60 Hari Untuk Hamil
Langit mendung menggantung di atas kantor Eve sore itu. Jendela kaca di lantai delapan memantulkan bayangan wajahnya yang pucat, sementara suara hujan mulai mengetuk perlahan.
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir suara-suara yang terus berdengung di kepalanya sejak pagi: bisik-bisik rekan kerja, notifikasi grup keluarga, dan ... kabar itu.
Celline hamil.
Adik tirinya. Masih muda. Belum menikah. Tak tahu siapa ayahnya.
Atau setidaknya ... begitu katanya.
Dia meninggalkan kantor lebih awal tanpa banyak bicara, menyetir sendiri pulang ke rumah orangtuanya. Dia pikir, dia akan mendengar penjelasan.
Tapi ….
Di atas sofa ruang tamu, Celline duduk memeluk lengan Jenny—ibu mereka. Wajahnya sayu dan memelas, sementara Jenny menatap Eve seolah melihat sampah yang baru saja dibawa masuk.
Eve mendekat, berdiri di hadapan mereka. “Apa yang terjadi? Apa semua itu benar?”
Jenny mendengus pelan, senyum mengejek melintas di bibirnya. “Setelah semua ini, kau masih bisa bertanya seperti orang bodoh? Seolah-olah kau benar-benar tidak tahu apa-apa?”
“Kalau aku tahu, aku tidak akan repot-repot datang dan bertanya, Bu,” sahut Eve tajam. “Lagipula itu masalah Celline. Kenapa kau bicara seolah aku yang harus bertanggung jawab?”
Jenny mengangkat alis. “Kau sebut ini cuma masalah Celline?” Nada suaranya berubah. Matanya melotot. Lehernya mengeras.
“Celline tidak akan mengalami semua ini… jika bukan karena kau! Kau yang membuatnya begini! Semua ini salahmu!”
“Aku?” Mata Eve membelalak. “Bu, kalau kau tidak suka padaku, aku mengerti. Tapi menyalahkanku untuk sesuatu yang bahkan bukan urusanku? Itu keterlaluan.”
Jenny menyeringai kecil. “Kau ingin tahu kenapa aku berkata begitu?”
Celline mendadak berdiri, ekspresinya panik. Ia menggenggam lengan ibunya, menggeleng-geleng seolah memohon agar Jenny menghentikan kata-katanya.
Tapi Jenny menepis tangan itu dingin. “Tidak, Celline. Dia harus tahu. Sekarang.”
Tatapannya kembali beralih ke Eve. Kali ini tak ada lagi kepura-puraan. Hanya kebencian mentah.
“Kau mandul, Eve.”
“Kau tidak akan pernah bisa melahirkan keturunan keluarga Alison! Jadi kau harus terima—kalau wanita lain yang melakukannya untukmu. Bukan orang asing, tapi adik kandungmu sendiri.”
“Ibu ….” Celline terdengar gugup, mencoba menengahi. Tapi Eve sudah menatapnya seperti melihat kotoran di sepatu.
“Apa? Dia harus tahu!” sang Ibu meledak lagi. “Dia mandul! Untuk apa kau merasa bersalah, Celline? Bahkan keluarga Noah mendukung kalian! Mereka tahu ini satu-satunya cara punya pewaris!”
“Tapi Ibu tidak bisa bicara seperti itu—!” Celline mencoba meraih tangan Eve, namun tangan itu justru menampar udara, menolak.
“Jangan sentuh aku.”
Celline terdorong mundur, dan tepat saat itu, Noah masuk, menangkap tubuh wanita yang telah mengkhianati istrinya sendiri.
“Noah?” Celline terkejut, tapi lebih panik karena Eve menyaksikan semuanya.
Dia buru-buru melepaskan diri, berdiri menjauh.
Noah melangkah, wajahnya tenang seperti tak ada darah di nadinya.
"Eve, Celline mengandung anakku. Itu hanya ... hubungan satu malam. Tidak sengaja. Tapi dia hamil. Dia sempat ingin menggugurkan, tapi aku mencegahnya."
Seolah itu pembenaran. Seolah Eve hanya butuh alasan logis untuk dikhianati.
“Kami menyembunyikan ini demi perasaanmu, tapi kami tidak bisa terus berbohong.”
Kalimat itu menusuk Eve lebih dalam daripada pisau mana pun.
Ia tertawa getir. Pria yang dulu bersumpah akan menjaganya hingga maut, kini bicara soal anak haramnya sendiri tanpa rasa bersalah.
“Semua ini … sudah dibicarakan oleh keluargaku dan keluargamu,” lanjut Noah. “Kami tidak akan menceraikanmu. Tapi keluarga kami butuh pewaris, dan Celline akan memberikannya. Anak itu ... akan jadi milik kita.”
