PICCOLA PERDUTA
...•••Selamat Membaca•••...
Maula membuka matanya perlahan. Cahaya putih pucat menyusup lewat sela-sela dahan pohon tinggi di atasnya. Daun-daun bergoyang pelan ditiup angin, menimbulkan suara gemerisik yang tidak dikenalnya.
Tanah di bawah tubuhnya lembap dan dingin. Ada bau kayu basah dan debu yang mengendap terlalu lama. Ia mencoba duduk dengan punggungnya yang terasa pegal, dan kepalanya berat. Seolah baru bangun dari tidur yang terlalu panjang.
Di sekelilingnya, beberapa temannya mulai bergerak. Ada yang mengerang pelan, ada yang masih tak sadarkan diri.
“Ini… di mana?” suara Maula lirih, nyaris tak terdengar.
Tak ada yang menjawab langsung. Hanya suara burung asing di kejauhan, dan gesekan semak yang membuat bulu kuduknya meremang. Ia mengenali wajah-wajah di sekitarnya, teman-teman seangkatannya di fakultas kedokteran beserta dua dosen pembimbing. Awalnya mahasiswa hanya dua belas orang namun bertambah lima orang dan satu sopir bus. Dua puluh orang, termasuk dirinya, yang terakhir kali ia ingat, sedang dalam perjalanan menuju kegiatan sosial luar kampus.
Tapi ini bukan lokasi kegiatan. Tidak ada bangunan atau tanda-tanda pemukiman. Tidak ada jalan setapak. Hanya hutan yang lebat, sunyi, dan tak dikenali.
“Kenapa kita bisa di sini?” tanya Carlo, suara seraknya pecah di tengah keheningan.
Tak ada yang tahu jawabannya. Mereka semua saling berpandangan, menunggu satu sama lain menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak bisa mereka mengerti.
Di kejauhan, suara gemericik air terdengar samar, seperti aliran sungai kecil. Tapi selain itu, semuanya terlalu tenang dan sepi.
Maula berdiri perlahan. Ada rasa tak nyaman di dadanya. Bukan hanya karena tempat ini asing. Tapi karena ada sesuatu dalam diam hutan ini yang terasa tidak wajar.
“Lebih baik kita cari bantuan atau apa, jelas kita sengaja dibawa ke sini,” ujar Jorge, dokter pendamping mereka.
“Kamu baik-baik aja kan, Mau?” tanya Sofia karena Maula dari tadi sedikit meringis memegangi perutnya.
“Ya aku baik, Sof.”
Rombongan itu terus berjalan menelusuri hutan, seingat mereka, saat di bus tiba-tiba asap muncul dan membuat mereka semua tak sadarkan diri. Tiba-tiba terbangun dalam kondisi seperti ini di tempat yang sama sekali tidak mereka ketahui.
Maula langsung terpikir akan suaminya, Rayden. Timbul rasa rindu luar biasa pada Rayden saat ini, ketika lelah berjalan, mereka semua beristirahat dan Maula pamit untuk buang air kecil sendiri.
Maula menangis tanpa diketahui oleh siapa pun. Rasa takut kini menjalar di hatinya, mengingat bahwa dirinya tidak aman sekarang. Waktu lima hari yang dia inginkan berubah menjadi waktu yang tidak tentu.
“Ray. Aku mau pulang,” isak Maula sambil memeluk kedua lututnya.
Selesai istirahat, semua berjalan kembali hingga menemukan pemukiman warga. Terdengar helaan napas lega dari mereka semua karena memiliki harapan untuk bisa pulang lagi.
Kaki-kaki lelah itu terus melangkah memasuki desa, mereka semua berharap bahwa penduduk akan membantu mereka untuk kembali pulang.
Kedatangan dua puluh orang ini jelas disambut hangat oleh para penduduk, tak ada yang mencurigakan dari mereka semua hanya saja rata-raga penduduk di sana berkulit hitam dan memiliki tatapan begitu tajam.
Pakaian mereka bisa dibilang sudah modern dan rumah yang mereka huni juga terbilang cukup bagus dan dari batu pula. Hanya saja di sana tidak memiliki aliran listrik sehingga mereka semua menerangi rumah menggunakan lampu dari obor.
Desa itu tampak telah lama dihuni dan bangunan di sana juga tampak sudah lama, rumah penduduk di kelilingi oleh dinding tinggi sehingga bisa dikatakan bahwa pemukiman mereka berada dalam satu area yang dibatasi tembok tinggi.
Untuk masuk ke sana harus melalui gerbang utama dengan pagar besi yang menjulang sangat tinggi.
Desa itu seperti sebuah kota yang terbengkalai lalu dihuni ulang oleh para penduduk.
“Permisi, kami tersesat ke sini dan butuh bantuan,” ujar Jorge dengan sopan menggunakan bahasa Spanyol yang fasih pada salah seorang ibu-ibu.
“Mari ikut saya.” Mereka merasa kembali aman karena penduduk sana juga berbahasa Spanyol. Yang mana berarti mereka masih ada di Spanyol, bukan di hutan luar Spanyol.
Ibu itu membawa mereka ke sebuah rumah batu yang mana penghuninya seorang pria paruh baya, kisaran usianya mungkin sekitar 60 tahunan. Dengan sopan, mereka semua membuka alas kaki dan masuk ke rumah pria tersebut.
“Dia kepala desa di sini, kalian bisa bicara dengannya,” ujar si ibu pada Jorge.
“Terima kasih.”
Mereka semua masuk dan duduk berhadapan dengan pria tua yang diketahui namanya adalah Pexir.
Maula menatap aneh isi rumah Pexir ini, tak ada barang-barang berharga atau perabotan, hanya rumah kosong yang seperti dihuni begitu saja.
Jorge menceritakan kondisi mereka dan Pexir memahami.
“Tidurlah malam ini di sini, besok kami akan mengantarkan kalian keluar dari desa ini menuju ke kota.” Mereka semua tersenyum lega mendengar omongan Pexir lalu mereka dituntun untuk istirahat di sebuah ruangan lapang, di sana hanya ada tikar biasa.
“Hanya ini yang saya punya, silakan istirahat,” kata Pexir dengan nada dingin dan tegas.
Mereka semua saling menenangkan diri, berharap besok bisa pulang ke rumah masing-masing. Mereka belum sadar bahwa desa yang mereka kunjungi berisi psikopat kanibal.
Semua warga tampak menyambut dengan ramah karena mereka merasa memiliki makanan lezat yang akan dihidangkan malam ini.
Semua tertidur karena lelah, kecuali Maula yang hanya bisa meringkuk menahan dingin sambil mengingat suaminya.
“Ray, aku di sini. Kamu sedang apa?” lirih Maula sambil sesekali sesegukan pelan.
Maula memejamkan matanya, baru lima menit tidur, dia terusik dengan sebuah suara teriakan teredam. Maula bisa mendengar karena dia tidur di dekat pintu bersama Sofia dan Reba.
Maula melihat rombongannya tertidur pulas tapi sang sopir bus tidak ada. Maula kembali mendengar suara aneh lalu mencoba mengintip keluar ruangan. Kosong. Tak ada apapun.
Maula membuka pintu perlahan dan melihat kondisi rumah tersebut, benar-benar seperti rumah terbengkalai yang dihuni ulang tapi tidak direnovasi atau dkrawat dengan baik. Mereka saat ini berada di lantai dua.
Maula terus melihat-lihat dan mengikuti sumber suara yang tadi sedikit mengganggunya. Itu berasal dari kamar di seberang ruangan mereka istirahat.
Langkah terus membawanya ke kamar itu dan perlahan mengintip di celah pintu yang tidak tertutup rapat.
Maula membulatkan matanya saat melihat tubuh sang sopir digerogoti oleh Pexir dengan lima orang lainnya. Mereka memegang pisau masing-masing dan menyayat tubuh sopir yang gemuk sedikit demi sedikit.
Parahnya, sopir itu masih hidup dan dia menangis sambil merintih kesakitan ketika pisau terus menyayat tubuhnya.
Mulut sopir itu dibekap dan tangan kakinya diikat lalu ditidurkan di lantai. Mereka semua memakan daging sopir itu.
Maula merasa sangat mual menyaksikannya. Dia langsung kembali ke ruangan istirahat dengan kondisi menggigil parah. Teman-temannya belum ada yang bangun, dia terlalu takut untuk menyimpannya sendirian.
Masih terngiang di kepala Maula saat Pexir menyayat daging di paha si sopir lalu memakannya, mengunyah seolah-olah itu daging steak.
“Aku mau pulang. Raydeennn.” Maula merintih pilu dan tepat di markas Vindex, Rayden langsung terbangun setelah memimpikan istrinya yang meminta pertolongan.
Napas Rayden terengah karena mimpi yang sangat mengerikan mengenai Maula.
“Kamu di mana, Piccola? Aku benar-benar merindukanmu,” lirih Rayden sambil mengusap wajahnya.
...•••Bersambung•••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Putri vanesa
Aku nyariin ceritanya dei kmrin ternyata udah taman yg sebelah nya 🤣🤣
2025-06-15
0
Wiwit Widia
Kondisi Maula tdk memungkinkan sekali utk di desa ini, terlebih dia lagi hamil muda🥲
2025-06-14
0
Khadijah Jaelani
Njiiir gue merinding sama hal begini, tp penasaran
2025-06-15
0