"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”
Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.
Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.
Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sukarelawan
Yara melangkah menuju ruang direktur. Ia sudah lama ingin membicarakan soal gelar dr., M.Ked yang sedang ia kejar. Ia sudah memenuhi hampir semua persyaratan: pengalaman, jam terbang, bahkan kontribusi terhadap tim. Tapi hasil akhirnya selalu mengecewakan.
“Revinna akan mendapat gelar itu lebih dulu,” kata direktur sambil menatap dokumen di tangannya, seolah itu sudah keputusan bulat.
“Dengan segala hormat, Pak... dia bahkan gagal memimpin dua operasi terakhir. Saya rasa sistem ini terlalu berat sebelah,” ucap Yara, suaranya tetap tenang tapi matanya menyala.
Direktur hanya menjawab dengan senyum diplomatis, lalu mengganti topik. Yara tahu percuma melawan tembok itu.
Satu jam kemudian, seluruh dokter dikumpulkan untuk rapat bulanan. Di tengah rapat, seorang koordinator mengumumkan adanya program sukarelawan medis ke daerah terpencil di luar kota. Tim akan tinggal di sana selama beberapa minggu, memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa yang belum tersentuh fasilitas medis.
“Siapa yang bersedia jadi relawan?” tanya kepala divisi.
Yara berfikir sejenak, kemudian dia mengangkat tangannya
Ia tahu, mungkin itu bukan langkah yang akan membuatnya lebih unggul di mata direktur. Tapi ia juga tahu, hatinya tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan dan kemewahan yang penuh topeng.
Sesekali, ia ingin berada di tempat yang lebih jujur.
Udara desa yang bersih belum tersentuh asap polusi, asap kendaraan dan pabrik. Anak-anak yang tertawa tanpa beban, dan pekerjaan yang benar-benar menyentuh nyawa manusia.
Bukan sekadar reputasi.
---
Suasana kantin rumah sakit cukup ramai. Di sudut ruangan, tiga orang duduk di meja dekat jendela, Ameena nayara atmaja. Felisya marfiza, wanita yang cantik, super duper heboh dan ceria, dan.... sedikit kepo, dan Adrian Erlangga, laki-laki yang dewasa, menjadi penengah sekaligus peran abang diantara kedua sahabatnya, mereka adalah partner dan teman yang kompak. Feli sibuk mengaduk es teh, Adrian tenang menikmati makanannya, sementara Yara hanya menyendok nasi tanpa semangat.
"By the way, aku dari tadi nahan banget buat nanya... Tapi sumpah ya, Yar, aku bingung. Kamu tuh udah dokter bedah, tapi kok gelar kamu... masih belum naik juga?" tanya feli
Yara menghela napas, meletakkan sendoknya.
"Karena aku bukan anak direktur, Fel. Dan karena hasilku... ya, gitu-gitu aja. Masih dianggap kurang."
Feli langsung ngeluarin ekspresi dramatis, kedua tangan diangkat ke udara.
Feli:
"Astaga, ini rumah sakit atau ajang pencarian bakat sih? Yang dilihat harus anak siapa dulu baru skill-nya?"
Adrian angkat alis, lalu bicara pelan tapi nancep.
Adrian:
"Revinna itu anak direktur, Fel. Gak segampang itu ngelawan orang yang udah ‘pegang papan skor’ dari awal."
Yara senyum kecil, pahit.
"Yaudah, aku juga udah biasa. Paling nggak aku masih punya dua orang ini yang gak pernah bikin aku ngerasa sendirian."
Feli:
"Aaaaah! Kamu manis banget sih ngomongnya! Sini peluk dulu!"
Feli langsung merentangkan tangan lebar-lebar dan bikin Adrian otomatis mundur setengah meter.
Adrian:
"Aku makan dulu deh. Kalian peluk-pelukan aja sana"
Feli:
"Yaaa Adrian iri tuh, Yar. Dia juga pengen dipeluk!"
Adrian:
"Yang ada nanti aku dicekik."
Yara akhirnya tertawa, lepas. Untuk sesaat, beban di bahunya terasa lebih ringan—berkat dua orang konyol yang gak pernah gagal bikin hari-harinya lebih waras.
#Felisya
#Adrian