Sinopsis:
Nayla cuma butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya. Tapi hidup malah ngasih tawaran gila: kawin kontrak sama Rayyan, si CEO galak yang terkenal perfeksionis dan nggak punya hati.
Rayyan butuh istri pura-pura buat menyelamatkan citranya di depan keluarga dan pemegang saham. Syaratnya? Nggak boleh jatuh cinta, nggak boleh ikut campur urusan pribadinya, dan harus bercerai setelah enam bulan.
Awalnya Nayla pikir ini cuma soal tanda tangan kontrak dan pura-pura mesra di depan umum. Tapi semakin sering mereka terlibat, semakin sulit buat menahan perasaan yang mulai tumbuh diam-diam.
Masalahnya, Rayyan tetap dingin. Atau... dia cuma pura-pura?
Saat masa kontrak hampir habis, Nayla dihadapkan pilihan: pergi sesuai kesepakatan, atau tetap tinggal dan bertaruh dengan hatinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang andika putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karakter cewek petarung
Gue duduk depan laptop dengan ekspresi setengah panas, setengah tertantang.
Komentar-komentar nyinyir masih berdatangan di IG gue, beberapa akun fake masih konsisten ngirim pesan-pesan ngeselin. Tapi semakin mereka nyinyir, makin semangat juga gue ngetik.
Kali ini gue ubah karakter utama di naskah proyek jadi beda dari biasanya.
Bukan lagi cewek korban yang galau, nangis di pojokan, terus nunggu diselamatin cowok kaya.
Enggak. Tokoh utama kali ini... cewek galak yang balas dendam lewat tulisan.
"Dia tidak memukul. Dia tidak berteriak. Tapi setiap kata dalam novelnya jadi pisau yang merobek ego laki-laki yang pernah meremehkannya. Dan itu lebih sakit dari ribuan tamparan."
Gue ngetik sambil senyum.
Rasanya... lega banget.
Tiga hari kemudian...
Editor dari Nusantara Books ngabarin lewat Zoom call bareng para penulis.
“Naskah bab dua paling banyak dibaca minggu ini... dari Nayla Pramesti. Komentarnya luar biasa. Banyak pembaca relate banget sama karakter barunya.”
Layar Zoom langsung rame sama tepuk tangan virtual dari para penulis lain. Tapi yang bikin gue deg-degan... adalah ekspresi Arga di salah satu kotak kecil layar.
Dia diem. Tapi senyum kecilnya... bikin gue mikir.
“Kenapa kayaknya cowok ini tau sesuatu?”
Malamnya...
Rayyan pulang telat. Pas dia buka pintu, gue langsung nyamperin sambil bawa HP.
“Yan... Arga senyum. Waktu editor bilang naskahku paling banyak dibaca, dia senyum.”
Rayyan narik dasinya lepas sambil duduk.
“Terus? Lo takut dia senyum?”
“Enggak. Gue takut dia nyusun rencana di balik senyum itu.”
Rayyan ketawa pelan.
“Arga emang susah ditebak. Tapi satu hal yang lo harus tau... dia gak bakal respek sama orang yang lembek. Lo udah bikin dia respect, itu pencapaian.”
Gue diem, nyender ke bahunya.
“Kadang gue ngerasa... dunia tulis-menulis ini jauh lebih sadis dari dunia nyata.”
“Tapi justru itu, tulisan lo bisa jadi senjata. Dan lo penulis yang tau cara make senjata itu.”
Besoknya...
Ada DM baru dari akun IG fake. Tapi kali ini... isinya bukan ngancem.
Isinya... cuplikan chat pribadi antara David dan asistennya yang ngebahas soal proyek novel ini.
"Gimana bisa cewek itu yang dipilih? Cuma karena dia viral dan nikah sama Rayyan? Karya dia murahan, gak layak dibaca!"
Gue langsung freeze.
Si pengirim anonim nulis:
“Lo masih percaya dia gak ngikutin lo diam-diam?”
