ya. Aku lupa jika kamu adalah calon direktur utama Wijaya Group.” Gadis itu kembali terkekeh pelan.
Gyan berdecak kesal. Cia selalu saja mengejeknya seperti itu.
Sama seperti Raymond, jika boleh meminta Gyan tidak ingin menjadi direktur utama. Ada banyak orang yang lebih berpontensi dari dirinya.
Namun aturan keluarga tidak bisa diubah atau pun ditentang.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu ada untuk kamu.” Cia mengusap lengan sepupunya itu.
Entahlah, mereka masih tergolong sepupu atau tidak. Karena yang sebenarnya saudara sepupu kandung itu adalah kedua ayah mereka.
Jadi kalau anak - anaknya di sebut apa? Duapupu? Lucu sekali.
Mobil Gyan pun tiba di pelataran gedung Wijaya Group. Plat nomor kereta besi itu terdeteksi sebagai salah satu pemilik perusahaan.
Maka, petugas keamanan meminta Gyan memarkirkan mobilnya di tempat khusus pemilik gedung.
Dari tempat parkir yang terletak di basemen, Gyan mengajak Cia naik ke lantai dua puluh untuk bertemu dengan papi Richard dan ayah Dirga terlebih dulu.
Kedua pria paruh baya itu nantinya yang akan mengenalkan mereka pada para Manager dan Direktur yang lainnya.
“Ingat dulu kamu sering membuat ulah dengan para petugas kebersihan?” Tanya Gyan pada Cia saat mereka masih berada di dalam lift.
Saat beranjak remaja, mereka berdua sudah jarang datang ke gedung berlantai dua puluh itu.
“Ya. Dan kita selalu menghabiskan jam kerja mereka dengan bermain bersama.” Cia mengenang kembali masa lalunya.
Kedua muda - mudi itu pun tergelak bersama.
...****************...