OBSESI SANG “CALON CEO”
Gyan tengah bersiap di dalam kamarnya. Hari ini pemuda berusia dua puluh lima tahun itu akan mulai bekerja di kantor Wijaya, sebagai calon direktur utama yang akan menggantikan posisi papi Richard — sepupu sang ayah, saat pria paruh baya itu pensiun nanti.
Pemuda itu, sekali lagi mematut diri di depan cermin. Memastikan penampilannya sudah sempurna atau belum.
Namun, ia merasa tidak puas. Gyan pun mengambil foto selfie dirinya di depan cermin. Kemudian mengirim gambar itu pada Gracia Aurora Wijaya. Sepupu wanita satu - satunya yang ia miliki. Sekaligus menjadi cinta pertamanya.
‘Apa penampilan ku sudah sempurna?’
Sebaris kalimat yang pemuda itu sematkan pada foto yang ia kirim.
Gyan berdecak pelan. Kebersamaan yang ia jalin dengan Cia sejak usia empat tahun itu, nyatanya telah membuat rasa cinta tumbuh di hati pemuda itu.
Ia menyadari perasaan itu saat mereka berusia tujuh belas tahun, di semester akhir kelas tiga SMA. Saat itu, ada seorang pemuda yang ingin menyatakan cinta pada Cia, Gyan merasa cemburu. Dan tidak ingin melihat gadis itu bersama pria lain.
Cemburu, bukan sebagai saudara, namun seperti seorang pria kepada lawan jenisnya.
Gyan selalu berusaha menepis rasa tak biasa yang tumbuh di hatinya. Bagaimana pun juga, mereka masih keturunan ketiga keluarga Wijaya. Dan dalam hal itu, pernikahan tidak boleh terjadi.
Maka Gyan pun menyibukkan dirinya dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi calon direktur utama. Namun, semakin Gyan mencoba menghilangkan rasa cintanya pada Cia, semakin besar pula rasa itu tumbuh di hatinya.
Ting!
Pesan balasan pun muncul di layar ponsel pemuda itu. Ia bergegas membukanya. Apapun tentang Cia, Gyan harus cepat tanggap. Tak membiarkan gadis itu menunggu terlalu lama.
‘Selalu sempurna.’
Cia membubuhkan emoticon mengedipkan mata di akhir kalimatnya.
‘Berangkat ke kantor jam berapa? Aku boleh ikut?’
Pesan kedua di kirim oleh gadis itu.
Gyan menyunggingkan sudut bibirnya. Hari ini, Cia juga akan mulai bekerja di kantor. Gadis itu akan bekerja di bagian keuangan.
Cia bukanlah calon wakil direktur utama. Karena, posisi itu akan di tempati oleh adik gadis itu suatu hari nanti.
Untuk saat ini, meski dua puluh satu tahun telah berlalu, kursi pimpinan dan wakilnya masih di tempati oleh Richard dan Dirga.
‘Aku sarapan dulu bersama yang lain. Tunggu, ya.’
Gyan membalas pesan itu. Kemudian menyimpan ponselnya di dalam saku jas yang ia gunakan.
Pemuda itu bergegas keluar dari kamarnya, karena Cia sudah mengatakan jika penampilan Gyan sudah sempurna.
Sembari bersenandung pelan, Gyan menuruni setiap anak tangga rumah mewah sang ayah. Ia dan kedua adiknya kini menempati kamar - kamar di lantai tiga.
“Selamat pagi, Bu.” Gyan mengecup pipi sang ibu yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka.
“Pagi, sayang. Tampan sekali kamu memakai setelan kantor seperti ini.” Puji ibu Gista melihat penampilan putra sulungnya.
Wanita yang kini berusia empat puluh delapan tahun itu menyunggingkan sudut bibirnya. Tak terasa waktu berlalu, putra sulungnya kini sudah beranjak dewasa.
“Ibu bisa saja.” Gyan menarik salah satu kursi meja makan untuk di tempati.
Tidak lama kemudian kedua adik Gyan, Ganendra Abhinaya, dan Gisendra Abhimanyu pun ikut bergabung.
“Pagi, Bu.” Pemuda kembar identik itu mengecup pipi sang ibu secara bersamaan.
“Pagi juga, sayang.” Ibu Gista membalas dengan mengusap lengan anak kembarnya secara bergantian.
Ganendra Abhinaya lahir lima menit lebih dulu, setelah itu baru Gisendra Abhimanyu. Mereka memiliki wajah yang sangat mirip. Yang membuat orang luar atau yang baru mengenal, akan sangat sulit membedakan wajah kedua pemuda itu.
Namun, untuk keluarga Wijaya mereka tidaklah sulit. Karena, ada tanda lahir yang membedakan keduanya.
Ganendra vlog- tahi lalat di bawah matanya, sementara Gisendra tidak.
“Pagi, kak.” Sapa Ganendra dan Gisendra pada sang kakak.
“Dimana ayah?” Tanya Gyan membalas sapaan adik - adiknya.
“Sepertinya masih di kamar.” Jawab Ganen sembari menempati kursinya.
