Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.
Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.
Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.
Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.
Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2: Kebangkitan Sang Terluka
Suasana kelas berubah drastis.
Cahaya biru yang semula samar kini menyala tajam, menyelimuti ruangan dengan aura yang tak bisa dijelaskan oleh logika dunia.
Lingkaran sihir raksasa terbentuk sempurna di tengah kelas—tepat di bawah kaki Oiko.
“APA INI?!”
Hana menjerit, mundur sambil memeluk tasnya.
“PRANK?!! INI BUKAN PRANK KAN?!”
Zinta panik, nyaris tersandung saat mundur.
Takamura, yang biasanya paling santai, kini wajahnya pucat pasi. Daniel hanya bisa menatap kosong ke cahaya itu, matanya membesar.
Veron, si raja kelas, melangkah maju. “Berhenti main-main, Oiko. Matikan ini sekarang juga!!” suaranya keras—tapi penuh ketakutan yang ditutup-tutupi.
Tapi Oiko…
tidak berkata sepatah pun.
Ia hanya berdiri di pusat lingkaran sihir itu, diam, mata terbuka lebar, namun tak bergetar. Seolah tubuhnya bukan lagi tubuh seorang manusia biasa.
Simbol-simbol bercahaya berputar di udara.
Udara bergetar.
Lantai berdenyut seperti jantung.
Seluruh dunia seolah menghisap napas terakhirnya sebelum… terjadi sesuatu yang tak bisa diulang.
...
DORRRRRRR!!!
...
Ledakan cahaya membutakan semua orang.
Suara lonceng menggema, bukan dari sekolah... tapi dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dari dimensi lain.
...
“Pengangkatan Dimensi Dimulai.”
Sebuah suara… besar, berat, surgawi, namun mengerikan menggema ke dalam pikiran setiap murid.
...
Proses pemindahan… DIMULAI.
...
...
“APA?!!”
“APA MAKSUDNYA DIPINDAHKAN?!”
Tubuh-tubuh mulai melayang—satu per satu murid terangkat ke udara oleh kekuatan tak terlihat.
Jeritan menggema. Meja-meja berhamburan. Papan tulis meledak. Jendela-jendela pecah, dan realitas seolah runtuh seperti kaca retak.
Veron menjerit... tapi tak bisa bergerak.
Zinta, Takamura, Daniel, bahkan Hana pun mulai menghilang dalam cahaya.
Oiko menatap tangannya. Cahaya ungu tua berdenyut dari dalam kulitnya.
Ia tahu. Ini bukan kebetulan. Ini panggilan. Ini… awal dari segalanya.
“Transmigrasi ke dunia Ravellion telah dikonfirmasi. Selamat datang, para calon Raja dan Korban.”
...
...
...
...
Dan dalam sekejap…
Semua menghilang.
Kelas kosong. Sekolah sunyi.
Seolah mereka tak pernah ada.
semua murid teleportasi...
Ibukota Kerajaan Ravellion: Megah, luas, dan ramai.
Langitnya cerah, matahari satu menyinari hamparan bangunan bata putih dan menara-menara megah.
Di tengah kota, terdapat bangunan terbesar kedua setelah istana:
Balai Kota Agung Ravellion, tempat kerajaan menggelar pertemuan penting.
Hari ini, aula megahnya dipenuhi oleh seluruh siswa yang dipanggil dari dunia lain, sebanyak 32 orang.
Para bangsawan dan rakyat berdiri di balkon atas, menyaksikan prosesi penting ini.
Di depan mereka, berdiri Raja Aldrion Ravellion V, Penyihir Agung Kerajaan, serta para jenderal dan ksatria utama.
...
Pengujian Bola Sihir
Di tengah aula berdiri bola sihir besar mengambang, bersinar lembut biru.
Bola ini mampu mengukur aura, potensi, dan level kelas sihir.
Semua mata tertuju pada bola itu.
Raja berdiri dan berbicara dengan suara lantang:
“Kalian semua adalah yang terpilih dari dunia lain.”
“Kini saatnya menunjukkan nilai kalian di hadapan kerajaan ini.”
Veron Maju
“Veron, kau lebih dulu,” ujar Penyihir Agung.
Veron melangkah maju penuh percaya diri.
Bahkan sebelum menyentuh bola, aura sihirnya sudah meledak keluar.
Angin bergemuruh di aula. Rakyat bersorak.
Tangannya menyentuh bola.
[Kelas: Blade King]
[Atribut: Elemen Angin dan Petir]
[Peringkat: S]
Sorak-sorai terdengar dari balkon.
“Pahlawan sejati!”
“Itu dia harapan kita!”
Raja tersenyum puas.
...
Giliran Oiko
“Berikutnya… Oiko,” ucap Penyihir Agung, ragu-ragu.
Oiko melangkah dengan gugup. Wajahnya tenang, tapi kakinya gemetar.
Ia meletakkan tangannya di atas bola.
...Hening.
...Tak terjadi apa pun.
Bola sihir tetap diam. Tidak ada cahaya. Tidak ada aura. Tidak ada bunyi.
