Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14_Luka yang Tak Tampak
Langit di luar jendela mulai berwarna kelabu ketika Sean melangkah pelan melewati lorong apartemen. Hujan rintik menyisakan embun di kaca-kaca besar, dan aroma tanah basah masih terasa di udara. Ia baru saja pulang dari pekerjaannya mengantar paket ke wilayah Selatan, tubuhnya lelah, tapi langkahnya tertarik pada cahaya redup yang menyala dari ruang kerja Namira.
Pintu terbuka sedikit. Sean mendekat, lalu berhenti.
Dari celah kecil itu, ia melihat sosok Namira duduk bersandar di sofa kecil. Bahunya bergetar pelan. Kedua tangannya menggenggam bingkai foto lama yang sudah mulai pudar warnanya.
Wajah kecil Namira di dalam foto itu tersenyum cerah. Di sampingnya berdiri seorang pria berkacamata, gagah, dengan jas resmi dan senyum formal: Arman Maxzella, ayah Namira. Foto keluarga yang hanya tampak sempurna di permukaan.
Sean tidak segera mengetuk. Ia membiarkan dirinya menyaksikan pemandangan langka itu. Tangis diam-diam dari seseorang yang selalu terlihat kuat.
Kenapa kamu harus selalu sendiri saat seperti ini, Namira? gumam Sean dalam hati.
Beberapa menit kemudian, Namira menyadari keberadaannya.
“Sejak kapan kamu berdiri di situ?” tanyanya sambil buru-buru menyeka air mata.
“Baru saja,” jawab Sean pelan.
“Aku tidak ingin mengganggu.”
Namira menoleh sejenak, lalu mengalihkan pandangannya.
“Kamu tidak mengganggu. Aku hanya... sedang lelah.”
Sean masuk pelan dan duduk di ujung sofa. Tidak terlalu dekat. Ia tahu jarak masih penting bagi Namira.
“Kamu ingin cerita?” tanyanya hati-hati.
Namira menggeleng, tapi suaranya mulai pecah.
“Aku cuma muak dengan semuanya Sean, dengan keluargaku... dengan tuntutan mereka... dengan hidup yang selalu harus terlihat sempurna.”
Sean diam, menunggu.
“Mereka menekanku lagi tadi siang. Om Rudi menelepon dan berkata bahwa Mama sedang mempertimbangkan kembali lamaran Bima. Katanya itu demi menyelamatkan nama keluarga. Lagi-lagi nama keluarga. Seakan hidupku bukan milikku sendiri.”
“Kamu sudah bicara jujur pada mereka?”
Namira tertawa pendek, sinis.
“Bicara jujur pada orang-orang yang selalu merasa tahu mana yang terbaik untukku? Mereka tidak pernah benar-benar mendengarkan, Sean. Bahkan Papa... dia tidak pernah hadir. Bahkan saat aku sakit, saat aku jatuh, dia hanya muncul untuk berfoto, memberi citra.”
Sean menunduk. Mendengarkan luka yang tak pernah diceritakan dengan suara sepelan ini.
“Aku tumbuh dengan tuntutan, Sean. Harus jadi anak teladan. Harus pintar. Harus kuat. Harus anggun di depan publik, tegas di dunia kerja. Tidak boleh menangis. Tidak boleh marah. Tidak boleh gagal.”
“Kamu tidak harus selalu sempurna,” bisik Sean, hampir tak terdengar.
Namira tersenyum pahit.
“Tapi mereka tidak pernah memberiku pilihan.”
Sunyi merayap di antara mereka.
Sean memberanikan diri mendekat sedikit, lalu mengambil foto dari tangan Namira. Ia menatap foto itu, lalu berkata pelan.
“Aku juga tumbuh dalam keluarga yang tidak sempurna. Tapi aku bersyukur satu hal... Ibuku mengajarkanku untuk jujur pada rasa sedih dan itu membuatku tidak pernah menganggap air mata sebagai kelemahan.”
Namira menoleh. Mata mereka bertemu. Di sana, tidak ada penilaian. Tidak ada tuntutan. Hanya pengertian.
“Terima kasih,” ucap Namira lirih.
Sean tersenyum tipis.
“Namira Maxzella, wanita yang paling kuat yang pernah kutahu, ternyata juga manusia biasa.”
Namira tersenyum, samar.
“Mulai sekarang... kalau kamu lelah, kamu bisa bilang ke aku,” lanjut Sean.
Namira mengangguk pelan.
“Baik, Sean.”
Sean menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada ringan.
“Boleh aku mulai memanggilmu dengan nama kecil?” tanya Sean tiba-tiba.
