simak dan cermati baik2 seru sakali ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siv fa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perceraian
Benny dan yang lainnya tercengang. Mereka tak mengira Martin akan berbuat sejauh itu.
Dengan menyobek-nyobek dokumen perceraian itu tepat di hadapan Benny, secara tak langsung Martin sedang menantang Benny dan Keluarga Wiguna.
"Keparat! Berani-beraninya kau melakukan ini!" semprot Benny sambil memelototkan matanya.
"Aku bersumpah aku tak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya rumah sakit! Kau yang harus menanggungnya!" lanjutnya sambil menekan-nekankan jari telunjuknya ke dada Martin.
Martin bergeming. Dia tahu dia telah melakukan sesuatu yang mungkin akan disesalinya nanti. Tapi dia tak punya pilihan. Dia tak akan bercerai dengan Julia apa pun yang terjadi.
"Tak masalah. Aku akan mendonorkan sumsum tulang belakangku dan melunasi semua biayanya. Kalian tak perlu merogoh kocek sedikit pun!" kata Martin, menatap sepasang mata kakek istrinya tanpa berkedip.
Julia terkejut dengan apa yang dikatakan Martin. Matanya membesar dan mulutnya menganga. Apakah Martin hendak mengorbankan dirinya?
Meski transplantasi sumsum tulang belakang kemungkinan berhasil, bisa saja nanti ada efek samping merepotkan yang akan dirasakan Martin. Bagaimana kalau Martin mengalami komplikasi serius?
"Enak saja! Kau pikir aku sudi menerima donor sumsum tulang belakang darimu untuk Jesina? Tak akan kubiarkan itu terjadi!" tolak Benny.
"Aku juga tak sudi. Jessica itu cucuku. Kau tak boleh mengotori tubuhnya!" tambah Fanny.
Martin menatap kedua mertuanya ini satu per satu. Lama-lama dia jengah juga. Sebenarnya apa mau mereka?
"Heh, Martin, kau tak usah sok pahlawan deh. Mendingan kau kumpulkan saja uang 200 juta itu. Itu pun kalau kau mampu," cemooh Walton.
"Ya ampun, Sayang. Jangankan 200 juta, 10 juta saja belum tentu dia mampu mengumpulkannya. Dia kan setakberguna itu orangnya," Vina ikut-ikutan.
"Sudah, sudah. Kalian ini kenapa sih? Ini rumah sakit loh! Jangan ribut di sini! Biarkan Jesina istirahat! Kalian tak kasihan padanya?" sela Julia sambil mengelus-elus kening purtinya.
Dia benar-benar kesal dengan kelakuan keluarganya. Tapi dia juga kesal dengan tingkah Martin. Menurutnya merobek-robek dokumen perceraian itu berlebihan. Gara-gara itu kakeknya jadi naik pitam.
"Martin, kalau kau memang ingin membuktikan bahwa kau bisa diandalkan, segeralah lakukan sesuatu. Kita butuh uang itu secepatnya. Dokter bilang kondisi Jesina bisa saja memburuk sewaktu-waktu," kata Julia, menatap Martin sedih.
Martin kembali merasa dadanya sesak. Kalau istrinya sudah berkata seperti itu, mau tidak mau dia harus mengumpulkan 200 juta itu. Dia pun memutar otak, mencari-cari solusi yang terjangkau olehnya.
Ting!
Sesuatu terpikirkan olehnya.
"Akan kudapatkan uang itu. Akan kubuktikan pada kalian kalau aku bisa memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ayah dan suami!" katanya.
Keluarga Wiguna menanggapi omongannya itu dengan tatapan meremehkan. Martin tak peduli. Dia keluar dari ruangan itu dan berjalan menyeberangi koridor, duduk berjongkok menghadap kolam ikan kecil.
Di situ, dia menelepon seorang teman dekatnya, Jordan.
"Jordan, aku bisa minta tolong?"
[Kenapa, Bro? Kau sedang butuh pertolongan apa dariku?]
"Aku mau minta tolong dipinjami uang 200 juta. Ini darurat. Putriku kena leukimia."
Hening sebentar. Jordan seperti sedang memikirkan apa yang harus dikatakannya.
"Kau ada uangnya, kan? Nanti pasti kuganti. Janji."
[Sebenarnya uangnya ada, Bro, tapi...]
"Tapi apa?"
[Heh, Martin! Jangan lagi kau pinjam uang ke Jordan! Tiga bulan lagi kami menikah!]
Martin menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga. Yang barusan bicara bukanlah Jordan melainkan pacarnya. Dia mengatakannya dengan separuh berteriak.
"Maaf, Agnes. Aku tak bermaksud apa-apa. Aku sangat membutuhkan uang itu untuk menolong putriku. Dia harus segera di—"
[Aku tak peduli! Itu bukan urusanku dan bukan juga urusan Jordan! Kalau kau tak punya uangnya, ya biarkan saja putrimu itu mati! Jangan ganggu Jordan lagi!]
Tuuut... tuuut...
Agnes mengakhiri panggilan begitu saja, meninggalkan Martin yang terdiam dengan mata membulat.
Dia bisa memahami kecemasan Agnes. Tapi, dia tak perlu sampai mengatakan sesuatu sejahat itu. Dia keterlaluan!