"Dan aku? Aku cuma penonton dalam keputusan kalian? Apa kau juga tidak mempertimbangkan bagaimana perasaanku, Noah?”
“Eve, aku bersumpah, setelah bayi ini lahir, aku akan—”
“Cukup, Celline.” Eve memotong. Tatapannya sedingin es. “Meskipun itu hanya satu malam ... kau menikmatinya, bukan? Kau menyukai tidur dengan suamiku. Jangan berpura-pura.”
“Dan sekarang kau ingin menyerahkan anak itu padaku?”
“Kalau kau memang senang memelihara anak dari suami orang, ambil saja prianya sekalian. Jangan jadi penjahat setengah-setengah.”
Ia berbalik dan pergi tanpa menoleh.
Mobilnya meluncur cepat, menuju satu-satunya tempat yang bisa memberinya pelarian: bar tempat Darren bekerja.
“Eve, aku sudah tahu kau akan datang malam ini.” Darren, bartender yang mengenalnya lebih dari siapa pun, menghampiri. “Pertunjukannya … luar biasa, bukan?”
Dia tahu. Dia tahu terlalu banyak.
Eve menatapnya. Matanya menyipit. “Kau juga sudah tahu dan kau tidak mengatakannya padaku?”
Namun Darren hanya mengangguk ringan. “Ya. Sehari sebelum ini. Noah sendiri yang menceritakannya padaku. Dia juga bilang kalau dia sendiri yang akan mengatakannya padamu.”
“Aku juga tidak menyangka atas semuanya. Sampai akhirnya … berita itu menyebar. Entah dari mana, padahal awalnya tidak. Sampai Celline hamil delapan bulan sekarang, dan semua orang baru mendengarnya.”
“Tutup mulutmu. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi mengenai mereka.” Eve menarik gelas dari tangan Darren, meletakkannya kasar ke meja. “Hanya malam ini, jangan biarkan gelasku kosong.”
Jam terus bergulir. Botol demi botol menipis. Senyum Eve memudar. Cahayanya mati perlahan.
“Cukup, Eve. Kau sudah minum terlalu banyak.”
“Aku baik-baik saja!” katanya sembari tertawa miring, tapi matanya buram. Suaranya gemetar. Dia bukan sedang mabuk. Dia sedang terluka.
Akhirnya, Eve bangkit. Sempoyongan. “Aku mau kamar mandi.”
Darren mengawasi punggungnya menghilang. Tapi setelah berjam-jam, Eve tak kembali.
Khawatir, Darren mencari ke seluruh ruangan, dari toilet ke ruang VIP, tapi Eve menghilang.
Mobilnya masih ada. Tapi dia tidak.
“Sialan. Harusnya aku tidak membiarkanmu sendiri,” geramnya. Kepalan tangannya gemetar.
Malam berlalu seperti mengedipkan mata.
Saat Eve terbangun, kepalanya seperti tertindih batu besar. Berat.
Pandangannya buram. Namun, dia sadar apa yang ia lihat bukan sesuatu yang biasa. Bukan kamarnya. Juga bukan kamar Darren.
Seorang pria sedang sarapan di dekat jendela. Telapak tangannya lebar. Alat makannya seperti sesuatu yang kecil di genggamannya.
“Siapa kau?” serunya panik.
“Orang yang cukup baik untuk tidak meninggalkanmu di toilet semalam,” jawab pria itu santai, menyuap tanpa menoleh.
Eve memeriksa tubuhnya. Bajunya asing. Tapi dia masih berpakaian lengkap. Tidak ada yang terasa janggal.
“Kita … kita tidak—”
“Berhubungan dengan wanita mabuk dan tak sadar bukan hobiku,” potong pria itu cepat. “Bajumu penuh muntahan kemarin. Jadi … ya, aku menggantikannya.”
Pria itu berdiri. Tubuhnya tegap. Dadanya lebar. Kaki panjangnya mendekat tanpa ragu. Tangan kanannya menggenggam segelas air, menyodorkan itu padanya dengan sebutir obat.
“Untuk menghilangkan pengarmu,” katanya.
“Terima kasih. Maaf merepotkanmu.”
Bibir pria itu bungkam, tapi matanya menelisik wajah Eve dalam-dalam.
“Jika saja kau jadi milikku, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari tempat tidur selama seminggu.”
Eve terkesiap. Kata-kata itu jatuh begitu saja—tanpa ragu, tanpa malu.
Buru-buru Eve menelan obat, menarik tasnya dari meja.
“Sekali lagi, terima kasih. Aku harus pergi.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments