Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat Dengan Suasana Hangat
Kevin menghela napas panjang penuh kepuasan setelah menyantap suapan terakhir pai daging sapi buatan Cindy. Matanya berbinar-binar sambil memandangi remah-remah pai yang tersisa di piring. "Ini... ini benar-benar luar biasa enaknya," gumamnya dengan suara bergetar penuh kekaguman.
Seperti biasa, masakan Cindy selalu memukau. Tapi karena hari ini adalah hari Natal, hidangan yang disajikan terasa lebih istimewa dari hari-hari biasa. Kevin memperhatikan dengan mata berbinar saat Cindy dengan penuh keterampilan mengubah sup daging sapi biasa menjadi sebuah mahakarya pai yang sempurna.
"Aku sampai lupa bernapas tadi pas kamu motong pai itu," ujar Kevin sambil mengambil potongan kedua. Suara kriuk-kriuk kulit pai yang pecah diikuti aroma kuah daging sapi kental yang menguar membuat seluruh inderanya bergetar. "Teksturnya... ini benar-benar sempurna."
Cindy yang sedang duduk di seberangnya tersenyum kecil. "Aku pakai tepung khusus untuk pai ini," ujarnya sambil menunjuk kemasan tepung premium di meja dapur. "Dibeli kemarin khusus untuk hari ini."
Kevin mengangguk-angguk sambil mengunyah dengan penuh penghayatan. "Ini... ini levelnya koki bintang 5! Kamu bahkan bisa bikin mille-feuill dengan lapisan yang begitu tipis dan renyah." Tangannya tanpa sadar memegang bagian pipi sendiri, seolah tak percaya dengan kelezatan yang baru saja dia rasakan.
Dari sudut matanya, Kevin melihat Cindy tersipu malu mendengar pujiannya. "Seneng banget kalau kamu suka," ucap Cindy dengan suara lembut sambil memandangi Kevin yang sedang asyik menikmati makanan.
"Bukan cuma suka... aku sampai nggak bisa berhenti makan!" protes Kevin sambil mengambil potongan ketiga. Tangannya bergerak cepat seperti takut pai itu akan menghilang. "Ini udah yang ketiga lho, tapi aku masih pengen lagi!"
Cindy terkikik melihat antusiasme Kevin. "Keliatan banget kamu menikmatinya," ujarnya sambil menyandarkan dagu di telapak tangan. Matanya berbinar-binar melihat Kevin melahap makanan dengan penuh semangat.
Kevin mengangguk vigor sambil mengunyah. "Nggak bisa bohong... masakanmu tuh selalu bikin aku nggak bisa berhenti makan." Setelah menelan, dia menghela napas panjang. "Bahkan nasi telur dadar besok aja udah bikin aku ngiler dari sekarang."
"Kamu emang suka banget sama telur ya?" tanya Cindy penasaran, mengingat betapa seringnya Kevin memuji hidangan berbahan dasar telur buatannya.
Kevin langsung bersemangat. "Duh, apapun yang pake telur, aku pasti suka!" matanya berbinar seperti anak kecil. "Omelet, telur dadar, telur mata sapi, semuanya! Bahkan tahu telur pun kalau kamu yang masak, aku lahap habis!"
Cindy tertawa kecil. "Iya ya, aku ingat kamu juga suka banget sama lumpia isi telur waktu itu."
Kevin memerah. "Aduh, jangan diingat-ingat... tapi emang nggak bisa ditahan sih. Kalau udah masakanmu, semuanya jadi enak!" Tangannya tanpa sadar mengepal penuh semangat.
Meskipun memang penggemar berat hidangan telur, Kevin sebenarnya cukup pemilih dalam hal makanan. Hanya masakan Cindy yang bisa membuatnya kehilangan kendali seperti ini. Dalam hati, dia merasa sedikit egois karena ingin menyimpan semua masakan Cindy hanya untuk dirinya sendiri.
"Kayaknya aku jadi terlalu bernafsu," gumam Kevin malu-malu sambil menatap piring kosongnya.
Cindy menggeleng sambil tersenyum. "Nggak apa-apa, justru aku seneng liat kamu lahap seperti itu."
Kevin mengangkat muka, matanya berbinar. "Seriusan? Kalau gitu..." Dia tiba-tiba terdiam, ragu-ragu sebelum melanjutkan, "Aku... aku nggak mau berbagi masakanmu dengan siapa pun."
Ucapannya membuat Cindy terkejut. Kevin cepat-cepat menambahkan, "Maksudku... masakanmu tuh spesial banget. Kayak... kayak masakan bidadari gitu!" Tangannya menggaruk-garuk kepala yang mulai memerah.
Cindy tertawa lepas. "Bidadari? Jangan lebay..."
"Tapi beneran!" Kevin bersikeras. "Pasti banyak cowok yang rela apapun cuma buat bisa makan masakanmu tiap hari kayak aku!"
Cindy mengerutkan kening. "Tapi kan aku masakin kamu tiap hari..."
"Iya, makanya aku ngerasa paling beruntung di dunia!" seru Kevin dengan suara penuh keyakinan. "Makan enak tiap hari itu kayak mimpi jadi kenyataan buat aku."
Cindy memandangnya dengan ekspresi aneh. "Beneran nih?"
"Beneran banget!" Kevin mengangguk penuh semangat. "Aku tuh nggak terlalu neko-neko soal materi. Tapi soal makanan..." Matanya berbinar lagi. "Makanan enak tiap hari itu kebahagiaan terbesar!"
Diam-diam, Kevin merasa hidupnya benar-benar berubah sejak bertemu Cindy. Dulu dia sering makan sembarangan, tapi sekarang setiap hari menantikan waktu makan dengan masakan rumah yang lezat.
"Gimana sih caramu masak seenak ini?" tanya Kevin penasaran, menyandarkan tubuh ke meja.
Cindy berpikir sejenak, matanya menerawang ke masa lalu. "Dulu... ada orang yang ngajarin aku masak," ujarnya pelan. "Dia bilang... kalau mau bikin seseorang bahagia, tangkep perutnya."
Kevin tertawa terbahak-bahak sampai matanya berkaca-kaca. "Nah, makanya perutku sekarang udah nggak karuan karena masakanmu!"
Cindy tersenyum manis. "Anggap aja latihan buat perutmu."
Jantung Kevin tiba-tiba berdegup kencang melihat senyuman Cindy yang tulus itu. Wajahnya memanas dan dia cepat-cepat minum air putih untuk menyembunyikan reaksinya.
"Orang yang ngajarin kamu masak pasti hebat banget ya," ujar Kevin penuh kekaguman.
Cindy mengangguk perlahan, ekspresinya berubah lembut. "Iya... masakannya enak banget. Aku sampai sekarang nggak bisa ngalahin dia." Suaranya bergetar penuh emosi. "Setiap masakannya... selalu terasa penuh... penuh kasih sayang."
Kevin diam-diam memperhatikan perubahan ekspresi Cindy. Wajahnya yang biasanya tenang sekarang terlihat begitu hidup dengan kenangan indah.
"Dia pasti perempuan ya?" tebak Kevin pelan.
Cindy mengangguk, membuat Kevin semakin yakin bahwa berkat perempuan itulah Cindy bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan baik hati.
"Pasti enak banget masakannya..." gumam Kevin. "Tapi buat aku, masakanmu tuh spesial. Rasanya... rasanya kayak rumah."
Ibunya juga jago masak, ayahnya pun begitu. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari masakan Cindy sederhana namun penuh kehangatan, selalu membuatnya ingin nambah terus.
Tapi Kevin nggak mau membebani Cindy. Jadi dia hanya mengangguk puas sebelum menyadari Cindy tiba-tiba diam membeku.
Ekspresi Cindy berubah linglung, matanya berkaca-kaca seperti anak kecil yang sedang kebingungan.
"Cindy?" Kevin menyentuh bahunya dengan lembut.
"Eh, aku... aku nggak apa-apa," jawab Cindy tergagap, menggelengkan kepala dengan cepat sebelum menunduk.
Dia memeluk bantal di pangkuannya erat-erat, mengambil napas pendek. Ada sesuatu yang berbeda dari sikapnya kali ini lebih rentan, lebih polos.
"Aku cuma mikir..." bisik Cindy pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Aku bisa nggak ya bikin masakan yang bener-bener bisa ngasih kebahagiaan kayak dia..."
Kevin langsung memprotes, "Jangan merendah gitu dong! Masakanmu sehari-hari aja udah sempurna! Aku aja sampe nggak bisa berhenti makan!"
Cindy mengangkat wajahnya perlahan. Pipinya yang biasanya pucat sekarang berwarna merah muda. "Ah... makasih banyak."
Kali ini giliran Kevin yang menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba memanas. Dadanya terasa sesak melihat ekspresi langka Cindy yang biasanya selalu tenang itu.
Dia sama sekali tidak menyangka bisa melihat senyuman begitu tulus dan polos dari Cindy. Kevin merasa telinganya panas dan berusaha mati-matian untuk mendinginkannya dengan kipas-kipas tangan.
"Ah... ehm, Cindy?" Kevin tiba-tiba mengganti topik dengan suara yang sengaja dibuat santai.
"Ya?"
"Besok kita mulai siang kan?" ujarnya buru-buru, matanya menghindari kontak langsung.
Cindy mengerutkan kening sebentar sebelum tersenyum mengerti. "Iya, kan udah janjian? Makan siang bareng, terus main game yang kita omongin kemarin?"
"Y-ya..." Kevin mengangguk cepat.
"Kamu... nggak suka?" tanya Cindy was-was, suaranya tiba-tiba kecil.
"Enggak! Aku malah nunggu-nunggu banget!" bantah Kevin dengan suara yang terlalu keras karena grogi.
Sekali lagi, senyuman tipis itu muncul di wajah Cindy. Kevin langsung menoleh, bersandar di sandaran sofa sambil berusaha menyembunyikan rasa malunya yang tiba-tiba datang. Tangannya menutupi mulut yang tanpa sadar sudah membentuk senyum lebar.
Di luar jendela, butiran salju kecil mulai turun perlahan, seolah ikut menyaksikan kehangatan yang terjalin antara dua insan di dalam ruangan itu.