‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Santapan Malam
...•••Selamat Membaca•••...
Maula duduk membatu di sudut ruangan, memeluk lutut, napasnya pendek-pendek. Peluh dingin membasahi pelipisnya, meski udara dalam rumah batu itu tetap lembap dan dingin.
Di sampingnya, Sofia masih tertidur, dan Reba menggeliat kecil tanpa sadar bahwa dunia mereka sudah mulai terbelah dua, antara hidup dan disembelih hidup-hidup.
Tangan Maula gemetar dengan pikiran yang kacau.
Bahkan lidahnya kelu untuk membangunkan teman-temannya. Bayangan tubuh sang sopir yang disayat perlahan itu seperti terukir di pelupuk mata. Bunyi daging disobek. Darah yang tidak menyembur liar, tapi mengalir tenang, seperti sungai kecil yang lambat karena mereka tahu titik-titik urat mana yang dipotong agar nyawa tak cepat habis.
Ia hanya bisa duduk dan menahan muntah. Karena isakan Maula yang tertahan begitu, Sofia dan Reba akhirnya terbangun lalu dengan wajah panik mendekati Maula.
“Kamu kenapa Mau? Ada yang sakit?” tanya Sofia dengan nada khawatir.
Maula semakin pucat dan lidahnya makin kelu, posisi mereka tidak aman sekarang.
“Bangunkan mereka semua, kita harus pergi dari sini, sekarang.” Maula berkata dengan nada berbisik pelan, Sofia dan Reba saling pandang.
“Ada —”
“Sshhtt.” Maula mengisyaratkan pada Reba agar menurunkan suaranya.
Reba membangunkan rombongannya, mereka semua bangun dan ikut panik melihat ekspresi Maula yang tengah ketakutan.
Maula menceritakan apa yang dia lihat di kamar seberang kamar mereka ini dan Jorge pergi sendiri untuk memeriksa kebenarannya.
Sekitar lima menit setelahnya, Jorge kembali dengan ekspresi tak jauh beda dengan Maula.
“Jika kita terus di sini, maka tak ada yang akan melihat matahari esok hari. Mereka menyiapkan kita untuk hidangan nanti malam.” Perkataan Jorge sukses membuat yang ada di ruangan itu teriak ketakutan.
Kondisi semakin panik dan tak terkendali.
“Jangan panik begini, kita semua bisa mati. Tenanglah, tolong tenang,” seru Maula agar semua bisa mengontrol diri.
Tak lama, suara langkah terdengar mendekat dari arah luar ruangan. Mereka bersiap menyambut dan wajah mereka dibuat tidak panik atas arahan Maula.
Pintu diketuk, Maula menghela napas dan mengontrol kondisi wajahnya. Membuka pintu lalu tersenyum saat seorang ibu-ibu berkulit putih dengan kedua anak laki-lakinya memberikan mereka senampan daging panggang yang telah dimasak sempurna dengan bumbu rempah yang menyengat.
“Kalian pasti sangat lapar kan? Makanlah, untuk memulihkan tenaga.” Ibu itu berkata dengan tenang lalu mengulurkan nampan pada Maula.
Dengan tangan sedikit gemetar, Maula menerima makanan itu.
“Ini daging apa? Hmm... Soalnya saya sedikit alergi dengan daging sapi,” kata Maula dengan kebohongan, dia mengatakan itu agar tahu yang disuguhkan daging apa.
“Itu daging rusa, sangat enak, kalian tidak akan menemukannya di kota. Makanlah.” Ibu itu menjawab dengan tenang dan senyum ramah, lalu dia membawa kedua anaknya pergi, Maula menutup pintu dan menguncinya dengan palang besi.
Semua makin ketakutan, hidangan itu ditaruh tepat di tengah ruangan.
Jorge memeriksa makanan itu dan jelas bukan daging rusa seperti yang dikatakan oleh ibu tadi.
“Tekstur daging rusa bukan seperti ini,” ujarnya mantap.
“Ini daging manusia, aku cukup mengenali tekstur daging manusia.” Mereka semua makin mual mendengar jawaban Jorge.
“Kita harus pergi dari sini, mereka bukan orang bodoh, jadi kita harus mengambil strategi agar bisa kabur.” Semua mendengarkan apa yang Maula ucapkan.