...
[Kelas: Tidak Teridentifikasi]
[Atribut: Tidak Terdeteksi]
[Peringkat: Tidak Layak]
Hening.....
.
.
.
Kemarahan Raja
“Apa ini!? Ini penghinaan!”
Raja berdiri. Matanya memerah karena murka.
“Kau… bukan pahlawan. Kau bukan siapa-siapa!”
“Bawa dia pergi dari sini! Campakkan dia ke lembah salju! Anak ini adalah aib bagi kerajaan!”
Dihina, Dilempar, Diseret
Penjaga istana langsung mencengkeram tangan Oiko.
Dia terhuyung, mencoba melawan, tapi tubuhnya lemah.
“Tunggu… aku… aku belum…”
BRAK!
Salah satu ksatria menendangnya dari atas tangga aula.
Oiko jatuh ke bawah.
Kepalanya membentur batu. Darah mengalir dari pelipisnya.
Para murid menatapnya dengan jijik.
Rakyat bersorak mencemooh.
“Dasar lemah.”
..
“Pantas dibuang.”
..
“yatim piatu juga dia!”
Veron tertawa keras dari atas panggung.
“Hahaha! Inilah perbedaan kita, Oiko...”
...
Oiko terbaring di lantai, darah mengalir, wajahnya menyentuh tanah dingin.
Namun matanya terbuka… menatap langit biru dari sela pintu aula…
Dan semua tatapan itu—tatapan hina, sinis, penuh benci—terpatri dalam jiwanya.
Diseret.
“Seret dia sekarang!” bentak Raja.
Dua penjaga kerajaan menarik Oiko yang terluka, menyeret tubuhnya di jalanan batu kota.
Warga menyingkir, menghindari darahnya, mencaci tanpa belas kasihan.
“Pergi dan mati saja di lembah beku, anak gagal!”
.
.
.
Sebelum kesadarannya hilang, Oiko mendengar suara dingin Raja:
“Semoga dia membeku di sana sebelum monster memakan jasadnya.”
...
...
Akhir Bagian
Saat gerbang kota tertutup, dan kereta beroda baja membawanya ke utara…
Oiko mengerang pelan dalam tidur berdarahnya.
“Aku... akan kembali... dan... aku akan buat... kalian semua... merangkak di bawah kakiku…”
oiko tertidur di penuhi darah di baju sekolah nya...
Langit masih biru.
Tapi dalam hatinya... badai telah lahir...
...
...
...
Suara roda kereta berhenti mendadak.
Suara derap kaki kuda menghilang di balik hembusan angin salju.
“Bangun. Turun sekarang.”
Suara berat, dingin, tanpa emosi, membangunkan Oiko dari pingsannya.
Matanya terbuka perlahan, pandangannya kabur oleh rasa sakit.
Wajahnya memar. Darah kering menempel di pelipis dan pipi.
Bajunya—seragam sekolah—lusuh, sobek, dan beku oleh darah serta salju.
Ia ditarik paksa dari dalam kereta dan dijatuhkan ke tanah keras bersalju.
Tanpa sepatah kata pun, pengemudi menarik kembali tali kekang.
Kereta berputar dan berlalu…
…meninggalkannya sendirian.
Angin salju menerpa wajahnya.
Oiko terbatuk. Tubuhnya menggigil hebat.
“Di mana... ini...?” gumamnya lemah.
Ia berusaha berdiri, tubuhnya limbung, hampir jatuh lagi.
Langkahnya goyah.
Salju menutupi kakinya yang tak lagi terasa.
Ia berjalan tanpa arah.
Lurus... lalu berhenti.
Hembusan salju begitu tebal, menutup pandangan.
Namun—sesuatu menangkap sudut matanya.
Ke kanan.
Sebuah celah gelap... seperti mulut naga yang menganga.
Sebuah goa.
“…mungkin… aman... di sana…”
Suaranya nyaris tak terdengar.
Napasnya terputus-putus.
Ia menyeret tubuhnya.
Langkah demi langkah.
Pelan… tapi pasti.
“S-sedikit… lagi…”
Setiap gerakan seperti mengangkat batu besar di atas tubuh yang remuk.
Namun ia tak berhenti.
Matanya tetap menatap mulut goa.
Badai meraung di belakang.
Salju menyelimuti rambut dan tubuhnya.
Kakinya nyaris mati rasa. Tangannya beku.
Namun tatapan Oiko... tetap hidup.
Akhirnya...
Ia sampai.
Tepat di depan goa, di ujung langkah terakhir...
Tubuhnya ambruk.
BRUK.
Darah dari pelipisnya kembali mengalir…
Lidahnya bergetar, mencoba bicara… tapi tak ada suara.
Oiko tak sadarkan diri.
Terbaring diam di ambang batas…
antara hidup dan mati.
Antara dunia manusia... dan kekuatan yang tersembunyi di dalam kedalaman goa itu.
Di luar, badai terus menggila.
Namun di dalam...
gelap...
hening...
dan sesuatu...
sedang terbangun.
...