Gue diem cukup lama.
Terus gue screenshot semuanya. Simpen baik-baik.
Karena kalau drama ini makin panjang... gue siap tempur. Tapi bukan pake mulut. Pake tulisan.
Gue baca DM dari akun anonim itu berulang-ulang. Chat David yang discreenshot itu... terlalu spesifik buat dibilang editan.
Dan yang bikin gue makin merinding: jamnya, tanggalnya, nama asistennya... semua bener.
Gue coba klik profil si akun, tapi ya gitu deh. Gak ada foto, gak ada postingan, followers-nya 3 biji doang.
Tapi ada satu yang bikin gue mikir keras.
Setelah beberapa menit... akun itu ngirim pesan lagi.
“Gue ada di lingkaran dia. Tapi bukan berarti gue pro lo. Gue cuma muak sama kelakuannya.”
Oke, ini makin gila.
Gue balas pelan-pelan, mikir setiap kata.
“Kalau lo beneran muak, kenapa gak speak up sekalian aja?”
Balasan dateng beberapa menit kemudian.
“Karena lo penulis. Dan lo punya panggung lebih gede dari gue. Gue bantu, lo serang.”
Gue diem.
Apa ini jebakan? Apa ini orang yang pengen manfaatin gue?
Tapi di sisi lain... info dari dia bisa jadi amunisi buat gue nulis cerita yang bukan cuma ‘relate’, tapi nusuk langsung ke jantung para pembaca.
Sore harinya...
Gue lagi duduk di kafe, ngetik bab selanjutnya, sambil dengerin playlist galau. Di tengah-tengah fokus gue, tiba-tiba ada suara bariton dari samping.
“Naskah baru lagi?”
Gue kaget setengah mampus. Arga Dirgantara udah berdiri di samping meja, bawa Americano dan ekspresi datar.
“Ehh… iya, Mas. Cuma ngelanjutin draft.”
Dia duduk tanpa nanya. Gaya banget, duduk di meja orang kayak udah booking duluan.
“Lo dapet DM dari seseorang ya? Soal David?”
Gue langsung kaku.
“Lho, Mas tau dari mana?”
Dia ngeluarin HP, nunjukin sesuatu. Ternyata... akun anonim itu juga ngirimin hal yang sama ke dia.
“Dia juga DM gue. Tapi dia ngasih informasi tambahan: katanya David nyoba ngeblok lo dari beberapa penerbit dan platform, di belakang lo.”
Gue nahan napas.
“Gila... gue kira udah selesai urusannya.”
“Gak. Orang kayak dia gak berhenti sampai dia puas. Tapi gue gak akan diem.”
Gue liat Arga dalam-dalam. Tatapannya masih dingin. Tapi kalimat barusan... entah kenapa bikin dada gue anget.
“Mas bantuin saya?”
“Enggak. Gue backup lo.”
Gue senyum kecil.
“Mas Arga, ternyata kalo gak galak, bisa bikin adem juga ya.”
Dia gak jawab. Cuma nyeruput kopi sambil nyengir tipis.
Senyum paling ramah yang pernah gue liat dari dia selama ini.
Malamnya di rumah...
Gue ceritain semua ke Rayyan. Dia dengerin sambil diem, tangannya mainin rambut gue.
“Berarti lo sekarang punya dua hal: informasi penting, dan dua orang yang bisa lo percaya.”
Gue angguk pelan.
“Tapi ini makin bahaya, Yan. Kalau tulisan gue terlalu mirip sama kenyataan, bisa-bisa...”
“Lo dituduh nyindir. Difitnah. Diblokir. Dihancurin.”
“Iya...” gue menghela napas.
Tapi Rayyan langsung peluk gue dari belakang.
“Tapi selama lo punya kebenaran di pihak lo, gue akan berdiri di samping lo.”
Gue senyum, walau setengah takut. Tapi hati gue... mulai ngerasa kuat lagi.