“Bagaimana? Untuk masuk ke sini saja kita harus melewati tembok itu,” sanggah Violy.
“Kita harus keluar satu-satu, jangan terburu-buru dan harus ada yang menjadi pengalih mereka. Kita buat dua kelompok, satu mengalihkan perhatian mereka dan satu lagi kabur. Nanti yang kabur harus membuat kegaduhan agar mereka mencar mencari kalian dan saat itu kelompok kedua akan melarikan diri juga.” Mereka semua mengangguk, menyetujui ide dari Maula.
Sambil menunggu malam datang, mereka tidak bergeming sama sekali dari ruangan itu, nampan yang berisi daging tak tersentuh sama sekali. Semua saling berpelukan, menguatkan satu sama lain.
Hingga malam menjelang, mereka semua dibawa oleh Pexir ke tengah desa untuk diperkenalkan kepada penduduk yang lain. Kelompok pertama yang berisi sepuluh orang sudah siap untuk kabur, sedangkan kelompok kedua memancing perhatian agar lengah dan memberi akses kepada kelompok pertama keluar dan Maula ada di kelompok kedua bersama dengan Reba, Sofia, dan Jorge.
Cukup ramai penduduk di desa itu, mereka terlihat campuran, ada yang kulit hitam dan kulit putih. Dari penampilan terlihat lumayan tapi dari segi kebersihan dan bentukan wajah serta kulit, menjelaskan bahwa mereka tidak terawat sama sekali.
“Aku sangat yakin, kalau pakaian mereka ini pasti dari orang-orang yang pernah masuk ke desa ini,” bisik Reba pada Maula.
“Aku juga berpikir seperti itu.”
Pexir menyalakan api unggun di tengah-tengah lalu mereka semua bersorak, menari, dan berbahagia. Kelompok kedua ini ikut agar tidak dicurigai.
Kelompok pertama berhasil melewati gerbang utama dan mereka mulai. Kehebohan dan teriakan membuat penduduk di sana waspada, alih-alih mengejar kelompok pertama, mereka justru mengayunkan kapak pada Jorge, Carlo, dan Tamara. Semua panik, Sofia, Reba, Ivoly, Nicholle, Anna, dan Maula langsung berlari menjauhi kumpulan itu.
Api unggun membumbung tinggi, sebagian dari mereka mengejar Maula dan teman-temannya. Mereka lari ke arah hutan dan menanjaki bukit yang tidak terlalu tinggi.
Napas terengah, Maula tidak kuat untuk lari lagi dan mereka bersembunyi di puncak bukit, tak ada yang mengejar lagi dari atas sana jelas terlihat perkumpulan tadi. Mereka bisa menyaksikan apa yang dilakukan penduduk desa pada Tamara, Carlo, dan Jorge.
Tak ada yang bisa membendung air mata, mereka semua ketakutan dan menangis tanpa suara, bersembunyi di balik pohon besar sambil terus menatap ke arah api unggun.
Jorge terkena luka di bagian dadanya, Tamara di bagian kepala, dan Carlo di bagian lengan. Mereka bertiga diikat ke tiang yang sudah tersedia di sana.
Tak ada yang bisa melawan, kondisi mereka kalah telak dari psikopat liar itu.
Pexir memegang sebuah kapak tajam yang besar, dia mendekati Tamara lebih dulu dan mengendus tubuh Tamara yang bergelimang darah dari kepalanya.
Pexir menjilati darah yang mengalir di leher Tamara, dia memberi isyarat pada kawanannya bahwa darah Tamara sangat lezat. Semua penduduk baik laki-laki maupun wanita menyerbu tubuh Tamara dan menjilati darahnya.
Mereka merobek baju yang dikenakan oleh Tamara dan mulai menggigit, mengoyak, bahkan menghisap darahnya.
Jorge dan Carlo tak kuat melihat itu, teriakan Tamara bahkan sampai menggema ke bukti tempat Maula dan yang lain bersembunyi.
Tamara bagai sebuah umpan yang digerogoti oleh beberapa kanibal itu. Mereka benar-benar menikmati tubuh Tamara sebagai santapan paling enak malam ini.
Gigi-gigi mereka yang kecil-kecil tapi tajam, membuat daging di tubuh Tamara mudah tergigit dan koyak.
...•••Bersambung•••...