Sementara, Gisendra masih berdiri membantu sang ibu menyiapkan sarapan.
Diantara ketiga putranya, si bungsu memang paling peka.
“Endra, aku mau telur yang matang.” Ucap Ganen ketika sang saudara kembar mengambil telur mata sapi, untuk peneman nasi goreng yang menjadi menu sarapan mereka pagi ini.
“Ini untuk kak Gyan.” Jawab Gisendra.
“Hari ini kakak mulai bekerja. Jadi, harus makan yang banyak.” Ucap Gisendra lagi, kemudian menyodorkan piring itu pada Gyan.
“Terima kasih, Ndra.” Ucap Gyan tulus.
Gisendra mengangguk pelan. Ia kemudian mengisi piring yang lain.
“Selamat pagi kesayangan ayah.” Ucap ayah Dirga saat memasuki ruang makan.
Meski kini sudah berusia enam puluh satu tahun, namun pria itu masih terlihat bugar, dan masih meninggalkan jejak ketampanan di wajahnya.
“Selamat pagi, ayah.” Jawab ketiga anak ayah Dirga dengan kompak.
“Pagi, sayang.” Ayah Dirga tanpa tau malu mengecup pipi sang istri di depan anak - anaknya.
Ketiga pemuda itu pun mengalihkan pandangan mereka.
“Abang.” Gerutu ibu Gista dengan mata mendelik.
Ayah Dirga tak menghiraukannya. Ia pun menempati kursi kepala keluarga.
“Apa kamu siap, Gyan?” Tanya ayah Dirga pada sang putra sulung di sela acara menikmati makanannya.
“Tentu, ayah. Kapan papi Rich akan pensiun?” Tanya Gyan.
“Apa kamu sudah ingin menggantikan posisinya?” Ayah Dirga berbalik melempar tanya.
Gyan terbatuk pelan. Ia kemudian meminum sedikit air putih. “Bukan begitu. Bukannya, ayah yang naik jabatan lebih dulu menggantikan papi Rich?”
“Ya. Tetapi, itu akan terjadi saat kamu sudah benar - benar bisa menjadi pemimpin.” Ucap Dirga lagi.
Pria paruh baya itu mengalihkan pandangan pada kedua putra kembarnya.
“Kalian juga persiapkan diri. Jangan main - main. Meski posisi wakil direktur nanti untuk Raymond, kalian akan tetap menempati posisi petinggi.”
Meski kedua anak kembarnya masih duduk di bangku kuliah semester lima, ayah Dirga harus tetap mengingatkan posisi mereka.
Sudah puluhan tahun berlalu. Wijaya group akan tetap dipimpin oleh para anggota keluarga. Namun begitu, mereka masih boleh memiliki usaha sampingan lainnya.
“Iya, ayah. Kami paham.” Jawab Ganendra dan Gisendra secara bersamaan.
Ibu Gista hanya menyimak percakapan para pria berbeda usia itu. Ia tidak pernah ikut campur urusan perusahaan. Wanita itu, memilih mengurus kafe milik sang suami.
Setelah sarapan, Ganendra dan Gisendra pamit pergi kuliah lebih dulu.
“Kamu berangkat bersama ayah ‘kan?” Tanya ayah Dirga pada sang putra sulung.
Gyan yang tengah mengetik sesuatu pada ponselnya pun melirik sang ayah sekilas.
“Maaf, Yah. Aku harus menjemput Cia. Dia akan merajuk jika aku tidak menjemputnya.” Ucap Gyan.
Pemuda itu kemudian bangkit, lalu berpamitan pada kedua orang tuanya.
Ayah Dirga menghela nafas kasar setelah Gyan menghilang di balik pintu ruang makan.
“Ada apa, bang?” Tanya Gista.
“Apa putra sulung kita tidak memiliki kekasih? Sampai kapan dia akan pergi bersama Cia saja?” Tanya ayah Dirga dengan serius pada sang istri.
“Apa Abang sudah ingin memiliki cucu?” Gurau ibu Gista.
“Bukan. Memiliki kekasih, bukan berarti ingin mereka menikah cepat. Tetapi, aku hanya ingin Gyan memiliki teman lain selain Cia.”
Ibu Gista memikirkan ucapan sang suami. Ada benarnya yang pria paruh baya itu katakan. Gyan sudah seharusnya memiliki teman wanita selain Cia.
...****************...
CATATAN AUTHOR
“Hallo teman Readers, berjumpa lagi di novel baru aku. Kali ini, kisah putra - putri dari keluarga Wijaya.”
“Mohon dukungannya, ya. Jangan lupa tinggalkan KOMEN, LIKE dan HADIAH juga boleh 😁”
TERIMA GAJI
SARANGBEO ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Teti Hayati
Sebenernya gpp kalo sepupuan, ditambah Dirga sama Richard juga bukan Ade Kaka kandung kan..
2025-07-26
2
☠ᵏᵋᶜᶟ🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳ɳҽˢ⍣⃟ₛ♋
bgus dong dia akur
2025-07-29
0
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
hadir.
2025-07-26
0