Martin menunduk lemas. Dia tak punya banyak teman. Dan di antara teman-temannya yang sedikit itu, tak banyak yang bisa dimintainya tolong di saat-saat seperti ini.
Lantas bagaimana dia akan mendapatkan uang 200 juta itu? Ke mana dia harus mencarinya?
"Martin, kau baik-baik saja?"
Suara Julia mengagetkannya. Martin langsung menoleh dan berdiri.
"Ada apa, Julia? Kenapa kau keluar?" tanya Martin.
"Anu... aku minta maaf kalau barusan aku terlalu keras padamu. Aku tak bermaksud menyinggungmu atau apa," kata Julia.
Butuh waktu beberapa detik bagi Martin untuk memahami apa yang dimaksud Julia. Dan ketika dia hendak mengatakan sesuatu untuk menenangkan Julia, istrinya itu menunjukkan hasil tangkapan layar di ponselnya.
"Aku sudah mentransfer 200 juta ke rekeningmu. Kau pakailah uang ini untuk melunasi biaya rumah sakitnya Jesina. Tapi, jangan sampai kakek atau ibu tahu. Kalau mereka tanya kau dapatkan uangnya dari mana, bilang saja kau dapat pinjaman atau apa. Oke?" cerocos Julia.
Pupil Martin melebar. Dia tak menduga istrinya akan berbuat sejauh itu untuk melindungi citranya di hadapan keluarganya.
Tapi pantaskah dia menerima bantuannya ini? Tidakkah itu membuatnya terlihat menyedihkan?
Lagi pula, setahu dia, tabungan Julia juga semakin menipis.
"Julia, aku tak bisa menerima ini. Aku transfer balik saja, ya. Kau butuh uang ini untuk mengembangkan bisnis kuliner yang belum lama ini kau mulai," ucap Martin.
Julia menggeleng. "Tak usah pikirkan itu," ucapnya. "Saat ini Jesina lebih membutuhkan uang ini. Aku juga tak terima mereka tadi menghina-hinamu separah itu."
Martin ingin membantah lagi tapi Julia mengangkat telunjuknya.
"Sudah. Sekarang ayo kembali ke dalam. Bilang ke mereka kalau kau sudah mendapatkan uangnya. Buat mereka bungkam!" ajak Julia.
Martin menghela napas. Senyum tipis terbit di wajahnya.
Dia terharu dengan bantuan dan dukungan Julia. Julia selalu bersamanya meskipun selama empat tahun ini dia belum juga bisa membuktikan diri.
Mereka berdua pun balik badan dan berjalan kembali ke ruang rawat inapnya Jesina. Yang tak mereka tahu, beberapa saat yang lalu Vina sempat keluar dan menguping percakapan mereka. Vina telah menceritakan apa yang didengarnya itu pada Walton dan yang lainnya.
"Memalukan! Di zaman modern seperti ini masih ada saja pria tak tahu diri yang mengandalkan uang istrinya!" kata Vina setelah Julia dan Martin masuk.
"Benarkah itu, Julia? Kau baru saja mentransfer 200 juta ke rekening suamimu yang tak berguna ini?" tanya Fanny.
"Apa sih yang kau pikirkan, Julia? Kenapa kau masih saja membela si payah ini? Kalau kau bercerai dengannya, kau pasti bisa mendapatkan pria kaya-raya yang akan memberimu uang bulanan puluhan hingga ratusan juta!" ujar Benny.
Julia menatap mereka dengan muka memerah. Tangannya terkepal.
"Aku dan Martin tak akan bercerai! Tak akan!" katanya dengan nada agak tinggi.
Keluarganya sempat tersentak, tapi kemudian muka mereka menjadi garang.
"Cukup, Julia! Berhenti membela orang yang tak seharusnya kau bela!" tegur Benny sambil melotot.
"Dan kau, Martin, sudah saatnya kau sadar kalau kau hanyalah benalu di keluarga ini! Kau bukan saja tak bisa menghidupi putriku, kau juga menguras tabungannya! Seharusnya kau malu pada dirimu!" sambungnya sambil menunjuk Martin.
Martin menatap kakek istrinya itu dengan mulut terkatup. Rahangnya menegang dan tangannya terkepal.
"Percuma bicara pada orang miskin, Kakek. Orang miskin kan biasanya bodoh," cemooh Walton, tersenyum menghina.
Martin mendelik padanya. Dia juga mendelik pada Vina yang mengacungkan jari tengah padanya sambil tersenyum miring.
"Martin, kau tak apa-apa?" Julia menatap Martin cemas.
Martin menatap istrinya sebentar, lalu menatap yang lainnya di ruangan itu satu per satu.
"Uang yang barusan ditransfer Julia ke rekeningku akan kutransfer balik. Aku akan mencari uang 200 juta dolar itu dengan tanganku sendiri. Itu janjiku pada kalian semua!" ucapnya lantang.
Tak ada tanggapan apa pun dari mereka selain sorot mata dan gestur meremehkan.
Martin balik badan, keluar lagi dari ruangan itu, kali ini berjalan cepat-cepat di koridor.
Dia mengambil ponselnya, mencari-cari nama Ben di daftar kontaknya, lalu meneleponnya. Ben langsung mengangkatnya di dering pertama.
"Paman Ben, aku berubah pikiran. Aku akan kembali tapi dengan satu syarat."