Namira mengernyit.
“Nama kecil?”
“Nam-Nam.” panggil Sean.
Namira tertawa pelan, nyaris geli.
“Itu kedengaran aneh.”
“Aku tidak akan berhenti sampai kamu terbiasa,” kata Sean.
Namira menggeleng, tapi tak bisa menyembunyikan senyum tipisnya.
“Suka-suka kamu lah.”
***
Keesokan harinya, Namira pergi menemui Bima. Ia tidak ingin menunda-nunda jawaban yang telah ia pendam sejak pesan itu datang. Kafe itu masih sama seperti dulu. Aromanya, musiknya, bahkan pelayan yang menyambut dengan senyum mengenali Namira.
Bima sudah duduk di meja pojok. Rapi, wangi, dan tampak percaya diri seperti biasa.
“Mir,” sapanya.
“Hai, Bim,” balas Namira singkat dan datar.
Mereka saling diam beberapa saat. Suasana terasa canggung.
“Aku minta maaf kalau kedatanganku mendadak. Tapi... aku tidak bisa terus diam,” ucap Bima membuka percakapan.
Namira menatapnya.
“Kita tidak pernah mengakhiri dengan jelas. Aku tahu. Tapi kamu juga memilih pergi tanpa penjelasan.”
“Aku terlalu muda dan ambisius saat itu,” jawab Bima.
“Tapi sekarang aku kembali karena aku tahu apa yang kuinginkan. Aku ingin kamu, Mir.”
Namira terdiam. Suara itu tidak berubah. Kata-katanya masih manis, pilihan kalimatnya selalu tepat. Tapi... rasanya berbeda. Ia seperti sedang berbicara dengan masa lalu yang mencoba menjadi masa depan.
“Aku sudah menikah, Bim,” ujar Namira akhirnya.
“Pernikahan yang disusun keluargamu? Pernikahan paksa? Pernikahan kontrak?”
“Kamu tidak tahu isi hatiku.”
Bima tersenyum, percaya diri.
“Tapi aku tahu kamu belum mencintainya.”
Namira terdiam. Ia memang belum tahu apa yang sedang tumbuh di hatinya. Tapi ia tahu satu hal—Bima tidak lagi membuatnya merasa hidup.
***
Sepulang dari pertemuan itu, Namira mendapati Sean sedang menyiapkan makan malam. Menu sederhana: nasi hangat, sup ayam, dan tempe goreng. Wangi dapur membuat perutnya terasa hangat.
“Kamu pulang telat,” ujar Sean sambil mencuci tangan.
“Ada urusan,” jawab Namira singkat.
Sean tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menyiapkan piring dan mengisi air putih di gelas Namira. Mereka duduk dan makan dalam diam. Tapi diam yang tidak dingin. Diam yang justru mulai terasa akrab.
“Aku menemui Bima,” kata Namira akhirnya.
Sean berhenti mengunyah.
“dan?” tanyanya hati-hati.
“dan aku sadar... bahwa hidupku terlalu lama diatur orang lain. Mungkin sudah saatnya aku mengambil keputusan sendiri. Bahkan jika itu salah.”
Sean menatapnya.
“Itu kalimat paling jujur yang pernah kamu ucapkan.”
Namira menatap wajah Sean. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin tetap berada dalam percakapan ini. Dalam momen sederhana ini.
“Sean...” panggil Namira pelan.
“Hm?”
“Terima kasih... karena tidak pernah memaksaku untuk apa pun.”
Sean tersenyum.
“Sama-sama... Nam-Nam.”
Namira memukul pelan lengan Sean.
“Serius, nama panggilan itu... kenapa kamu bisa kepikiran?”
“Karena kamu selalu ingin terlihat kuat. Tapi sebenarnya... kamu manja kalau sudah dekat.”
Namira nyaris tersedak.
“Apa?”
Sean tertawa kecil.
“Aku baru menebak.”
Keduanya tertawa. Sebentar. Tapi tawa itu lebih tulus dari yang pernah mereka bagikan sebelumnya.
Malam itu, sebelum tidur, Namira berdiri di depan kaca. Ia memandangi wajahnya yang tanpa riasan. Lelah, tapi ada cahaya baru di matanya. Ia membuka lemari kecil dan mengambil kembali kontrak pernikahan yang dulu disusun rapi dalam map putih. Namira membacanya perlahan, kata demi kata. Lalu tersenyum tipis.
"Tidak jatuh cinta."
Jari-jarinya menyentuh kalimat itu dan hatinya berbisik.
Mungkin aku sudah melanggarnya...
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.